Kekangan Dinasti Ming terhadap Muslim
Apa yang dilakukan Zhu Yuanzhang mirip dengan kebijakan asimilasi paksa Soeharto.
Ramadan tahun ini saya berpuasa di Anhui, salah satu provinsi di China bagian timur tempat lahir Zhu Yuanzhang (1328–1398), petani miskin yang kelak menjadi kaisar pertama (taizu) Dinasti Ming.
Sejak proses pendiriannya, Dinasti Ming boleh dikata memiliki pertalian yang cukup erat dengan Islam.
Pasalnya, beberapa panglima perang yang bersama Zhu Yuanzhang baku hantam dengan serdadu Dinasti Yuan (1271–1368) dalam Pemberontakan Sorban Merah (hongjin qiyi) buat menggulingkan rezim Mongol tersebut, tercatat sebagai orang Hui. Yang masyhur di antaranya: Chang Yuchun, Lan Yu, Feng Sheng, Hu Dahai, dan Mu Ying.
Hingga kini, dalam tradisi lisan masyarakat Hui, ada ungkapan euforia "sepuluh Hui agung telah melindungi Dinasti Ming" (shi da Hui bao Ming Chao). Merujuk pada sumbangsih komandan-komandan Hui dimaksud, terhadap terbentuknya Dinasti Ming.
Kita tahu, Hui –atau yang lebih lazim disebut Huihui pada era Dinasti Yuan– ialah sebutan yang lumrah dipakai orang China untuk menyebut para penganut Islam di negerinya saat itu.
Baca juga: Islam di Masa Kedinastian Cina
Permaisuri Kaisar Zhu Yuanzhang pun bermarga Ma. Jamak diakui, "Ma" yang notabene adalah marga yang biasa dipakai Hui, merupakan perubahan kata (verbastering) dari Muhammad.
Bahkan, dalam tulisan kontroversialnya, The Ming Empire: Patron of Islam in China and Southeast-west Asia, yang dimuat volume 61 nomor 2 (255) Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society terbitan tahun 1988, Dr. Haji Yusuf Chang yang mengaku sebagai keturunan Zhu Yuanzhang menyatakan bahwa "kaisar pertama Dinasti Ming [itu] adalah seorang Hui." Karenanya, dia melanjutkan, "Dinasti Ming merupakan kedinastian yang] dipimpin oleh orang Hui alih-alih orang Han."
Walau demikian, begitu bertakhta, Zhu Yuanzhang yang berhasil menumbangkan Dinasti Yuan dengan slogan "usir kaum barbar utara, kembalikan kejayaan Tionghoa" (qu zhu hu lu, huifu Zhonghua), segera mengeluarkan dekrit yang secara implisit mengekang pemeluk-pemeluk Islam pula.
Sebagaimana termaktub dalam "Catatan Fakta Ming" (Ming Shilu) bagian Catatan Fakta Kaisar Pertama (Taizu Shilu) jilid 30, di tahun pertamanya memerintah, Zhu Yuanzhang langsung bertitah "melarang semua pemakaian busana asing, bahasa asing, dan nama asing" (hu fu, hu yu hu xing, yiqie jinzhi).
Baca juga: Muslim Zaman Dinasti Tang
Kala itu, penganut Islam di China didominasi oleh orang-orang yang berasal dari Arab, Persia, dan Asia Tengah. Mereka umumnya disebut sebagai "orang bermata berwarna" (semu ren). Tak pelak, oleh sebab semu ren terkategori orang asing, muslim terkena imbas titah nasionalis tapi rasialis yang difatwakan Zhu Yuanzhang di atas.
Untungnya, muslim tidak kekurangan akal. Nama-nama Arab atau Persia yang biasa dipakai mereka, kendati diubah menjadi lebih berbau China, tapi tetap kentara aroma keislamannya. Muhammad, umpamanya, bermetamorfosis menjadi Mu atau Ma. Nashruddin menjelma menjadi Na atau Ding.
Ya, apa yang dilakukan Zhu Yuanzhang memang mirip sekali dengan kebijakan asimilasi paksa Soeharto yang salah satunya mewajibkan orang-orang Tionghoa mengubah namanya menjadi lebih "pribumi". Orang-orang Tionghoa yang bermarga Lim, contohnya, menyiasati dengan merombak namanya menjadi Salim atau Alim. Keindonesiaannya dapat, ketionghoaannya juga tak lenyap.
Menariknya, dua warsa berselang, tepatnya pada 1370, Zhu Yuanzhang membatalkan pelarangan penggunaan nama asing yang diperintahkannya. Alasannya, seperti dinukil Taizu Shilu jilid 51, dengan mengubah namanya, "aku khawatir lama-kelamaan anak cucu mereka tidak bisa mengetahui dari mana moyang mereka berasal" (zhen lü sui jiu, qi zi sun xiang chuan, mei qi ben yuan). Makanya, lanjutnya, "kalau ada yang ingin mengubah kembali namanya, silakan mereka mengubahnya" (ru yi geng yi zhe, ting qi gai zheng).
Baca juga: Bagaimana Islam Menyebar di Xinjiang?
Walakin, larangan berbusana dan berbahasa asing tetap tidak Zhu Yuanzhang cabut.
Malahan, pada 1372, Zhu Yuanzhang tidak ewuh pakewuh melangkah lebih jauh memberlakukan undang-undang pelarangan perkawinan intraetnik. Bersama orang Mongol yang tidak diperkenankan menikahi orang Mongol, semu ren yang mendominasi Hui juga tidak dibolehkan menikah dengan sesama Hui. Mereka harus kawin campur dengan orang China –yang mayoritas beretnis Han. "Barang siapa yang melanggar, akan dihukum cambuk delapan puluh kali; baik mempelai pria maupun wanita sama-sama akan dijadikan budak pelayan istana" (wei zhe zhang ba shi; nan nü ru guan wei nu). Demikian dicatat Undang-Undang Ming Agung (Da Ming Lü) bab 6.
Lantas, apa yang mendorong Zhu Yuanzhang mengeluarkan aturan begitu? Kitab Penjelasan atas Undang-Undang Ming Agung (Da Ming Lü Ji Jie Fu Li) menjawab, Zhu Yuanzhang "takut populasi komunitas [Mongol dan semu ren] bertambah seiring hari" (kong qi zhong lei ri zi ye).
Zhu Yuanzhang barangkali khawatir akan kebangkitan kembali pendatang-pendatang Mongol dan semu ren yang –selama kepemerintahan Dinasti Yuan– strata sosialnya berada di tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan orang China, serta menduduki posisi-posisi penting nan strategis di pelbagai sektor.
Maklum, stratifikasi sosial yang diterapkan bangsa Mongol ketika menguasai China, persis dengan yang diaplikasikan kolonialis Belanda di negara kita: Mongol/Europeanen berada di puncak piramida, lalu semu ren/Vreemde Oosterlingen (orang-orang Timur Asing macam Tionghoa, India, dan Arab) di bagian tengahnya, kemudian orang lokal China/Inlander di lapisan terbawahnya.
Baca juga: Islam Nusantara dan Islam Konghucu
Pada akhirnya, di satu sisi, jumlah komunitas semu ren totok dan pengetahuan keturunannya terhadap bahasa dan kebudayaan leluhurnya memang berhasil digerus. Namun, di sisi lain, melalui perkawinan beda sosio-kultural antara orang China dan semu ren, Islam bisa kian tersebar luas di China –mengingat untuk menikah dengan muslim, keimanan seseorang biasanya menjadi salah satu prasyaratnya.
Buktinya? Pada masa-masa awal Dinasti Ming, seorang saudagar China kaya raya bernama Lin Nu dari Quanzhou, kota kuno metropolitan dan pelabuhan utama China yang pernah disinggahi Marco Polo (1254–1324) dan Ibnu Batutah (1304–1368/9), memilih menjadi mualaf lantaran memperistri perempuan semu ren. Kisahnya yang didasarkan pada literatur-literatur primer, bisa dibaca di buku Telaah Singkat Pejabat Istana Bersuku Hui Era Dinasti Ming dan Qing (Ming Qing Hui Zu Jinshi Kao Lüe, 2011) karya Yang Daye, sejarawan cum guru besar Beijing Union University.
Sayangnya pada zaman itu belum ada televisi. Kalau tidak, boleh jadi Lin Nu akan laris manis menjadi ustaz dadakan yang tiap bulan puasa nongol di TV memberikan ceramah yang dangkal isi.
Penulis adalah kontributor Historia di Tiongkok, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar