Berislam Ala Salman
Bagaimana sebuah masjid kampus mempraktekan nilai-nilai demokrasi
Beberapa waktu lalu, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) merilis tujuh perguruan tinggi negeri yang sudah tersusupi ide-ide keagamaan radikal. Salah satunya adalah ITB (Institut Teknologi Bandung). Di hadapan media pada awal Juni lalu, masalah ini bahkan dibenarkan oleh Bermawi Priyatna, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan ITB.
Peneliti gerakan terorisme Solahudin menyatakan bingung dengan rilis BNPT tersebut. Jika soalnya adalah di ITB terdapat organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke HTI (Hizbut Thahrir Indonesia), hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru.
“Saya merasa tidak jelas dengan definisi “radikal” versi BNPT. Apakah dengan cap “radikal”, anak-anak tersebut sudah pasti menyebarkan ide-ide yang mengarah kepada terorisme? Kalau hanya sekedar ide, sejak zaman dulu juga di ITB hal-hal seperti itu sudah ada,” ujar Solahudin kepada Historia.
Solahudin benar. Sejak 1970-an, kampus ITB memang sudah dikenal sebagai sentral kegiatan mahasiswa Islam paling dinamis di Indonesia. Berbagai pemikiran, ideologi dan aliran Islam dipastikan pernah singgah di ITB. Menurut peneliti Litbang Departemen Agama Nurhayati Djamas, gejala itu mulai terjadi pada 1960-an ketika sekelompok mahasiswa berlatar belakang “elite santri” mulai memasuki kampus terkemuka yang didominasi orang-orang non Muslim dan kaum priyayi tersebut.
“Masuknya mereka ke ITB, yang tadinya secara penuh didominasi corak sekuler, memberikan suasana baru dengan mulai diadakannya berbagai kegiatan religius,”ujar Nurhayati dalam Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, sebuah buku yang diselaraskan oleh Abdul Aziz dan Imam Tholhah Soetarman.
Faktor Masjid Salman.
Sejak para mahasiswa yang berlatar belakang santri memasuki kampus ITB, berbagai kegiatan keislaman mulai marak. Salah satu kegiatan rutin mereka adalah pelaksanaan shalat Jumat. Aula Barat ITB yang kerap dijadikan tempat pesta dansa-dansi para mahasiswa, setiap hari Jumat disulap menjadi “masjid”.
Situasi tersebut jelas membuat “kegaduhan” di kampus ITB. Dalam suatu ceramah di Masjid Al A’raf, Jakarta pada 1991, almarhum Imaduddin Abdurrachim bercerita bagaimana mereka pernah menjadi obyek perhatian para penghuni ITB saat itu.
“Saat kami berduyun-duyun menuju Aula Barat untuk shalat Jumat, ada saja mahasiswa yang meledek kami sebagai “rombongan onta Arab”,” kenang tokoh HMI Bandung pada 1960-an itu.
Kegiatan keislaman semakin ramai, ketika pada 5 Mei 1974 Masjid Salman secara resmi difungsikan sebagai tempat beribadah mahasiswa beragama Islam. Dua tahun kemudian, Imadduddin mengadakan sebuah kursus kaderisasi bagi para mahasiswa Islam yang diberi nama LMD (Latihan Mujahiddin Dakwah).
Menurut Solahudin, LMD oleh Imad dijadikan media untuk membentuk kader-kader yang tangguh dalam mentransformasikan ideologi Islam. Pada angkatan pertama sekira 50 orang mahasiswa digembleng di Ruang Serba Guna ITB. Setelah melalui test IQ dan wawancara, para mahasiswa yang lolos seleksi di masukan ke base camp di Mesjid Salman.
“Selama tujuh hari tujuh malam mereka dilarang berinteraksi dengan dunia luar,” ujar eks aktivis Salman pada era 1980-an tersebut.
Selanjutnya para peserta itu diajak untuk mengaji sekaligus mengkaji Al Qur’an terutama Surat Al Fath (ayat 27-29) yang mengisyaratkan titik balik kemenangan dakwah Islam melalui Perjanjian Hudaibiyah antara Rasulullah dengan kaum kafir Quraisy pada tahun ke- 6 Hijriyah. Selain itu, mereka pun diwajibkan menghapal dan mendalami ilmu hadist.
Kursus LMD yang merupakan produk awal Masjid Salman ternyata berjalan sangat sukses. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya para pemuda dan mahasiswa yang berminat mengikuti kegiatan tersebut. Semangat “Islam ideologis” yang kemudian disebarkan oleh para alumni LMD dengan cepat menjalar bahkan hingga jauh sampai ke luar Jawa. Salman selanjutnya menjadi prototype masjid kampus ideal di seluruh Indonesia.
Laboratorium Demokrasi
Selama ini banyak kalangan yang menyangka bahwa Masjid Salman hanya dikuasai oleh satu kelompok semata yakni kelompok yang berafiliasi kepada ide-ide Ikhwanul Muslimin. Anggapan itu tidak seluruhnya keliru jika mengingat LMD yang memulai kiprah gerakannya di Masjid Salman merupakan suatu lembaga yang banyak dipengaruhi ide-ide kelompok sosial keagamaan asal Mesir tersebut.
“Imaduddin, inisiator LMD merupakan aktivis IIFSO (Federasi Organisasi Mahasiswa Islam Internasional) yang banyak dipengaruhi pemikiran tokoh-tokoh Ikhwan,” ujar Samsurizal Pangabean dalam suatu tulisannya di Jurnal Islamika Juli-September 1993 berjudul ‘Dunia Islam dan Perubahan Politik Global’.
Namun menurut Nurhayati, sejatinya corak pemahaman Imad tidak seutuhnya Ikhwan minded. Dilihat dari metode gerakan, dia bahkan lebih banyak terpengaruh oleh “Islam gaya Masyumi” yang banyak berkembang di Indonesia.
“Dia ingin memperjuangkan Islam yang kaffah lewat suatu perjuangan konstituante,” ungkap Nurhayati.
Di Salman sendiri, selain ide-ide Ikhwanul Muslimin, sejak 1981 banyak pula berdatangan ide-ide keislaman lain seperti pemikiran Hizbut Thahrir, Darul Islam, Salafi, Syiah dan lain-lain. Semuanya mencoba untuk menjadi paham paling dominan namun tak pernah berhasil. Itu terjadi karena selain kentalnya budaya kritis di kalangan aktivis Salman, juga karena terbukanya kesempatan untuk saling berkompetisi secara sehat.
“Salman itu ibarat laboratorium demokrasi, setiap kelompok dipersilakan membawa ide apapun namun harus melalui “hadangan kritis” para aktivisnya. Jadi kalau tidak bisa menjawab ujian-ujian itu, dipastikan ide-ide yang datang tak bisa berkembang dengan sendirinya” ujar Solahudin.
Pendapat Solahudin dikuatkan oleh Ivan Garda. Menurut eks aktivis Salman era 1990-an itu, budaya diksurus di Salman sangatlah kuat. Selain itu, pola kesetaraan dalam pergaulan antar aktivis berlangsung secara merata. Tak ada istilah orang paling benar dan paling pintar. Semuanya dibangun dalam semangat sama-sama sedang belajar.
“Tapi jika menyangkut hal-hal politis, kami tahu diri dan dengan kesadaran penuh sementara“menjauhkan” diri dari Salman. Bagi kami Salman tetap harus menjadi tempat belajar bukan tempat berpolitik,” ungkap eks aktivis SKau (Salman Kau) tersebut.
Sebagai contoh, ketika sejumlah aktivis Masjid Salman ingin mengekspresikan sikap politiknya terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru terkait jilbab dan pengadaan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), mereka lantas mendirikan PMIB (Persatuan Mahasiswa Islam Bandung).
“Kami berdemonstrasi dan turun ke jalan menentang kebijakan pemerintah tanpa membawa-bawa nama Salman,” kenang Ivan yang merupakan eks Ketua PMIB.
Hingga kini, tak pernah ada kelompok yang benar-benar dominan di lingkungan Masjid Salman. Semuanya tetap terpelihara dalam gaya berislam ala Salman: selalu kritis terhadap ide-ide keagamaan yang mapan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar