Papanggo Kampung Serdadu
Kampung Papanggo di Jakarta Utara dulunya tempat orang-orang Filipina yang dijadikan serdadu VOC. Namanya terpelihara dengan baik di Jakarta sebagai penjaga memori atas kolonialisme.
AKHIR tahun 2023 lalu, pintu tol baru bernama Papanggo di Jakarta Utara resmi dibuka. Letaknya persis di tepi Danau Sunter bagian timur laut. Berseberangan dengan stadion terbesar di Indonesia, Jakarta International Stadium (JIS), yang berdiri tepat di sisi barat danau.
Papanggo merupakan nama sebuah kelurahan di Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Tak hanya tergolong unik namanya, Papanggo juga menjadi penjaga ingatan sejarah atas kota Jakarta.
Di masa jayanya maskapai dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), banyak etnis dari luar Banten dan Jawa Barat yang datang ke daerah Sunda Kelapa yang oleh Belanda diubah menjadi Batavia. Tak hanya suku-suku dari seantero Nusantara dan Belanda saja, tapi juga dari negara lain seperti Filipina.
Istilah “Papanggo” terkait dengan Filipina. Ia merupakan nama daerah di Pulau Luzon, Pampanga. Orang-orang setempat kerap melafalkan Pampanga sebagai “Papango”. Orang-orang Pampanga atau Papanggo, menurut Bondan Kanumuyoso dalam Ommelanden: Perkembangan Masyarakat dan Ekonomi di Luar Tembok Kota Batavia, datang ke Batavia sebagai tawanan perang.
“Kedatangan mereka di Batavia sebagai tawanan perang dan mendapatkan kemerdekaan setelah bekerja pada VOC selama satu tahun,” catat Thawaluddin Haris dalam Kota dan Masyarakat Jakarta: Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial Abad XVI-XVIII).
VOC sendiri punya kebiasaan menjadikan tawanan atau budak sebagai serdadu jika ingin mendapatkan pembebasan. Kebiasan itu klop dengan tabiat orang Papanggo. Menurut Rusli Amran dalam Cerita-cerita Lama dalam Lembaran sejarah, “Papanggo di Filipina terkenal dengan penduduknya yang suka perang.” Sebelumnya, lebih dulu orang-orang Papanggo telah digunakan oleh kolonialis Spanyol.
Setelah direkrut VOC dan dibawa ke Batavia, orang-orang Papanggo yang disebut Belanda sebagai “Papangers” itu ditempatkan dalam sebuah kampung tersendiri sebagaimana etnis-etnis lain di Batavia. Orang Bandan, misalnya, ditempatkan di daerah yang kini disebut Kampung Bandan; lalu orang-orang Bali ditempatkan di daerah yang kemudian bernama Kampung Bali.
“Papanggo sebagai kawasan permukiman pendatang dari Papanggo Filipina,” tulis Lukman Mokoginta dalam Jakarta Untuk Rakyat.
Letak kampung Papanggo berada di sisi timur kota Batavia yang dibangun VOC dan ditempati orang-orang Eropa. Jaraknya tidak jauh dari Kampung Bandan. Peletakan itu terkait erat dengan politik segregasi yang diterapkan penguasa Belanda.
Orang-orang Papanggo kemudian dijadikan penjaga rust en orde (keamanan dan ketertiban) di Batavia. Dalam hal ini, kata Thawaluddin Haris, mereka dijadikan schutterij atau polisi keamanan kota. Jumlah mereka tidaklah banyak. Pada 1702, orang-orang Papanggo dimasukkan dalam satu kompi yang –berisi sekitar 100 orang– sama dengan orang Banda. Mereka dipimpin oleh seorang kapiten yang beragama Islam.
“Sehingga kelompok kecil ini kehilangan sifat kebangsaan dan ke kristenannya,” catat Thawaluddin Haris.
Sebagai pasukan, orang-orang Papanggo punya komandan yang berasal kaum mereka. Sama seperti serdadu-serdadu asal Ambon abad ke-17 yang punya komandan yang disebut kapitan. Bila orang-orang Ambon punya Kapitan Jonker yang terkenal, orang-orang Papanggo di era VOC punya Kapitan Augustijn Michiels (1769-1833).
Mona Lohanda dalam The Kapitan Cina of Batavia, 1837-1942 menyebut Kapitan Michiels merupakan keturunan Papanggo dan setelah 20 tahun mengabdi pada militer Belanda, dia pensiun pada 1807 dan diberi pangkat mayor kehormatan. Dia kemudian dikenal sebagai Mayor Jantje.
Reputasi Mayor Jantje lebih dikenal sebagai tuan tanah kaya-raya di daerah Cileungsi, Klapanunggal, Citeureup, Nanggewer, Nambo dan sekitarnya. Beberapa landhuis (rumah-villa tuan tanah) beserta perkebunan-perkebunan berdiri di daerah-daerah itu. Beberapa keturunan sang mayor juga menjadi tuan tanah kaya.
Mayor Jantje amat senang mendengarkan musik dalam pesta. Kegemarannya itu acap dijadikannya sebagai suguhan pada tamu-tamu yang berkunjung ke rumahnya. Musik suguhan itu dimainkan oleh kelompok orkes yang dimiliki Mayor Jantje. Saking gemarnya, Mayor Jantje sampai punya empat orkestra: satu marching band tentara, satu orkestra Eropa, orkestra Tionghoa, dan orkestra yang khusus memainkan gamelan. Dari para budak yang dijadikan pemain musik dalam orkestra itulah kelak lahir musik-musik tradisional seperti Tanji di Sambas atau Tanjidor di Betawi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar