Di Balik Berdirinya Kesultanan Banjar
Islamisasi di Kalimantan Selatan berjalan lambat tanpa paksaan. Kesultanan Demak berperan dalam mengislamkan penguasa pertama Banjar.
Tome Pires, penjelajah asal Portugis, mencatat hampir semua yang tinggal di Kalimantan adalah orang-orang Pagan. “Hanya pulau utamanya yang ditinggali orang Moor, belum lama sejak rajanya menjadi orang Moor,” catat Pires dalam Suma Oriental.
Menurut Muhammad Azmi, sejarawan Universitas Mulawarman, dalam “Islam di Kalimantan Selatan pada Abad ke-15 sampai Abad ke-17” yang terbit dalam Yupa: Historical Studies Journal, 1 (1), 2017, catatan Tome Pires tentang “raja yang menjadi seorang Moor” merujuk pada raja yang baru saja memeluk Islam.
Baca juga: Islamisasi Jawa Menurut Tome Pires
Raja yang dimaksud kemungkinan besar adalah Pangeran Samudera yang masuk Islam setelah memenangkan perselisihannya dengan Negara Daha. Dia lalu menjadi raja pertama Kesultanan Banjar.
Berdirinya Kesultanan Banjar menjadi awal mula bagi tegaknya pengaruh Islam di Kalimantan Selatan.
Tanpa Penaklukkan
Sebelum Islam masuk ke Kalimantan Selatan, wilayah ini mendapat pengaruh Hindu. Dalam Hikayat Lambung Mangkurat atau Hikayat Banjar disebutkan bahwa di Kalimantan Selatan berdiri kerajaan bercorak Hindu bernama Negara Dipa yang dilanjutkan dengan Negara Daha.
Negara Daha masih kerajaan Hindu hingga abad ke-14-15. Tak diketahui pasti kapan Islam mulai masuk ke Kalimantan Selatan.
Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, menyebutkan bahwa Islam masuk ke Kalimantan Selatan pada masa jauh lebih belakangan dibanding, misalnya Sumatra Utara atau Aceh. Kendati begitu diperkirakan telah ada sejumlah muslim di wilayah itu sejak awal abad ke-16.
Baca juga: Catatan tentang Islamisasi di Sumatra
Menurut Yusliani Noor, sejarawan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, dalam Islamisasi Banjarmasin (Abad ke-15 Sampai ke-19), terbentuknya komunitas Islam di Kalimantan Selatan adalah dampak dari terhubungnya jalur perdagangan Kalimantan dengan jaringan perdagangan Nusantara. Keberadaan mereka menjadi pintu masuk pertama Islamisasi.
Kendati begitu, kata Yusliani, penyebaran Islam secara lebih luas tak serta merta terjadi. Karenanya terbentuknya Kesultanan Banjar sangat bermakna bagi penerimaan agama itu di Banjarmasin.
Baca juga: Islamisasi di Tanah Ternate
Namun, adanya kesultanan bukan berarti proses masuknya Islam bisa disamakan dengan pengislaman. Konsep ini, Menurut Yusliani, bernada militeristik dan tak natural. Apa yang terjadi di Banjarmasin berbeda dengan di kawasan Timur Tengah, khususnya pada era sesudah Khulafaur Rasyidin. Penaklukan wilayah memang menjadi ciri Islamisasi di Timur Tengah. Tapi di Banjarmasin tak pernah ada penaklukkan oleh kesultanan manapun.
Syarat dapat Bantuan
Semua itu diawali oleh Pangeran Samudera yang menolak tunduk pada Kerajaan Negara Daha. Pangeran Samudera meminta bantuan kepada Kesultanan Demak untuk menyelesaikan perselisihannya dengan Pangeran Tumenggung, penguasa Negara Daha.
Sultan Demak mengabulkan permohonan Pangeran Samudera. Syaratnya, Pangeran Samudera harus masuk Islam. Sang pangeran sepakat. Dia pun mendapat bantuan 1.000 pasukan, senjata, ditambah seorang penghulu untuk mengislamkannya.
Baca juga: Islamisasi Minangkabau
Menurut Yusliani, kisah dalam Hikayat Banjar itu mengisyaratkan bahwa kekuasaan Islam telah memiliki posisi tawar (bargaining position) bagi terbentuknya jaringan kuasa di kawasan yang labil akibat pergolakan internal. “Sekaligus juga adaptasi kerajaan Hindu dan Buddha dalam menghadapi arus perubahan yang dibawa para pedagang Islam,” tulisnya.
Pangeran Samudera menjadi raja pertama Kerajaan Banjar dengan gelar Sultan Suriansyah sekaligus raja pertama yang masuk Islam pada 1526. Inilah momentum bagi perkembangan Islam di Kalimantan Selatan. Pilihan raja memeluk Islam diikuti kerabat, elite, sampai rakyat jelata.
Berjalan Lambat
Meski Islam sudah menjadi agama kerajaan, namun kaum muslim masih minoritas di kalangan penduduk. Azra mencatat, pemeluk Islam umumnya terbatas pada orang-orang Melayu-Islam. Islam hanya mampu masuk secara sangat perlahan ke kalangan Suku Dayak.
“Bahkan di kalangan kaum muslim Melayu, kepatuhan kepada Islam sangat minim dan tak lebih dari pengucapan syahadat,” jelas Azra.
Di bawah para sultan yang turun-temurun, lanjut Azra, jelas tidak ada usaha serius untuk memajukan kehidupan Islam. Memang ada usaha dari para dai yang keliling menyebarkan Islam, namun kemajuannya tetap tak banyak.
Baca juga: Hikayat Demang Lehman dari Kesultanan Banjar
Yusliani mengungkapkan bahwa birokrasi pemerintahan Kesultanan Banjar pada abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-18 belum secara langsung berfungsi dalam Islamisasi.
“Upaya Tuan Penghulu, Khatib Dayyan dan Khatib Banun membangun berbagai masjid memberikan bukti kiprah kesultanan dalam membangun komunitas muslim,” tulis Yusliani.
Baca juga: Kisah Hubungan Banjar dengan Bangsa Eropa
Dorongan Islamisasi paling nampak setelah kiprah Muhammad ‘Arsyad bin ‘Abd Allah al-Banjari (1710-1812), ulama terkenal kelahiran Martapura, Kalimantan Selatan.
Dia belajar sekira 30 tahun di Makkah dan lima tahun di Madinah. Sekembalinya ke Kalimantan Selatan, dia mendirikan lembaga pendidikan Islam. Dia juga memperbarui administrasi peradilan di Kesultanan Banjar.
“Dia juga memprakarsai jabatan mufti, yang bertanggung jawab mengeluarkan fatwa mengenai masalah keagamaan dan sosial,” jelas Azra.
Ulama lain adalah Muhammad Nafis bin ‘Idris bin Husayn al-Banjari. Dia hidup pada periode yang sama dengan Muhammad ‘Arsyad. Dia lahir di Martapura dari keluarga bangsawan Banjar.
Berbeda dengan Muhammad ‘Arsyad yang merintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencurahkan hidupnya pada Islamisasi wilayah pedalaman Kalimantan Selatan. Orang Dayak kemudian makin banyak menerima Islam.
Baca juga: Punahnya Kesultanan Banjar
Menurut Yusliani, mereka melakukan adaptasi, difusi, asimilasi, dan akulturasi kebudayaannya, daur hidupnya, dengan ajaran-ajaran Islam. “Menghasilkan format pribumisasi Islam,” lanjutnya.
Orang-orang Dayak juga ikut membangun Kesultanan Banjarmasin. Sebagiannya masuk dalam lingkungan kesultanan, baik karena perkawinan maupun statusnya sebagai pemangku adat Dayak.
Dengan proses yang tak serta merta, maka menurut Yusliani, ini menunjukkan Islamisasi Banjarmasin berlangsung secara natural, damai, tanpa paksaan. “Dukungan rakyat Banjarmasin menjadi faktor utama lahirnya Kesultanan Banjarmasin,” tegasnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar