Nasib Pasien Negeri Jajahan
Belanda menampung penderita gangguan jiwa secara cuma-cuma. Seolah menolong, sejatinya tetap saja memeras keringat mereka si miskin.
SEJAK rumahsakit jiwa (RSJ) pertama dibangun di Buitenzorg (Bogor) tahun 1882, pasien gangguan jiwa terus berdatangan. Bahkan ketika Pulau Jawa sudah memiliki dua RSJ baru, dibangun pada awal abad ke-20 di Malang dan Magelang, tetap kewalahan menangani jumlah pasien yang terus membludak.
Pasien itu ada yang diantar keluarga, ada juga yang diantar prabot desa. Salah satu pasien, orang Tionghoa berusia 30 tahun, misalnya, diantar keluarganya ke RSJ Magelang akibat sering memukuli istrinya. Pasien yang diantar oleh keluarganya ini adalah mereka yang membayar perawatan secara penuh. Biasanya mereka kelas atas pribumi dan Tionghoa, atau keluarga Eropa.
Sementara, pasien golongan kedua adalah mereka yang dirawat secara cuma-cuma lantaran gangguan jiwa yang dianggap mengganggu masyarakat. Mereka merupakan pribumi miskin. Sebelum dimasukkan ke RSJ, penderita jenis ini terlebih dulu ditangkap, dipenjara, dan diadili.
Baca juga: Pemerintah kolonial merawat secara cuma-cuma penderita gangguan jiwa yang terlantar
Jumlah mereka amat banyak, mendominasi jumlah pasien RSJ. Di RSJ Sumber Porong, Malang, misalnya, jumlah mereka mencapai 2000 dari 2600 pasien yang mesti dirawat RSJ sampai tahun 1930. Menurut Hans Pols dalam “The Psychiatrist as Administrator: The Career of W. F. Theunissen in the Dutch East Indies”, jumlah pasien yang membayar secara penuh pengobatannya hanya sekira dua ratusan orang.
Dengan perbandingan yang senjang antara pasien yang dirawat gratis dan mereka yang membayar, pengelola rumah sakit melakukan siasat. RSJ Sumber Porong yang dipimpin WF Theunissen lalu membangun banyak tempat tidur dan menghemat biaya pembangunan serta lahan dengan mengurangi jumlah paviliun.
Baca juga: Mulanya rumah sakit jiwa dibangun untuk layanan kesehatan mental orang Eropa
Meski RSJ di era kolonial menampung pasien dari segala ras atau etnis, pemisahan kelas antara Eropa, pribumi kaya, dan pribumi miskin tetap terjadi. “Tidak ada bangunan dari batu bata untuk inlander. Bangsal mereka disesuaikan dengan gaya hidup dan etnisitasnya, juga kebutuhannya,“ kata JW Hoffman, psikiatris yang menggagas perawatan kesehatan mental untuk pribumi dan perawatan kesehatan mental pribumi berbiaya murah, dikutip Sebastiaan Broere dalam In and Out of Magelang Asylum. Bangsal berbatu bata selain mahal dianggap tak cocok untuk pasien pribumi. Alhasil, mereka ditempatkan di rumah bambu yang bahkan tak berjendela.
“Mereka akan makin stres dan kena beri-beri lalu meninggal. Biarkan orang Jawa melihat gunung birunya, menetap di daerah pedesaan, di mana alam menenangkan jiwanya,” Hoffman melanjutkan.
Para pasien pribumi tinggal di pondok bambu yang mereka bangun sendiri atas pengawasan pengelola rumahsakit. Perawatan yang mereka terima juga alakadarnya. Mereka menjalani perawatan dengan banyak kegiatan di RSJ yang terintegrasi dengan perkebunan. Mereka terus dibuat sibuk beraktivitas sehingga hanya menyisakan sedikit waktu dan tenaga untuk mengamuk.
Baca juga: Kesadaran akan kesehatan jiwa tumbuh seiring berdirinya institusi kesehatan mental
“Kehidupan sehari-hari di dalam suaka mencerminkan realitas kehidupan sosial di luar: pasien laki-laki sibuk membuat dan memperbaiki perabotan, berkebun, dan berurusan dengan ternak, sementara pasien perempuan membuat, memperbaiki, dan mencuci pakaian, juga bekerja di dapur,” tulis Pols.
Bahkan ketika para pasien pribumi miskin itu telah sembuh dan tak punya tempat untuk hidup, mereka tetap bisa bekerja di perkebunan rumahsakit. Kerja-kerja dari mereka jelas menguntungkan pihak RSJ sehingga mereka tak benar-benar menerima perawatan secara gratis. Bila mereka tidak melakukan kerja-kerja fisik di RSJ, mereka akan dicap malas karena seolah trah-nya pribumi adalah bekerja fisik.
Baca juga: Mengapa penderita gangguan jiwa dipasung?
Sementara, pasien Eropa juga diberi tugas namun ringan dan ketika mereka tidak melakukan pekerjaan itu, mereka dianggap menjaga kehormatan sebagai ras unggul yang tak pantas melakukan kerja fisik. Mereka hidup di RSJ dengan sangat dilayani. Selain ditempatkan di paviliun privat dan mahal, pasien Eropa dapat pulih dari afeksi mental yang kurang serius sekalipun. Mereka juga dimanjakan dengan fasilitas mewah untuk ukuran RSJ, seperti bisa mandi kapan pun mereka mau, perawatan di tempat tidur, dan waktu luang untuk berjalan-jalan di saat pasien pribumi miskin harus bekerja sampai kelelahan.
Pemisahan ini, tulis Nathan Porath dalam “The Naturalization of Psychiatry In Indonesia and Its Interaction with Indigenous Therapeutics”, menjadi satu bukti adanya perbedaan rasial dalam memperlakukan pasien RSJ.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar