Akar Sejarah Pohon Natal
Tradisi menghias pohon Natal bermula sejak abad ke-16. Sempat ditolak umat Katolik karena dianggap pohon penyembah berhala Dewa Thor.
BILA Lebaran Idul Fitri identik dengan ornamen ketupat, Hari Raya Natal punya pohon natal. Ornamen yang bertebaran di rumah-rumah, perkantoran hingga pusat-pusat perbelanjaan itu punya sejarah panjang.
Tradisi menghadirkan pohon natal sebagai pelengkap semangat Natal di Nusantara tercatat sudah eksis sejak pertengahan abad ke-19 meski tak semua umat Kristiani memilikinya. Lazimnya, selain para pejabat pemerintah Hindia Belanda yang memilikinya, pohon natal dihadirkan di tempat-tempat tertentu. Salah satunya di Yayasan Djattie, sebagaimana dilaporkan Java Bode edisi 1 Januari 1859.
“Pada Minggu malam ini pohon natal yang didekorasi dengan indahnya, memanjakan mata anak-anak Yayasan Djattie yang lokasinya sementara ini berada di Gang Pecenongan,” tulis Java Bode.
Pohon natal itu dihadirkan berkat sumbangan sejumlah donatur dan para anggota pengurus yayasan dalam rangka menghadirkan semangat Natal kepada sekira 40 anak-anak asuhn yang sudah ditampung yayasan itu sejak 1855. “Di sebuah meja juga disediakan banyak hadiah dari para donatur. Selain pohon natal, anak-anak itu juga disuguhi kudapan-kudapan yang menciptakan senyuman di wajah anak-anak. Sebuah malam yang tak terlupakan untuk para penghuni cilik Yayasan Djattie,” lanjut suratkabar itu.
Tak hanya di Batavia (kini Jakarta), di sebuah panti asuhan sederhana di Karesidenan Magelang juga diadakan pohon natal. Panti asuhan itu didirikan misionaris Belanda Johannes van der Steur. Selain menampung anak-anak telantar yang dipungut dari jalanan, panti juga maupun anak-anak korban perang.
Baca juga: Pertempuran Natal
“Semalam, pada tanggal 25 (Desember, red.), Natal dirayakan di gereja di bawah pimpinan Tuan Joh. van der Steur. Sebuah Pohon Natal dan hadiah-hadiah dihadirkan untuk anak-anak yang membutuhkan, juga pakaian-pakaian baru. Acara itu menarik minat banyak pihak, termasuk Residen (Magelang, red.) dan keluarganya,” tulis suratkabar De Locomotief, 30 Desember 1897.
Pohon natal bisa dibilang tradisi umat Kristen (Protestan), bukan Katolik. sebelum akhirnya tradisi itu turut menular ke Vatikan sejak 1982. Namun bagaimana sejatinya akar tradisi Pohon Natal itu sendiri?
Pohon Keramat Dewa Thor
Meski tradisi pohon natal lebih identik dengan umat Kristen (Protestan), sejarahnya berakar dari sebuah peristiwa yang dialami salah satu penyebar agama Katolik, Santo Bonifasius, di tahun 723. Dalam Vitae Sancti Bonifatii auctore Willibaldi atau Riwayat Santo Bonifasius yang diterjemahkan dalam bahasa Latin oleh Uskup Willibald, kejadian itu berhulu dari upaya Bonifasius kala mengkristenisasi orang-orang di Germania (Jerman) yang mayoritas masih penyembah berhala.
Baca juga: Masuknya Kristen di Indonesia
Pada tahun 723 saat Bonifasius sedang menyebarlan Katolik di sebuah wilayah, ia bertemu sekelompok penyembah berhala yang sedang menjalani ritual dengan tumbal seorang bayi. Bayi itu akan dikorbankan sebagai persembahan untuk Dewa Thor di bawah pohon donar. Pohon itu dikeramatkan para penyembah berhala di sebuah wilayah yang saat ini diyakini bertempat di sekitar kota Fritzlar, negara bagian Hesse di utara Jerman.
Melihat hal itu, Bonifasius segera mengambil sebilah kapak dan menebang pohon tersebut dengan sekali tebasan diiringi rapalan doa atas nama Yesus Kristus. Meski angin kencang berhembus dan petir menggelegar di langit, Bonifasius tetap berhasil menumbangkan pohon keramat itu dan membuat para pemuja Thor takjub hingga segera beralih keyakinan masuk agama Katolik.
Di balik pohon keramat tumbang itu, Bonifasius melihat sepucuk tunas pohon cemara. Ia pun melontarkan sabda: “Biarkan (tunas) pohon ini menjadi simbol Tuhan yang sebenarnya, biarkan daunnya senantiasa hijau dan takkan mati.”
Namun, peristiwa itu tak serta-merta jadi tradisi Natal umat Katolik. Justru umat Protestan yang menghadirkannya kali pertama, di Katedral Strasbourg pada 1539. Pendapat tersebut tentu bukan final. Ada beberapa pendapat lain, seperti pohon natal sudah dihadirkan lebih awal daripada di Katedral Strasbourg.
Baca juga: Mula Kristen di Sri Lanka
Sejarawan Bernd Brunner merangkum beberapa di antaranya dalam Inventing the Christmas Tree. “Pada 1419 di Asrama Persaudaraan Freiburg disebutkan terlihat sebuah pohon didekorasi dengan apel, wafer, kue jahe, serta hiasan kertas di Rumahsakit Roh Kudus setempat,” ungkap Brunner.
Klaim lain berasal dari dokumen yang belum bisa diverifikasi, lanjut Brunner, adalah klaim bahwa pohon natal pertamakali dihadirkan di Tallinn, Estonia tahun 1441. Pohonnya dipasang di depan balaikota diiringi pesta dansa.
“Di Riga, Latvia, ada lagi klaim bahwa pohon natal pertama yang didekorasi sudah ada sejak 1510. Di sana para saudagar asing yang membentuk sebuah perkumpulan, mendirikan pohon yang didekorasi oleh anak-anak dengan apel, hiasan wol, dan jerami yang ditempatkan di depan balaikota sepanjang musim dingin,” sambungnya.
Pohon Natal di Vatikan
Seiring tempo menggelinding, umat Protestan di Jerman membawa tradisi menghias pohon di malam Natal lewat gelombang migrasi ke penjuru Eropa pada abad ke-16 dan Amerika yang bermula pada 1670-an. Tradisi itu dibawa umat Protestan dari beragam golongan.
“Orang Lutheran Jerman membawa pohon Natal yang dihias bersama mereka; umat Moravian menghiasi pohon-pohon mereka dengan lilin. Saat menghias pohon natal, banyak yang kemudian memasang simbol bintang di pucuk pohonnya sebagai simbol Bintang Bethlehem,” ungkap Dorothy Wells dalam artikelnya, “Christmas in Other Lands” yang termuat di The School Journal Volume 55 terbitan 1897.
Baca juga: Kekayaan Vatikan dan Perompakan
Di Rusia, tradisi pohon natal sudah merambah sejak abad ke-17. Namun sejak Uni Soviet menggantikan Tsarisme Rusia pada 1917, tradisi itu dilarang seiring kampanye anti-agama Soviet. Meski tak satupun pohon natal eksis di Hari Natal, menghias pohon cemara ala pohon natal masih diperbolehkan dalam kerangka festival tahun baru. Ritual-ritual peribadatan Kristen Ortodoks tetap dihilangkan.
Sementara, para pemeluk Katolik Roma menyatakan pohon natal yang acap dihadirkan umat Protestan merupakan simbol paganisme atau penyembah berhala. Pandangan itu baru berubah pada 1982 di masa Kepausan Yohanes Paulus II. Paus Yohanes Paulus II bikin gebrakan bersamaan dengan dihadirkannya presepio atau diorama “Gua Natal” yang menggambarkan kelahiran Yesus Kristus berukuran besar di St. Peter’s Square. Menurut Uskup Agung Mieczysław Mokrzycki, salah satu sekretaris sang paus, pohon natal mulai dihadirkan di Vatikan demi membuat semangat Natal lebih dekat dengan suasana kekeluargaan yang hangat sebagaimana yang biasa dirasakan sang paus di negeri kelahirannya, Polandia.
Baca juga: Habis Natal Terbitlah Boxing Day
“Bapa Kudus (paus) sangat senang merayakan hari suci dengan atmosfer kekeluargaan, sesuai tradisi orang Polandia. Paus Yohanes Paulus II memulainya dengan menyalakan lilin di jendela pada malam hari yang jadi tradisi sejak 1981, ketika Jenderal Jaruzelski (Presiden Polandia, red.) mengumumkan darurat militer; dan Wojtyła (Karol Józef Wojtyła, nama lahir Paus Yohanes Paulus II, red.) ingin lilin itu sebagai simbol kedekatannya dengan rakyat yang dipersekusi,” tuturnya dalam Stories about Saint John Paul II: Told by His Close Friends and Co-Workers oleh Włodzimierz Rędzioch
“Bapa Kudus sangat senang dengan pohon natal. Dulu di apartemennya selalu ada saja yang mengirim pohon natal dari Pegunungan Zakopane. Koridor apartemennya juga dihiasi presepio karena buatnya tidak ada Natal tanpa pohon natal dan presepio,” tandas Uskup Agung Mokrzycki.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar