Lima Pemberontakan Penjara Paling Berdarah
Insiden di Mako Brimob menambah panjang daftar pemberontakan di penjara yang terjadi di berbagai penjara dunia.
KERUSUHAN tahanan teroris di Rumah Tahanan Markas Komando (Mako) Brimob Polri, Kelapa Dua, Selasa (8/5/2018) malam menggegerkan publik dalam negeri dan sejumlah media asing. Lima personil polisi dan satu tahanan tewas dalam insiden berdarah yang baru berakhir Rabu (9/5/2018) pagi itu.
Menurut kabar, kelompok teroris ISIS mengklaim jadi dalang kerusuhan tersebut. Laman Voice of America Indonesia yang melansir Amaq (media yang berafiliasi dengan ISIS) mengungkapkan, ini jadi aksi teror lanjutan pasca-tragedi bom di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, Mei 2017.
Menurut keterangan Humas Polri, penyebab kerusuhan diduga berasal dari titipan makanan untuk salah satu tahanan ditahan petugas. Ketidakterimaan si tahanan lalu memicu konflik. Kerusuhan teredam dengan korban jiwa, sebagaimana ratusan insiden serupa di masa lalu yang terjadi di berbagai penjuru bumi. Berikut lima insiden serupa paling brutal:
Kamp Gulag Kengir (Uni Soviet, kini Kazakhstan)
Para tahanan di Kamp Gulag Kengir (Foto: Kaunas 9th Fort Museum)
Sejumlah gulag atau kamp kerja paksa Uni Soviet bergolak kala kepala NKVD (polisi rahasia Soviet) Lavrentiy Beria ditangkap Rezim Bulganin-Khrushchev pasca-kematian Joseph Stalin. Pemberontakan terbesar terjadi di Kamp Gulag Kengir. Kamp itu sampai berhasil dikuasai ribuan tahanan pimpinan mantan letkol Kapiton Kuznetsov sejak 16 Mei hingga 26 Juni 1954. Menurut Aleksandr Solzhenitsyn dalam The Gulag Archipelago, Kuznetsov memimpin 5.200 tahanan gabungan (napi kriminal dan politik) untuk melumpuhkan para penjaga dengan senjata seadanya, macam tongkat hingga katapel.
Para penjaga yang berhasil melarikan diri meminta bantuan Tentara Merah. Dengan kekuatan 1700 personil didukung lima tank T-34 Tentara Merah langsung menyerbu kamp dan melumpuhkan para tahanan. Otoritas resmi menyebut hanya 37 tahanan yang tewas dan 40 prajurit Tentara Merah terluka. Namun menurut sejumlah sumber lain, jumlah tahanan tewas lebih besar, antara 500-700 jiwa, dan 106 lain terluka. Jumlah itu di luar para tahanan yang meninggal karena luka atau dieksekusi setelah kamp kembali dikuasai Tentara Merah.
Penjara New Mexico (Amerika Serikat)
Sisa-sisa kebrutalan pada kerusuhan Penjara New Mexico (Foto: newmexicohistory.org)
Selama dua hari sejak 2 Februari 1980, Penjara New Mexico membara. Para tahanan memberontak dan sempat menyandera para sipir. Roger Morris dalam The Devil’s Buther Shop: The New Mexico Prison Uprising menyebutkan, korban jiwa mencapai 33 orang dan 200 lainnya luka-luka. “Penyebab kerusuhan mudah ditebak, berdasarkan penilaian kondisi penjara,” sebut Morris.
Penjara itu sedianya hanya bisa menampung 900 tahanan, faktanya saat kejadianjumlah tahananmencapai 1.136 orang. Selain soal kapasitas, menurut Mark Colvin dalam The 1980 New Mexico Prison Riot, faktor lain penyebab kerusuhan adalah dihapuskannya program pendidikan, rekreasi, dan sejumlah program rehabilitasi lain yang pada 1970-1975 berjalan lancar.
Kerusuhan ini jadi salah satu kerusuhan penjara paling brutal dalam sejarah Amerika. Para tahanan dalam beberapa kubu saling bunuh dengan cara keji, mulai dimutilasi hingga bakar hidup-hidup. Para sipir yang disandera juga disiksa. Beberapa dari mereka diperkosa walau tak dibunuh.
Pihak lapas meminta bantuan pasukan Kepolisian Santa Fe bersenjata berat. Gubernur Negara Bagian New Mexico Bruce King bahkan mendatangkan pasukan Garda Nasional. Walau negosiasi berjalan alot, para sipir yang disandera dilepaskan para tahanan. Pada negosiasi kedua, para tahanan didesak untuk menyerahkan kendali lapas dengan janji takkan ada konsesi buat para tahanan.
Penjara Lurigancho, Santa Monica dan El Fronton (Peru)
Berbarengan dengan dihelatnya Kongres Internasional Sosialis di Peru, Juni 1986, kerusuhan pecah di tiga penjara: San Juan de Lurigancho, Santa Monica, dan El Fronton. Selain mengambilalih kendali penjara, para napi menyandera tiga sipir dan tiga wartawan yang meliput.
Kerusuhan diduga terkait dengan konflik politik internal Peru. Indikator untuk itu antara lain tuntutan para napi dalam negosiasi. Mereka minta pembebasan 500 tahanan politik Shining Path (Partai Komunis Peru) yang dicap teroris oleh pemerintahan Presiden Alan Garcia.
Lantaran negosiasi menemui jalan buntu, pemerintah mengerahkan Angkatan Darat dan Angkatan Laut disokong Garda Republik untuk merebut kembali kendali penjara. Petang 18 Juni, pasukan Garda Republik mendobrak masuk Penjara Wanita Santa Monica untuk membebaskan para sandera. Beberapa jam kemudian, 19 Juni dinihari, giliran pasukan AL menyerbu Penjara El Fronton. Adapun Penjara Lurigancho diserang pasukan gabungan Angkatan Darat dan Garda Republik.
Menurut telegram laporan yang diterima Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, 124 tahanan tewas dalam penyerangan itu dan 100 lain tewas dieksekusi pasca-penyerangan. Laporan Joanna Weschler dari Human Rights Watch pada 1993, The Human Rights Watch Global Report on Prisons, menyebutkan total 224 tahanan politik di tiga penjara tewas akibat represi militer Peru selama dua hari, 18-19 Juni 1986.
Penjara Carandiru (Brasil)
Hanya gara-gara keributan dari sebuah permainan sepakbola, lebih dari 100 nyawa tahanan Penjara Carandiru, Sao Paulo, Brasil, melayang pada 2 Oktober 1992. Dua kelompok tahanan saling serang usai main bola di fasilitas olahraga penjara sekitar pukul 13.30.
Kerusuhan meluas hingga melibatkan nyaris seluruh tahanan yang berjumlah 2.069 orang. Suratkabar The New York Times, 4 Oktober 1992, memberitakan penjaga lapas kehilangan kendali keamanan sampai harus minta bantuan pasukan polisi militer Sao Paulo.
Pasukan polisi militer dengan cepat meredakan kerusuhan. Tapi yang terjadi kemudian, justru pembantaian. Ratusan tahanan yang diciduk langsung dihabisi oleh pasukan. Laporan Amnesty International bernomor AMR/19/008/1993 pada 30 April 1993 menyatakan, total 111 tahanan tewas. Dari hasil pemeriksaan pasca-insiden, terdapat 515 proyektil peluru ditemukan di wajah, kepala, tenggorokan, dan dada para tahanan yang tidak hanya pelaku kerusuhan namun juga saksi penembakan itu sendiri.
Kasusnya itu sempat menggegerkan dunia lantaran dianggap pelanggaran HAM berat. Namun baru pada April 2013-April 2014, 63 personel polisi militer pelaku pembantaian disidang dengan tuntutan mencengangkan, antara 156 sampai 624 tahun penjara. Pada 2016, hakim justru membebaskan mereka dengan alasan tindakan para polisi militer itu upaya membela diri.
Penjara Anisio Jobim, Monte Cristo dan Roraima (Brasil)
Para tahanan kriminal di Brasil saling serang sebelum dijinakkan kepolisian (Foto: Youtube)
Januari 2017 jadi bulan berdarah di tiga penjara Brasil, Penjara Anisio Jobim di Amazonas, Penjara Monte Cristo di Boa Vista, dan penjara Roraima. Perang antar-geng –di bawah kartel narkoba Primeiro Comanda dan Capital (PCC) dan Familia do Norte (FDN) yang disokong Comando Vermelho (CV)– menjadi penyebab kerusuhan itu.
CNN melaporkan pada 3 Januari 2017, kerusuhan antar-kelompok tahanan itu menewaskan 56 tahanan di Penjara Anisio Jobim. Semua korban tewas dalam keadaan kepala terpenggal. Lima hari berselang, kerusuhan melanda Penjara Monte Cristo. Dengan korban 33 tahanan tewas, kerusuhan ini ditengarai merupakan balasan kelompok tahanan yang dibantai di Anisio Jobim.
Kerusuhan merembet ke Penjara Roraima. Korban tewas mencapai 33 orang. Sekira 106 tahanan dilaporkan melarikan diri. Hingga Januari 2018 baru 29 di antara tahanan kabur itu yang berhasil ditangkap kembali.
Tiga kerusuhan antar-geng di tiga penjara itu mengakibatkan lebih dari 140 tahanan tewas pada 1, 8, dan 24 Januari 2017. Jumlah korban luka-luka tak diketahui pasti.
Baca juga:
Ketika Sipir Berserikat di Dalam Penjara
Kematian Stalin dalam Banyolan
Dari Pertahanan Menjadi Rumah Tahanan
Berteman dalam Tahanan
Tambahkan komentar
Belum ada komentar