Mangoenatmodjo, Penyebar Gerakan Islam Abangan
Islam Abangan yang ini berbeda dari yang umum ketahui. Penyebarnya dibuang ke Digul dan hilang di sungai.
Selama masa kolonial, sejumlah aliran kepercayaan lokal berkembang. Beberapa ajarannya cenderung mencari kedamaian sehingga dibiarkan oleh pemerintah kolonial. Tetapi sebagian lagi, dianggap cukup konfrontatif terhadap pemerintah dan berbahaya. Salah satunya gerakan Islam Abangan Mangoenatmodjo di Klaten, Jawa Tengah, pada 1920-an.
Mangoenatmodjo adalah petani dari desa Karangwungu, Klaten. Pendidikan formalnya hanya setahun bersekolah swasta bumiputra di Surakarta. Tapi dia pandai menulis. Anggitannya, Serat Kalabrasta, terbit di surat kabar sohor masa itu, Darma Kanda pada 1910.
Tulisan Mangoenatmodjo tentang interpretasi atas Serat Kalatida karya Ranggawarsita, pujangga masyhur keraton Surakarta. Karena terbitan itu, dia menjadi terkenal di kalangan pembaca kota. Bersama keterkenalan itu pula, dia mulai menyebarkan ajaran Islam Abangan di kelompok kecil masyarakat desanya.
“Menurut keterangan yang diperoleh, ajaran Islam Abangan itu berlandaskan ajaran Seh Siti Djenar, salah seorang Wali pada jaman Kerajaan Demak yang dibunuh oleh Wali Sanga, karena dianggap murtad,” catat surat A.H. Neys, Asisten Residen Klaten kepada A.J.W. Harloff, Residen Surakarta, seperti termuat dalam Laporan-Laporan Tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad XX.
Baca juga: Samar-Samar Siti Jenar
Syekh Siti Jenar tak pernah meninggalkan catatan tertulis tentang ajarannya. Lalu bagaimana Mangoenatmodjo mengklaim dasar ajarannya dari Siti Jenar? Menurut Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912–1926, itu karena dia pernah membaca Serat Siti Djenar anggitan R. Pandji Nataraja.
Mangoenatmodjo mengklaim Islamnya sebagai Islam yang sejati. Dia berupaya menyingkap esensi Ketuhanan.
“Gusti Allah punika: embuh. Nanging embuhipun punika boten ateges: ora weruh, katah leregipun dateng ora ana (Bahwa Allah itu: tidak tahu. Tetapi ketidaktahuan itu tidak berarti: tidak lihat, artinya cenderung ke ‘tidak ada’: bahwa Allah itu tidak dapat ditangkap oleh pancaindra dan karenanya tidak ada),” sebut Mangoenatmodjo seperti dikutip Shiraishi.
Mangoenatmodjo juga menyatakan semua kitab suci itu palsu. Adanya kitab suci hanya untuk menguasai dan menindas rakyat dengan mudah. Selain itu, dia menyamakan kehidupan setelah mati para nabi, wali, ratu, dan bajingan. “Sesudah mati mereka habis, tidak ada yang tersisa,” lanjut Shiraishi. Tak ada pula hari pengadilan sesudah kematian.
Baca juga: Bentuk-bentuk Gerakan Protes Masa Kolonial
Pemerintah kolonial mengendus aktivitas ini. Tapi mereka belum menganggap ajarannya ini membahayakan. Kebijakan pemerintah kolonial cukup terbuka terhadap perkembangan aliran kepercayaan lokal selama tak ada muatan melawan hukum dan mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum.
Tapi ajaran Mangoenatmodjo berubah konfrontatif pada akhir 1910-an. Mangoenatmodjo mulai mendirikan paguyuban gotong royong bernama Roekoen Desa.
“Tindakan ini untuk mendobrak praktik ijon dan menembus benteng perantara dengan memberikan kredit petani yang dibayar dengan hasil panenan padi dan menjual padi itu langsung kepada pedagang dan pemilik lumbung padi Tionghoa di Delanggu,” tambah Shiraishi.
Delanggu adalah pusat lumbung beras dan ekonomi di Jawa Tengah. Kala itu harga beras naik, tapi keuntungan dari kenaikan itu tak pernah jatuh ke petani. Keuntungan hanya berputar di pembeli ijon. Ijon artinya membeli padi sewaktu padi masih berwarna hijau.
Baca juga: Mengaku Sosok Istimewa untuk Memikat Para Petani
Tindak tanduk Mangoenatmodjo tak disukai oleh para pembeli padi ijon. Sebab itu akan mengikis keuntungan mereka. Penguasa setempat juga meminta Mangoenatmodjo berhenti menolak pembelian padi secara ijon. Tapi dia menolaknya. Akibat penolakan itu, jabatannya sebagai kamituwa (kepala desa) dicabut.
Para pengurus tiga organisasi pergerakan nasional (Sarekat Hindia, Sarekat Islam, dan Boedi Oetomo) memuji tindak tanduk Mangoenatmodjo. Mereka pun berusaha mendekati Mangoenatmodjo agar mau masuk ke organisasinya.
Mangoenatmodjo memilih bergabung ke Sarekat Islam. Di sini dia menjadi ketua Sarekat Islam cabang Delanggu dibantu oleh dua asistennya: Mangoensoebroto dan Ronowaskito. Dalam rapat-rapat Sarekat Islam Delanggu, Mangoenatmodjo menyampaikan pokok-pokok ajaran Islam Abangan yang berbeda dari sebelumnya dan lebih agitatif terhadap pemerintah.
Baca juga: Asal Usul Kaum Abangan
“Mangoenatmodjo berpikiran bahwa ‘Jawa itu sebenarnya milik orang-orang Jawa’,” tulis Zainul Munasichin dalam Berebut Kiri. Ucapannya itu ditujukan untuk mengingatkan pemerintah kolonial. Jauh sebelum Belanda datang, tanah itu dikelola dan dikuasai oleh masyarakat setempat.
Pokok ajaran lainnya juga bermuatan menyerang pemerintah. Laporan Asisten Residen Klaten menyebut ada delapan poin ajaran lain. Di antaranya penolakan taat kepada penguasa dan polisi jika tak adil; konsepsi tentang kepemilikan bumi, langit, dan air; tuntutan kenaikan upah buruh tani; penolakan terhadap pajak; dan anjuran untuk tak takut mati.
“Islam Abangan itu artinya ‘prajurit yang berani’. Islam = prajurit dan Abangan = bendera merah sebagai tanda keberanian,” catat Asisten Residen.
Baca juga: Kristen Abangan ala Sadrach
Ajaran-ajaran baru ini menarik banyak orang. “Karena ajaran-ajaran Mangoenatmodjo dan teman-temannya itulah pada tanggal 10 Juni 1920, 600 orang petani di wilayah perkebunan Ceper Afdeeling Pangkalan berani mengadakan demonstrasi menuntut kenaikan upah bagi kerja wajib mereka,” lanjut Asisten Residen.
Polisi bergerak. Mereka menangkapi pelaku demonstrasi. Tapi Mangoenatmodjo terhindar dari penangkapan karena tak terbukti ikut berdemonstrasi dan menggerakkan massa. Tapi namanya masuk dalam pengawasan pemerintah kolonial.
“Demi kepentingan ketenteraman dan ketertiban umum Asisten Residen mengusulkan agar 3 orang tokoh Islam Abangan, yang dianggap berbahaya itu dan kalau keadaan memang mendesak, ditindak atas dasar pasal 47 R.R.,” sebut Asisten Residen.
Baca juga: Sarekat Djin Melawan Belanda
Pasal 47 R.R. (Regelings Reglement) memuat ketentuan hak istimewa gubernur jenderal untuk menangkap dan membuang seseorang yang dianggap berbahaya. Selama pengawasan itu, Mangoenatmodjo justru berhasil mengumpulkan pengikutnya hingga sekira 12 ribu orang. Para pengikutnya mengidentifikasi diri mereka sebagai pengikut Sarekat Abangan dan mengangkat Mangoenatmodjo sebagai presidennya.
Tapi sesungguhnya, Sarekat Abangan bersifat cair. Tak ada keanggotaan resmi, iuran, dan hierarki ketat. “Itulah yang benar-benar menjadi kekuatan sesungguhnya,” singgung Shiraishi.
Perkembangan pesat pengikut Mangoenatmodjo mendorong pula pertambahan kasus pemogokan petani. Pemerintah kolonial akhirnya menangkap Mangoenatmodjo dan dua pembantunya pada Mei 1920. Tapi dia lalu dibebaskan karena tak terbukti bersalah. Setelah itu, dia kembali ditangkap, lalu dibebaskan lagi. Berulang-ulang sampai 1921. “Akhirnya tenggelam tanpa aktivitas,” sebut Shiraishi.
Hayat Mangoenatmodjo berakhir di Boven Digul, tempat pembuangan di Papua untuk para tahanan politik, pada 1927. Dia hilang di sungai. Terbawa buaya saat sedang mandi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar