Jejak Sufi, Pembawa Ajaran Islam ke Nusantara
Tinjauan terhadap makam-makam Islam kuno di Barus menegaskan kembali teori masuknya Islam ke Nusantara.
Berdasarkan teori terpopuler, pedagang Gujarat adalah pembawa Islam ke Nusantara. Namun, ada teori lain yang menggunakan pendekatan sufisme, yakni bahwa kaum sufi juga ikut meramaikan Islamisasi di Nusantara.
“Bagaimana Islam masuk Nusantara? Agama urusan batin, tak mudah orang pindah dari agama lama menjadi baru. Misal, kita sedang kumpul, lalu ada orang datang membawa agama baru, apa kita bisa langsung pindah,” kata Bastian Zulyeno, ahli kajian Persia Universitas Indonesia, dalam dialog sejarah “Riwayat Masuknya Islam ke Nusantara” live di kanal Youtube dan Facebook Historia.id, Selasa, 2 Februari 2021.
Bastian menilai, diterimanya agama baru di tengah masyarakat yang sudah memiliki kepercayaan, yang dalam kasus masyarakat Nusantara adalah Hindu dan Buddha, tentunya dibutuhkan proses intelektual. “Di Islam, kita mengenal hidayah, mau jungkir balik kalau tak dapat hidayah ya susah,” katanya.
Baca juga: Mempertanyakan Kembali Teori Islamisasi di Nusantara
Bastian pun menemukan bahwa ulama sufi memiliki peran dalam penyebaran agama Islam di Nusantara. Buktinya, ada banyak nisan-nisan kuno yang menunjukkan ciri sufisme, dari ornamen, inskripsi, maupun bentuknya.
Ciri-ciri itu bisa terlihat pada makam-makam Islam kuno di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Banyak yang berpendapat bahwa Barus adalah lokasi masuknya Islam pertama kali ke Nusantara.
“Kuburan itu membuat para peneliti dengan penuh perhatian mencatatnya sebagai bagian dari peta jalan untuk menemukan dokumen sejarah,” kata Bastian.
Makam Para Sufi di Barus
Situs permakaman di Barus yang kini berada di Kecamatan Barus dan Barus Utara memiliki beberapa makam Islam kuno. Di dalamnya terdapat nisan-nisan yang menunjukkan identitas pemiliknya. Inskripsi berbahasa Arab dan Persia tertera padanya.
Beberapa kompleks permakaman Islam di Kecamatan Barus dan Barus Utara, di antaranya: Kompleks Makam Ibrahim (Tuanku Batu Badan), Kompleks Makam Maqdum, Kompleks Makam Mahligai, Kompleks Makam Ambar, Makam Kinali, Makam yang terkikis sungai, dan Makam Papan Tinggi.
Kompleks Makam Ibrahim atau Tuanku Batu Badan berada di Bukit Hasang, Barus. Letaknya di kavling tanah yang tinggi di belakang rumah warga. Dari jalan Kabupaten Barus-Aceh keberadaan kuburan ini sulit ditemukan jika tak ada petunjuk arah.
Baca juga: Mencari Bukti Awal Islamisasi di Nusantara
Menurut Daniel Perret, arkeolog dari École française d’Extrême-Orient (EFEO), karena di Bukit Hasang banyak ditemukan nisan kuno, artinya kawasan ini dulunya dipakai untuk tinggal dan menetap. Bukit Hasang baru mulai digunakan pada abad ke-12 hingga abad ke-16.
“Pada abad ke-12 baru dipakai, luasnya masih 3 ha, kemudian pada awal abad ke-16 menjadi 60 ha,” kata Perret dalam diskusi di Institut Français d’Indonésie (IFI), Jakarta.
Kompleks makam ini terdiri dari tiga halaman bertingkat. Makam Ibrahim atau Tuanku Batu Badan berada di teras ketiga bersama dengan sembilan kuburan lainnya. Makam Ibrahim memiliki panjang sekitar 4 meter dengan lebar jirat 2,4 meter.
Sosok yang dimakamkan di kompleks ini diyakini sebagai salah satu dari 44 Awliya, yaitu manusia yang dianugerahi oleh Tuhan dengan kekhususan tertentu. Mereka ini punya peran dalam penyebaran Islam di Barus.
Baca juga: Empat Tokoh Islam di Indonesia
Sementara itu, Kompleks Permakaman Makhdum terletak di atas bukit kecil, sekira 300 m dari pinggir jalan Kabupaten Barus-Aceh. Jumlah nisan di sini ada 33 buah. Sebagian besar memiliki prasasti kaligrafi Islam. Biasanya berisi kalimat syahadat.
Ludvik Kalus, epigraf Prancis, dalam “Sumber-Sumber Epigrafi Islam di Barus”, termuat dalam Barus Seribu Tahun yang Lalu, menjelaskan istilah Maqdum atau Makhdum yang dipakai untuk menyebut kompleks makam ini mungkin berasal dari kata Arab, mahdūm. Artinya “dilayani dengan setia”. Bisa juga berarti “syekh orang suci” atau “penuntun rohani” di dunia Iran-India.
Selanjutnya Kompleks Makam Mahligai yang terletak di Kecamatan Barus. Dalam jurnal yang ditulis Bastian bersama Ghilman Assilmi, arkeolog Universitas Indonesia, berjudul “Representation and Identity of Persian Islamic Culture in Ancient Graves of Barus, North Sumatra”, termuat dalam International Review of Humanities Studies Vol. 3 No. 2 Juli 2018, disebutkan kalau tokoh yang dimakamkan di sini diyakini sebagai salah satu dari 44 Awliya. Mereka adalah Syekh Rukunuddin, Syekh Ushuluddin, Syekh Zainal Abidin Ilyas, Syekh Ilyas, Syekh Imam Khotib Mu’azzamshah Biktiba’i, Syekh Syamsuddin, dan Syekh Abdul Khatib Siddiq.
Baca juga: Jejak Peradaban Barus
Selain makam Awliya, di sekitarnya juga terdapat beberapa batu nisan dengan bentuk yang sama. Namun ornamennya lebih sederhana. Makam itu dianggap sebagai pusara para pengikut Awliya.
Adapun Kompleks Permakaman Ambar terletak sekitar 1,5 km di utara Kompleks Makam Ibrahim. Berjarak 500 meter dari pinggir jalan kabupaten. Hanya ada satu nisan yang memuat nama almarhum. Namun, saat ini kondisi nisan sudah tak lagi memungkinkan untuk dibaca keterangannya.
Berdasarkan pembacaan yang dilakukan oleh Ludvik Kalus, nama dalam nisan itu didahului gelar al-syekh. Terdapat pujian baginya yang berbunyi: “Semoga Allah menyucikan jiwanya yang mulia!”
“Hampir sama dengan pujian dalam tulisan berbahasa Arab pada nisan selatan makam Syekh Mahmud di Papan Tinggi. Tapi tipologinya nisan ini bisa dibandingkan dengan nisan utara di Papan Tinggi,” jelas Kalus.
Baca juga: Catatan tentang Islamisasi di Sumatra
Nisan makam Syekh Mahmud di Kompleks Makam Papan Tinggi yang paling mencolok. Letaknya di atas sebuah bukit setinggi 215 m di atas permukaan laut. Untuk mencapainya orang harus mendaki kira-kira 800 langkah.
Ada delapan makam. Tujuh makam berkelompok dengan bentuk nisan sederhana. Satu kuburan dipisahkan dari tujuh lainnya. Letaknya di puncak bukit. Ini merupakan kuburan utama milik salah satu dari 44 Awliya. Menurut cerita masyarakat setempat, nisan yang dibuat dari granit itu milik Syekh Mahmud al-Hadramaut. Bastian memperkirakan, makam ini berasal dari 1300-an M.
Jarak antara kedua batu nisan yang menandai makam sang syekh kira-kira 15 m. Pada tubuh dan kepala nisan terdapat inskripsi. Beberapa bagian sulit dibaca karena sudah aus.
Pada batu nisan Syekh Mahmud yang ada di sisi selatan inskripsinya ditulis dalam bahasa Arab. “Syekh Mahmud, semoga Allah menyucikan jiwanya!” tulis sebagian inskripsi itu.
Baca juga: Benarkah Samudera Pasai Kerajaan Islam Pertama di Nusantara?
Sementara batu nisan yang ada di sisi utara ditulisi dengan bahasa Persia. Tertulis di sana, hingga 829 H/1425-6 M, makan ini tersembunyi di dunia gaib. Penggalan inskripsinya berbunyi: “Makam ini makam Syekh Mahmud. Dan setiap hari, keajaiban timbul bagi yang minta pertolongan.”
“Syekh Mahmud semestinya adalah seorang syekh ahli sufi yang lokasi makamnya tak diketahui. Terungkapnya tempat ini terjadi pada 829 H/1425-6 M di dalam mimpi Tūğīn b. Maḏari,” jelas Kalus.
Begitu pula kata Bastian, kalimat bahwa makam ini pernah tersembunyi di dunia gaib menunjukkan unsur sufi yang kental. “Seseorang bermimpi bahwa di sini adalah kuburan Syekh Mahmud. Ini unsur sufinya sangat kental,” katanya.
Penyebaran Paling Berhasil
Irmawati Marwoto, arkeolog Universitas Indonesia, meyakini bahwa pedaganglah yang mengawali masuknya Islam ke Nusantara. “Sebelumnya mungkin Islam sudah datang. Kita harus membedakan kedatangan dan penyebaran,” kata Irma.
Setelah para pedagang datang ke Nusantara, mereka lalu menetap. Di Banten misalnya, kata Irma, di kawasan itu terdapat Situs Pakojan. “Di sini pedagang muslim menetap. Di berbagai kerajaan itu dipisah-pisah, kalau Persia, Arab biasanya di Pakojan. Kalau dari Tiongkok biasanya di Pecinan,” kata Irma.
Baca juga: Peran Ulama dalam Kerajaan Islam di Nusantara
Setelah menetap, pedagang-pedagang muslim itu lalu membangun masjid. “Jadi ada proses cukup lama bagaimana Islam masuk ke seluruh wilayah Indonesia,” kata Irma.
Menurut Irma, kalau ada yang mengatakan Islam sudah hadir di Nusantara abad ke-7, itu tidak dibuktikan secara arkeologis, tetapi tercatat dalam naskah Tiongkok.
“Di berita Tiongkok ada permukiman orang Arab di pesisir Sumatra,” kata Irma. “Tapi bukan pembuktian arkeologi.”
Kendati begitu, Bastian menilai penyebaran Islam paling berhasil dilakukan oleh kaum sufi. “Kaum sufi ini datang, mendirikan perguruan, ada murid dan pengikut yang banyak,” kata Bastian.
Baca juga: Ulama-Ulama Nusantara Penyebar Islam yang belajar ke Hijaz
Tak diragukan pula ada ulama-ulama dari Nusantara yang belajar di Makkah atau Madinah (Hijaz) di Arabia. Mereka pun turut serta dalam proses Islamisasi.
Apa yang ditunjukkan oleh beberapa nisan kuno di Barus, menurut Bastian, telah menegaskan kembali teori masuknya Islam, yakni oleh para sufi dari Asia Tengah ke Nusantara.
“Nisan sebagai salah satu media dakwah. Kenapa nisan harus dibuat indah? Di kaum sufi mereka menyebut bahwa nisan adalah tanda orang hidup, untuk pesan kepada orang hidup, mengambil pelajaran darinya,” kata Bastian.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar