Seperti Apa Pola Makan Orang-orang di Masa Lalu?
Orang-orang di masa lalu terbiasa makan dua kali sehari dengan waktu makan utama di siang hari. Revolusi Industri mengubah kebiasaan makan sehingga terciptalah pola makan tiga kali sehari.
KEBIASAAN makan tiga kali sehari tentu tak asing bagi orang-orang di masa kini, meski tak semua mengikuti pola makan tersebut. Sarapan, makan siang, dan makan malam membentuk pola makan untuk menopang aktivitas sehari-hari. Namun, jika melihat kehidupan masyarakat di masa lalu, waktu makan tidak diatur secara khusus. Kebiasaan menyantap hidangan di waktu-waktu tertentu umumnya dilakukan oleh orang kaya dan bangsawan.
Dulu, kebanyakan orang terbiasa makan dua kali sehari. Menurut sejarawan Caroline Yeldham sebagaimana dikutip dari artikel “Breakfast, lunch and dinner: Have we always eaten them?” termuat di BBC News Magazine, 15 November 2012, orang Romawi kuno bahkan hanya makan satu kali di siang hari. Menyantap hidangan di pagi hari justru menjadi hal yang tidak disukai.
“Orang Romawi percaya bahwa makan hanya satu kali sehari itu lebih sehat. Mereka terobsesi dengan proses pencernaan yang optimal dan makan lebih dari satu kali dianggap sebagai bentuk kerakusan. Pemikiran ini berdampak pada cara orang makan untuk waktu yang sangat lama,” sebut Yeldham.
Baca juga:
Sementara itu, kebiasaan makan dua kali sehari menjadi hal yang umum di kalangan masyarakat Eropa, khususnya Inggris, pada abad pertengahan. Megan Elias, sejarawan yang meneliti sejarah makanan, menulis dalam Lunch: A History, kebiasaan menyantap makanan di waktu-waktu tertentu populer di kalangan orang-orang kaya dan bangsawan. Bagi kaum elite yang memiliki banyak uang, makan tidak ditentukan oleh tuntutan kerja fisik. Sebaliknya, aturan-aturan rumit yang didasarkan pada pengetahuan tentang anatomi dan fisiologi tubuh yang menentukan apa yang dimakan, kapan, dan bagaimana seseorang makan. Atas dasar hal ini pula pengetahuan tentang urutan makan yang telah disiapkan menjadi hal yang penting bagi dokter maupun juru masak para bangsawan.
“Pola makan dua kali sehari ini tetap menjadi norma untuk sebagian besar Eropa pada abad pertengahan. Waktu menyantap hidangan itu dikenal dengan sebutan dinner dan supper, yang setara dengan makan siang dan makan malam di Amerika modern,” tulis Elias.
Makan tengah hari, yang dikenal sebagai dinner di Inggris, disajikan menjelang tengah hari karena makanan utama yang dihidangkan dalam porsi besar dan beraneka ragam yang diperlukan oleh para elite Eropa membutuhkan waktu beberapa jam untuk dipersiapkan. Waktu makan pertama mereka dimulai pukul 9 pagi, sementara waktu makan kedua (supper) sekitar pukul 5 sore. Jeda waktu empat jam ini dianggap cukup bagi para pelayan untuk menyiapkan makanan dalam jumlah besar.
Seiring dengan terbukanya pasar yang semakin luas untuk barang dan jasa mewah, juru masak profesional menarik perhatian golongan kelas atas dan orang kaya yang semakin makmur dan bertambah jumlahnya. Namun, para juru masak yang semakin terdorong untuk mengembangkan keterampilan untuk mengesankan audiens ini pada akhirnya membuat para elite Eropa dipaksa menunggu lebih lama untuk dapat menyantap hidangan di pagi hari. Karena waktu makan diundur, makan malam juga menjadi lebih larut untuk menyesuaikan dengan kebutuhan tubuh.
“Pada akhirnya, ‘rasa lapar menjadi tak mau menunggu hingga tengah hari atau pukul 1 siang untuk dipuaskan’. Tersiksa oleh ‘aroma lezat yang mulai tercium dari dapur saat fajar menyingsing’ sebagai persiapan dinner, para elite yang kelaparan dan mulai mengoceh akhirnya memutuskan bahwa ‘hal yang wajar’, bahkan menjadi kebutuhan ‘untuk menghilangkan rasa lapar karena tidak mengonsumsi makanan berat di malam hari dengan sedikit makanan sebelum dinner’. Demikianlah acara makan tengah hari melahirkan sarapan pagi,” tulis Elias.
Seiring gencarnya eksplorasi orang-orang Eropa ke belahan bumi lain, tradisi makan mereka diperkenalkan kepada penduduk lokal di wilayah jajahan. Yang menarik, dinner yang kini dikenal sebagai makan malam, di era kolonial justru dilakukan tengah hari. Alih-alih dianggap sebagai acara makan malam, menurut Abigail Carroll dalam Three Squares: The Invention of the American Meal, dinner justru menjadi rangkaian penting dalam pola makan masyarakat di masa itu. Di waktu ini, mereka akan menyajikan makanan utama, di mana dinner kemudian dianggap sebagai penentu jalannya hari.
Baca juga:
“Bagi masyarakat biasa, sarapan dan makan malam menyajikan makanan ringan yang fungsi utamanya untuk menjaga agar perut tetap kenyang hingga waktu makan berikutnya –untuk menjembatani jeda dari waktu makan utama (dinner) ke waktu makan keesokan harinya. Seringkali makan pagi dan malam hanya berupa makanan ringan yang dihidangkan begitu saja… Hal ini terjadi karena bagi sebagian besar orang, makanan adalah sumber energi, dan makan bukan sekadar soal memuaskan lidah atau kebersamaan dengan keluarga, tetapi lebih kepada mengisi kembali tenaga yang terkuras setelah bekerja dan mempersiapkan diri untuk melakukan pekerjaan berikutnya,” tulis Carroll.
Di sisi lain, kegiatan memasak di dekat perapian menjadi sulit dilakukan karena terbatasnya cahaya lilin maupun lampu minyak. Karena lilin dan bahan bakar lampu sangat berharga pada masa itu, maka masuk akal untuk mengakhiri kegiatan, termasuk memasak, ketika (atau jauh sebelum) matahari terbenam. Ritme makan hari itu dengan demikian selaras dengan ritme kerja seseorang, dan keduanya mencerminkan ritme matahari.
Revolusi industri semakin mempopulerkan kebiasaan makan tiga kali sehari dengan istilah-istilah yang dikenal luas oleh masyarakat, yakni breakfast, lunch, dan dinner sebagai sarapan pagi, makan siang, dan makan malam. Kata lunch dipekirakan berasal dari luncheon yang muncul dalam catatan-catatan kehidupan masyarakat kelas menengah di Inggris pada akhir abad ke-18. Luncheon merupakan acara makan setelah sarapan tetapi sebelum makan utama.
“Meskipun penambahan waktu makan ketiga dalam sehari merupakan hasil dari peningkatan kekayaan dan waktu luang, istilah lunch dan luncheon sebenarnya dipinjam dari kehidupan kelas pekerja. Bagi para petani dan buruh, lunch dan luncheon memiliki arti makanan dengan porsi kecil yang dikonsumsi di antara waktu makan berat. Lunch atau makan siang berasal dari kata umum untuk sepotong makanan,” tulis Elias.
Baca juga:
Migrasi besar-besaran penduduk dari pedesaan ke perkotaan imbas Revolusi Industri tak hanya mendorong munculnya beragam pabrik di kota-kota besar. Meningkatnya jumlah pekerja membuat perusahaan mengatur jam kerja secara sistematis dan reguler. Hal ini memengaruhi pola makan kelas menengah ke bawah. Banyak yang bekerja berjam-jam di pabrik dan untuk menopangnya, makan siang sangat penting.
Makan siang menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari. Sebagai upaya memenuhi kebutuhan para pekerja, restoran dan pedagang mulai menjajakan makanan di jalan-jalan dekat pabrik dan kantor untuk menarik para pekerja yang diberi waktu satu jam untuk makan siang. Namun, ketika pecah Perang Dunia II pada 1939 dan penjatahan diberlakukan, makan siang pun berevolusi. Kantin di tempat kerja menjadi cara paling ekonomis untuk memberi makan banyak orang. Model ini diadopsi oleh sekolah-sekolah setelah perang.
Sementara itu, para pekerja yang beraktivitas di kantor maupun pabrik dari pagi hingga malam membuat waktu makan hidangan utama (dinner) semakin bergeser hingga matahari terbenam karena mereka baru mengonsumsi makanan setelah selesai bekerja atau ketika tiba di rumah. Seiring dengan munculnya sereal, industri makanan olahan yang dipicu dari penemuan cornflake oleh John Harvey Kellogg dari Amerika, pandangan bahwa waktu makan hidangan utama yang dulu dianggap paling penting dan penentu hari telah berakhir. Sebab, setelah Revolusi Industri, baik sarapan, makan siang, maupun makan malam memiliki kedudukan yang sama pentingnya dan saling terkait sebagai bagian dari rangkaian pola makan masyarakat masa kini.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar