Pelacur Asing Zaman Kolonial
Perempuan pelacur dari negara lain bukan hal baru di Indonesia. Gadis Eropa pun ada.
GELIAT pariwisata ternyata tak melulu kisah manis. Pihak Imigrasi RI bahkan keteteran untuk mencegah turis asing terlibat prostitusi di Bali.
“Niatnya, datang ke sini (ke Bali) untuk berwisata. Ternyata, sampai di sini, malah melihat peluang (terlibat prostitusi),” kata Kepala Divisi Imigrasi Bali Samuel Toba, dikutip detik travel, 9 Desember 2024.
Prostitusi yang melibatkan orang asing bukanlah hal baru di Indonesia. Surabaya dan Batavia bahkan mengalaminya lebih dulu.
Surabaya pernah tenar dengan Dolly atau Gang Dolly-nya. Sebelum tempat itu dikenal sebagai Dolly, prostitusi di Surabaya sudah berjalan. Tak hanya pelacur lokal, pelacur dari luar negeri pun sudah masuk. Di antaranya berasal dari Jepang.
Hal itu tak lepas dari banyaknya orang Jepang di Surabaya. Raden Panji Suyono dalam Seks dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial mencacat, pada 1920 terdapat 4.144 orang Jepang, 1.504 di antaranya adalah perempuan. Perempuan Jepang yang masih gadis biasa disebut Karayukisan.
Para pelacur Jepang di Surabaya beroperasi di sekitar Jembatan Merah dan di Handelstraat (kini menjadi Jalan Niaga). Daerah itu dikenal sebagai Kembang Jepun dan Kya-kya.
“Kembang Jepun dinamakan demikian karena di jalan ini perempuan-perempuan Jepang didatangkan untuk kemudian disebarkan ke seantero nusantara,” catat Suyono.
Kembang Jepun sudah lama masuk dalam imajinasi sastra Indonesia. Remy Sylado dan Lan Fang sama-sama menggunakan namanya untuk menjuduli novel masing-masing, Kembang Jepun. Dalam Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer juga menyelipkan kisah karayukisan yang ke Hindia Belanda untuk mencari penghidupan karena kemiskinan mereka di Jepang.
Selain di Surabaya, mereka juga tersebar di Sumatra. Para perempuan Jepang malang itu ada yang masuk ke Hindia Belanda secara ilegal. Ini terjadi setelah Restorasi Meiji.
“Sejak 1868 hampir setengah juta perempuan Jepang diselundupkan ke Asia Tenggara untuk pelacuran,”tulis Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008.
Tahun 1868 merupakan awal dari Restorasi Meiji. Pembaruan besar-besaran yang dilakukan Kaisar Meiji itu tak hanya mengubah tatanan politik, tapi juga sosial dan ekonomi, yang menandai Jepang masuk ke dalam industrialisasi modern.
“Awal Zaman (Kaisar) Meiji semakin banyak saja orang Jepang yang bermukim di Indonesia, tetapi mereka terdiri dari berbagai profesi, termasuk pelacur dan germo,” tulis Akira Nagazumi dalam pendahuluan buku Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang.
Ramainya prostitusi di Surabaya jelas terkait dengan posisi Surabaya sebagai kota pelabuhan ramai sejak dulu. Pedagang, pelaut, dan beragam pekerja lain tentu butuh hiburan di sana. Dari sanalah “pasar prostitusi” muncul. Umumnya, menurut Terence Hull dkk. dalam Prostitution in Indonesia: Its History and Evolution, pemilik prostitusi di kawasan pusat kota biasanya orang Tionghoa atau Jepang. Namun para “pegawainya” bisa perempuan mana saja.
“Wanita Indo, Eropa dan Cina dapat pula menjadi pelacur atau selir,” catat Suyono.
Namun, prostitusi tak hanya muncul di kota-kota di Jawa. Di Sumatra pun, prostitusi muncul di kota-kota besarnya. Di Sumatra Utara, misalnya, prostitusi muncul di sekitar perkebunan-perkebunan sebagai penggerak perekonomian, semisal Medan. Daerah perkebunan penting di Hindia Belanda itu menjadi tempat interaksi antara pria tuan kebun ataupun kuli kebun dengan perempuan-perempuan buruh kebun. Perkebunan tembakau membuat ribuan kuli dari Tiongkok didatangkan ke Deli. Di perkebunan-perkebunan itulah prostitusi tumbuh subur, termasuk di kalangan Tionghoa.
“Wanita Cina yang berprofesi sebagai Wanita Tuna Susila dan mereka kebanyakan adalah wanita muda. Jumlah pekerja Cina adalah 30.000 orang di Deli dan mereka tidak membawa istrinya dan juga tidak mudah untuk mendapatkan wanita,” tulit Djoko Utomo dalam Pemberantasan Prostitusi di Indonesia Masa Kolonial yang dirilis Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Penyebaran prostitusi ke banyak kota juga beriringan dengan kemunculan tangsi-tangsi militer tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Di kota Palembang, bahkan ada juga perempuan Eropa yang dicap sebagai pelacur atau wanita simpanan terkenal. Asisten Residen Palembang Van Mark pada 1906 melaporkan kehidupan seksual Henriette Anderson alias Nona Jet. Perempuan yang pada 1906 berusia 24 tahun itu datang ke Plaju untuk tinggal seatap dengan Sersan Nachtzijl di sebuah tangsi militer. Sersan Nachtzijl pernah ingin menikahinya, namun Jet menolak dan pergi dari tangsi. Nona Jet kemudian tinggal di Perkebunan Karang Ringin, Musi Ilir, lalu di Jalan Sajangan, di kawasan 16 Ilir Palembang.
“Dia sudah memulai hidup cabul. Dan lebih buruk setelah Nachtzijl pergi ke Eropa,” lapor Asisten Residen Van Mark kepada residen Palembang pada 27 Juni 1906.
Popularitas Nona Jet membuat seorang pria Tionghoa kaya Palembang kepincut dan berupaya mendekatinya. Namun kemudian Nona Jet tidak terima dituduh sebagai pelacur sehingga mengirim surat keberatannya kepada residen Palembang.
Meski tak banyak, perempuan Eropa yang menjadi pelacur bukan satu-dua. Fenomena itu setidaknya direkam sebagai karakter dalam novel Salah Asuhan karya Abdul Muis. Di dalam novel itu, dikisahkan Corry Du Buus. Gadis Indo yang dicintai Hanafi itu kemudian terjun ke dunia prostitusi lalu meninggal karena penyakit kelamin. Di dunia nyata, pelacur Indo terkenal adalah Fientje de Feniks, yang tewas di tangan pelanggannya yang juga berdarah Belanda, Gemsar Brinkman.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar