Kyai Modjo Sahabat Pendeta Riedel
Kyai Modjo lebih senang bersahabat dengan orang asing beda agama namun baik, ketimbang sesama orang Jawa yang tak baik dan kebarat-baratan.
DI sebuah bukit teduh empat kilometer dari sisi utara Danau Tondano, sebuah gapura bergaya arsitektur Jawa berdiri berdampingan dengan pagar modern perpaduan besi-tembok. Gapura itu persis di muka tangga untuk meniti ke atas bukit. Selain ada plang bertuliskan Makam Pahlawan Nasional KH Ahmad Rifa'i di pagar dekat gapura itu, ada juga plang serupa dengan tulisan Makam Pahlawan Kyai Mojo dkk. Ya, di sanalah Kyai Mojo dan beberapa pengikutnya dikebumikan.
Setelah menjadi tahanan pemerintah Hindia Belanda, Muslim Mochammad Khalifah alias Kiai Modjo (1792-1849) dan puluhan pengikutnya dibuang ke tepi Danau Tondano. Kendati keras kepada Belanda dan bangsawan Jawa yang kebarat-baratan, rupanya ia bisa bersahabat dengan orang-orang sekitar di tempat pembuangannya. Termasuk kepada orang Minahasa di sekitar desa yang kini menjadi Kampung Jawa Tondano, yang melahirkan orang-orang “Jaton” alias Jawa Tondao.
Kyai Modjo dan pengikutnya ikut membawa kebiasan baru di Tondano. Roer Allan Kembuan dalam tesisnya “Bahagia di Pengasingan: Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Buangan di Kampung Jawa Tondano 1830-1908” mencatat, mereka membawa kebiasaan bersawah padi dan mengendalikan kuda. Setelah 1830, banyak pengikut Kyai Modjo kawin dengan anak-anak pemuka Minahasa. Selain melahirkan orang-orang Jaton tadi, mereka menularkan kebiasaan itu.
Di sisi lain, Danau Tondano yang tak jauh dari tempat kelompok Kyai Modjo, hidup seorang pendeta bernama Johann Friedriech Riedel (1798-1860). Kata koran De Avond Post tanggal 18 Juni 1931, Riedel bersama Johann Gottlieb Schwarz (1800-1859) tiba di Manado tanggal 12 Juni 1831. Keduanya bekerja untuk Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) alias Serikat Misionaris Belanda yang sukses menggkristenkan Minahasa.
Sebelum Islam dan Kristen masuk ke sana, masyarakat Minahasa adalah penganut Alifuru. Namun, mereka terbuka pada hal-hal dari luar. Maka ketika agama Islam dan Kristen baru datang di Minahasa, kedamaian antara dua agama tersebut sudah terbentuk.
Kyai Modjo juga tidak alergi untuk bertemu pemuka agama yang berbeda keyakinan dengannya. Bahkan, dia bersahabat dengan pendeta Kristen tadi.
“Kyai Modjo sering berkunjung pada pendeta zendeling Riedel dan berbicara banyak dengannya. Ia menerima darinya sebuah Injil,” tulis Pendeta Nicolaas Graafland dalam Minahasa: Negeri, Rakyat, dan Budayanya.
Injil bukan satu-satunya hadiah yang pernah diterima Kyai Modjo dari sang pendeta. Sebab, keduanya memang biasa bertukar hadiah. Meski begitu, keyakinan masing-masing tidak berubah, Kyai Modjo tetap Islam dan Riedel tetap pendeta. Kedekatan Pendeta Riedel dan Kyai Modjo itu membuat orang Islam dan Kristen di sana bisa hidup damai berdampingan, bahkan bertahan hingga sekarang.
“Pelajaran sejarah toleransi dari akomodatifnya hubungan antara pengungsi Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Kyai Modjo dan 63 pengikutnya, semua laki-laki, menjadi contoh kerukunan yang berpengaruh paling signifikan dan sering dibicarakan,” tulis Nono Sumampow dalam Menjadi Manado: Torang Samua Basudara, Sabla Aer, dan Pembentukan Identitas Sosial .
Kyai Modjo tutup usia di tepi Danau Tondano pada 20 Desember 1949. Dia dimakamkan di sebuah kaki bukit di sekitar danau. Sepeninggalnya, para pengikutnya tetap di sana hingga beranak-pinak hingga dapat dikenali dari nama belakang orang Jaton umumnya berasal dari nama leluhur yang datang ke sana.
Kampung Jawa Tondano yang banyak orang muslimnya itu hingga kini tidak “alergi” pada tempat ibadah agama lain. Gereja ada di sekitar kampung tersebut. Dari gerbang Kampung Jaton ke makam Kyai Modjo pun melewati gereja juga. Selain itu, sinagog yang ada di sisi lain Danau Tondano, tak jauh dari makam Pahlawan Nasional Sam Ratulangi, tak pernah membuat orang-orang Jaton keturunan pengikut Kyai Modjo itu ribut.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar