Anak Yatim Piatu dan Terlantar pada Masa VOC
Anak-anak yatim piatu dan terlantar ditampung di panti asuhan. Namun, pengelolaan yang tidak maksimal membuat nasib anak-anak malang itu memprihatinkan.
PENDUDUK Batavia tak hanya pria dan wanita dewasa, tetapi juga anak-anak termasuk anak-anak yatim piatu dan terlantar. Wabah penyakit dan kemiskinan menyebabkan jumlah mereka bertambah. Mereka ditampung di panti asuhan yang didirikan oleh penguasa kota Batavia.
Seperti halnya kastil dan benteng, panti asuhan juga merupakan bangunan awal yang didirikan di Batavia. Sejarawan Jean Gelman Taylor menulis dalam The Social World of Batavia: Europeans and Eurasians in Colonial Indonesia, lima tahun setelah Batavia berdiri, sebuah tempat penampungan untuk anak-anak yatim piatu sudah dibangun di kota itu. Tak hanya menerima anak-anak Eropa, panti asuhan yang didirikan pada Oktober 1624 itu juga merawat anak-anak yatim piatu dari keturunan campuran atau Eurasia maupun penduduk lokal beragama Kristen. Di sana, mereka dididik sesuai kebiasaan Eropa dengan tujuan untuk mewujudkan masyarakat yang beradab di wilayah koloni.
Sementara itu, anak-anak yatim piatu dari keluarga terhormat dan kaya dapat dibesarkan di rumah wali atau ditempatkan dalam pengasuhan “penduduk wanita yang dianggap terhormat dan saleh”, yang harus melaporkan secara teratur rincian biaya pengasuhan anak tersebut kepada dewan pengawas. Untuk anak-anak yatim piatu yang tidak memiliki harta benda, mereka ditempatkan di panti asuhan dan menjadi tanggungan penduduk kota hingga memasuki usia remaja.
Baca juga:
Joan Nieuhofs, pegawai VOC yang bermukim di Batavia pada 1660-an, memberikan gambaran mengenai kondisi weeshuis atau panti asuhan pada pertengahan abad ke-17. “Panti asuhan itu berada di ujung sisi barat Parit Badak (Rinocerosgracht). Bangunannya dikelilingi tembok batu dan dilengkapi dengan bilik-bilik kamar yang menjadi tempat tinggal para pengurus anak yatim piatu,” tulis Nieuhofs dalam Gedenkwaerdige zee en Lantreize door de Voornaemste Landschappen van West en Oostindien.
Menurut Frederik de Haan dalam Oud Batavia Volume 1, pada 1662 panti asuhan dipindah ke Spinhuisgracht. Selain panti asuhan untuk anak-anak yatim piatu, di sana juga terdapat rumah penampungan untuk orang-orang miskin yang juga berfungsi sebagai rumah sakit, rumah sakit jiwa, rumah tahanan, dan rumah rehabilitasi bagi orang Eropa. Kemungkinan besar pemindahan ini dilakukan karena meningkatnya jumlah penghuni panti asuhan yang beberapa di antaranya merupakan pendatang yang tiba di Batavia usai pasukan Coxinga mengalahkan VOC di Formosa pada 1662. Sebelum itu juga ditemukan beberapa anak terlantar yang nekat membangun gubuk bambu untuk tempat tinggal di kawasan Parit Macan (Tijgersgracht).
Seorang induk semang ditunjuk untuk mengelola panti asuhan. Selain mengawasi perilaku anak-anak panti asuhan, ia juga bertanggung jawab terhadap pendidikan mereka. Seiring berjalannya waktu, pada abad ke-18 anggota diakoni semakin aktif melakukan pengawasan terhadap panti asuhan. Kegiatan yang disebut “pengawasan tahunan” itu diselenggarakan pada Februari setelah penerimaan anggota diakoni baru.
Menurut Hendrik E. Niemeijer dalam Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII, tujuan inspeksi ke panti yatim piatu dan orang-orang miskin yakni untuk melihat keadaan para anak yatim piatu serta menentukan barang-barang yang perlu dibeli untuk tahun berikutnya seperti kain, peralatan sekolah, dan bahan pangan yang dibeli dari toko kecil di dalam kastil. Kunjungan tersebut juga dimanfaatkan anggota diakoni untuk memeriksa kondisi bangunan dan administrasi panti asuhan.
Pengawasan dilakukan setelah Dewan Diaken baru –yang terdiri dari 12 anggota– dipilih dan rapat perdana selesai diselenggarakan. Seluruh anggota diakoni berkunjung ke panti asuhan untuk meninjau keadaan di sana. Setibanya di panti asuhan, mereka akan duduk di kursi-kursi yang telah disediakan lalu memanggil satu per satu anak disaksikan oleh penjaga panti. Setiap anak akan ditanya dan diperiksa untuk mengetahui apakah peraturan yang telah ditentukan dilaksanakan dengan benar. Setelah itu, anak-anak yatim piatu akan diberi dorongan dan nasihat agar belajar lebih giat, sementara anak-anak nakal diberi hukuman agar patuh pada perintah yang diberikan oleh induk semang.
Baca juga:
Pada saat inspeksi tahunan itu, para anggota diakoni juga akan memeriksa apakah ada anak-anak yang sudah berusia cukup matang dan telah mengenyam pendidikan yang cukup baik untuk dilepaskan dari panti asuhan. Meski tidak ada ketentuan yang jelas mengenai batas umur, anak-anak berumur 18 tahun ke atas telah dianggap layak untuk hidup sendiri di luar panti asuhan. Namun, bila anak tersebut telah menguasai keahlian tertentu di usia muda, maka ia bisa keluar panti lebih cepat karena telah mendapatkan pekerjaan.
“Pada saat mereka meninggalkan panti asuhan, anak-anak ini diharapkan untuk berterima kasih kepada masyarakat, menghormati orang yang lebih tua, dan fasih berbahasa Belanda,” tulis Taylor.
Kondisi berbeda terlihat pada anak-anak perempuan di panti asuhan. Mereka akan keluar panti asuhan bila dinyatakan telah siap menikah atau sudah ada lelaki yang meminangnya. Sembari menunggu waktu itu tiba, mereka mendapat pelatihan –menulis dan menjahit– serta dididik pelajaran agama dan tata krama. Anak-anak perempuan dapat mencari nafkah di panti asuhan dengan menjahit maupun melakukan pekerjaan rumah tangga.
Kendati demikian, hidup di panti asuhan tidak mudah, dalam beberapa kasus, kondisinya sangat memprihatinkan. Menurut de Haan, anak-anak perempuan di panti asuhan kerap dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa dibayar. Selain itu, meski diberi anggaran untuk memenuhi kebutuhan hidup anak-anak panti asuhan, dana yang digunakan juga sangat terbatas. Pakaian yang mereka kenakan begitu lusuh dan makanan yang diberikan pun sedikit.
Niemeijer menyebut anak-anak perempuan hanya diberi dua baju atas dan dua rok bawah atau sarung, sehingga mereka kesulitan membersihkan diri serta berganti pakaian. Kondisi tempat tidur mereka juga tak lebih baik, anak-anak yatim piatu tersebut tidur dalam kamar sempit, tanpa ranjang maupun kasur, hanya bantal kecil lusuh dan kotor yang menemani malam-malam mereka.
Keadaan menyedihkan itu akhirnya diketahui para pejabat Batavia. Setelah mendapat laporan, mereka mengunjungi panti asuhan. Hasilnya, sejumlah peraturan diubah, mulai dari menyediakan dana lebih besar untuk kebutuhan sehari-hari hingga alokasi pakaian untuk anak-anak yatim piatu.
Seiring berjalannya waktu, perhatian terhadap nasib anak-anak yatim piatu dan terlantar semakin meningkat. Yayasan maupun sekolah untuk anak-anak malang ini mulai bermunculan dengan dana sumbangan pribadi.
De Haan menyebut pada 1832, melalui perantaraan misionaris W.H. Medhurst, Institut Parapatan didirikan dengan dana sumbangan pribadi. Di sekolah ini anak-anak diajarkan bahasa Inggris. Pada 1846, sekolah itu pindah ke Rijswijk. Beberapa tahun berselang, Djatigesticht dibangun oleh E. Francis, yang kemudian pindah ke Kramat pada 1864. Keduanya ditujukan untuk anak-anak terlantar dan membutuhkan yang berasal dari Eropa, yang pertama lebih khusus untuk anak yatim piatu dari pernikahan yang sah.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar