Manggarai: Budaknya, Stasiunnya, dan Buruhnya.
Bekas tempat karantina budak dari Manggarai di Jakarta ini terus berkembang maju karena kereta api. Kini stasiun keretaapinya menjadi salah satu stasiun terpenting ibukota.
STASIUN Manggarai kini merupakan stasiun tersibuk di Jakarta. Letaknya yang strategis membuatnya jadi persimpangan empat arah bagi Kereta Rel Listrik (KRL), dari arah Jakarta Kota, Tanah Abang (menghubungkan jalur Banten), Bogor, dan Bekasi. Kereta-kereta jarak jauh ke jurusan Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur pun lewat stasiun ini. Keramaiannya membuat banyak penumpang KRL enggan berganti kereta di stasiun ini. Bahkan, pernah ada yang berhenti bekerja daripada harus melewati stasiun yang berada di tengah-tengah kota Jakarta ini.
Seperti namanya, stasiun itu berada di Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Nama Manggarai cukup unik. Mengingatkan nama daerah di Nusa Tenggara Timur.
“Istilah Manggarai muncul dalam masa-masa pergulatan politik antara Bima, Gowa-Tallo dan Masyarakata Nuca Lale sekitar abad ke-18. Beberapa tulisan yang selalu dirujuk ketika berbicara tentang istilah Manggarai adalah JP Freijss dalam artikel Naar Mangarai en Lombok,” catat Hironimus Bandur dalam Muslim dan Katolik Manggarai, Flores Barat.
Menurut Freijss, Manggarai diambil dari dua kata: “Mangga” (nama buah) dan “Raja” atau “Raya” (yang artinya besar). Orang Belanda sulit menyebut Mangga Raya atau Mangga Raja, maka mereka pun menyebutnya sebagai Manggarai.
Manggarai di Jakarta sendiri kadang dikaitkan dengan sejarah perbudakan di kota Jakarta. Budak-budak dari daerah Manggarai di Nusa Tenggara Timur dulu dibawa oleh para pedagang budak, termasuk dari Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), ke Batavia (nama lama Jakarta).
Baca juga: Perbudakan di Nusantara
“Budak-budak dari Manggarai biasanya dijual ke Batavia dan ke luar negeri. Maka tidak heran jika di Batavia atau Jakarta dewasa ini ada kampung bernama Manggarai, karena di sanalah budak-budak asal Manggarai dikarantina sebelum lebih lanjut ke luar negeri,” tulis Yohanes S. Lon dan Dr. Fransiska Widyawati dalam Mbaru Gendang, Rumah Adat Manggarai, Flores: Eksistensi, Sejarah, dan Transformasinya.
Batavia menjadi tempat perhentian penting para budak dari Manggarai itu. Sebelum mencapai Batavia, mereka telah beberapa kali transit di tempat penampungan. Anwar Thosibo dalam Historiografi Perbudakan, Sejarah Perbudakan di Sulawesi Selatan abad XIX. Menyebut, para budak dari Manggarai itu sempat pula ditampung di Makassar, yang merupakan pusat dari Kerajaan Gowa -Tallo. Dari sana, para budak itu dikapalkan hingga menyebar sampai ke Batavia.
Setelah VOC bubar, daerah Manggarai di Batavia berkembang terutama karena keretaapi. Pemerintah Hindia Belanda menjadikannya stasiun persimpangan yang menghubungkan Jakarta Kota dan Tanah Abang dengan Bekasi dan Bogor. Adanya stasiunnya keretaapi itu membuat kampung-kampung di sekitar Manggarai berkembang. Alhasil Manggarai identik dengan keretaapi, baik stasiun maupun bengkelnya.
Baca juga: Prabowo Berenang di Manggarai
“Perkampungan Manggarai ini sebetulnya mulai mulai dihuni waktu zaman Belanda, mungkin sekitar tahun 20-an. Semua rumah-rumah buruh Manggarai menghadap persimpangan dan jalan yang sama. Dan ketika saya masu ke sini tahun 40-an, perumahan di sini sudah sama bentuknya,” kenang Dasmi, seperti dikutip Razif dalam artikel berjudul “Buruh Kereta Api dan Komunitas Buruh di Manggarai” di buku Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa.
Sebagai daerah para buruh, kelompok kiri atau komunis macam simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pun banyak yang bercokol di sekitar stasiun Manggarai. Bahkan, serikat buruh di sana, yakni Serikat Buruh Kereta Api (SBKA), aktif bergerak dalam isu-isu ekonomi hingga politik. Sudah barang tentu banyak buruh keretaapi yang membantu perjangan Republik Indonesia. Dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, John Roosa menulis bahwa buruh keretaapi di Manggarai membantu pengangkutan perbekalan untuk Republik Indonesia. Buruh keretaapinya juga terlibat dalam pemindahan ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta.
Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang merupakan pengusaha berjuluk “Raja Mobil Indonesia”, menggunakan tenaga Stasiun Manggarai ketika menyelundupkan senjata untuk keperluan perjuangan. Dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang, dia mengisahkan penyelundupan senjata itu hanya bisa berjalan lancar berkat bantuan Alinoor Ludin, kawannya yang bekerja di bengkel Stasiun Manggarai.
“Serahkan padaku. Aku jamin beres,” kata Alinoor kepada Hasjim, dikutip dalam Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Baca juga: Duet Pengusaha Indonesia Selundupkan Senjata
Peran para buruh keretaapi di Manggarai masih berlanjut hingga 1960-an. Dalam isu-isu ekonomi hingga politik, mereka yang terhimpun dalam Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) tak pernah absen. Pada paruh kedua 1950-an, SBKA ikut aktif dalam nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.
Kini, SBKA tinggal cerita. Hanya tulisan SBKA di menara air stasiun yang tersisa sebelum Stasiun Manggarai direnovasi seperti sekarang. SBKA tak bisa lagi ditemukan, terlebih jejak orang dari Manggarai yang dijadikan budak oleh VOC dan dikarantina di kawasan yang sudah lebih dari 100 tahun padat oleh permukiman itu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar