Kala Belanda Bangun Rumahsakit Jiwa
RSJ mulanya dibangun untuk layanan kesehatan mental orang Eropa. Demi citra, bumiputera diperbolehkan jadi pasien kemudian.
KETIKA FH Bauer dan WM Smit, dua orang dokter di Hindia Belanda, ditugasi meneliti kondisi kesehatan jiwa di negara jajahan, bukan hanya keduanya yang mendapatkan hal baru. Seluruh jajaran pemerintahan Hindia Belanda jadi tahu kondisi kesehatan jiwa di Jawa lewat hasil penelitian Bauer-Smit yang dirilis pada 1868. Penelitian itu menemukan ada sekira 550 orang dengan gangguan kesehatan jiwa. Kondisi mayoritas mereka begitu memprihatinkan. Ada yang dipasung, ditelantarkan, ada pula yang dirawat di rumahsakit militer yang tidak dikhususkan untuk perawatan jiwa.
Oleh pemerintah, hasil penelitian Bauer-Smit dijadikan dasar pembentukan layanan kesehatan mental di Hindia Belanda. Pada 1881, pemerintah membuka Rumahsakit Jiwa (RSJ) pertama di Bogor dengan nama Hetkrankzinnigengestich Buitenzorg (kini Rumah Sakit dr. H Marzoeki Mahdi). RSJ kedua menyusul dibuka di Lawang, Malang pada 1902 (kini RSJ Dr.Radjiman Wediodiningrat), diikuti pembukaan Krankzinningengesticht Kramat (RSJ Prof. Dr. Soerojo) di Magelang pada 1912, dan di Sabang pada 1922 (kini RS TNI Angkatan Laut).
RSJ-RSJ tersebut awalnya hanya untuk keluarga Eropa yang kerabatnya terkena gangguan jiwa. Sejak 1830-an, pemerintah mulai berpikir untuk membangun fasilitas laiknya negeri sendiri lantaran pandangan bahwa negeri jajahan sebagai wilayah yang diperintah, bukan semata kongsi dagang yang hanya memiliki infrastuktur perdagangan seperti pelabuhan dan kantor perdagangan. Perawatan kesehatan mental yang dibangun, dibuat semirip mungkin dengan perawatan kesehatan mental di Eropa.
“Belanda ingin menunjukkan diri sebagai bangsa yang beradab. Belanda juga mulanya hanya memikirkan kebutuhan mereka sendiri,” kata Sebastiaan Broere, yang meneliti tentang RSJ Magelang, sambil terkekeh kepada Historia.
Namun, anggapan penyakit jiwa merupakan aib amat mengganggu pemerintah. “Memiliki orang Eropa yang kena gangguan jiwa bisa menurunkan citra Belanda. Akhirnya, pribumi juga bisa menjadi pasien,” sambungnya. Beberapa tahun kemudian, orang pribumi diperbolehkan menjadi pasien di RSJ. “Jadi, (pemerintah, red.) ingin menunjukkan yang bisa terkena gangguan jiwa bukan cuma orang Belanda.”
Semangat itu membuat segregasi tetap hadir dalam layanan tersebut. Kondisi bangsal untuk pasien bumiputra jauh lebih buruk dari bangsal untuk pasien Eropa.
Broere menjelaskan lebih lanjut, ketika gelombang kedatangan orang Eropa ke Hinida Belanda makin massif pada paruh akhir abad ke-19, isu kesehatan mental dan keamanan menjadi perhatian khusus pemerintah. Hai itu disebabkan oleh ketakutan para pendatang –yang semakin beragam dengan beragam tujuan pula; banyak yang datang untuk membuka usaha– sewaktu-waktu dibunuh oleh penderita gangguan jiwa yang terlantar, orang yang terserang amok, atau buruh yang mengamuk lantaran dipaksa melulu bekerja.
Untuk mempertahankan kedamaian dan ketertiban (rust en orde), pemerintah memperbaiki sistem kepolisian. Eksesnya, penjara jadi makin penuh. Beberapa di antara penghuni penjara adalah penderita gangguan jiwa. Mereka dikurung setelah sebelumnya ditangkap karena mengacau. Baru ketika sipir menyadari ada yang ganjil, mereka dirawat di RSJ secara cuma-cuma.
“Di Hindia Belanda, seperti di negeri jajahan lain, pintu masuk utama ke RSJ untuk rakyat pribumi memang melalui pengadilan dan penjara. Mereka tidak cukup menderita penyakit mental tapi juga perlu mengganggu tatanan sosial untuk bisa dirawat di RSJ,” tulis Hans Pols dalam artikel “The Psychiatrist as Administrator: The Career of W. F. Theunissen in the Dutch East Indies.”
Pemerintah menjadikan biaya dari pasien Eropa, priyayi, atau Tionghoa kaya untuk mensubsidi seluruh operasional RSJ, termasuk membiayai para penderita gangguan jiwa yang ditangkap polisi. Semua pasien ditempatkan pada rumah sakit yang sama meski bangsal untuk pasien yang dirawat seacara gratis hanya terbuat dari bambu, bukan batu bata.
Dari empat RSJ yang ada di Hindia Belanda, bisa ditampung 9000 pasien. Dibandingkan dengan negara jajahan lain, perawatan kesehatan mental di Hindia Belanda terhitung bagus. Indochina, misalnya, hanya memiliki satu RSJ berkapasitas 600 pasien, sementara Filipina juga hanya satu RSJ dengan 1.700 tempat tidur. Bahkan meski sempat terserang krisis, Hindia Belanda masih menjadi pemimpin dalam penelitian medis. Perawatan kesehatan mental sudah jauh lebih maju dibanding negara jajahan lain.
“Ada persaingan internasional antara negara-negara kolonial untuk menjadi penjajah paling beradab. Semacam imperialisme yang layak. Dengan memberikan pelayanan kesehatan yang baik, misalnya. Itu membuktikan kalau Belanda penjajah yang baik, lebih mending dari Prancis di Indochina, misalnya. Tapi tetap saja, namanya juga penjajah,” kata Broere menutup pembicaraan.
Baca juga:
Bermula dari Institusi sampai Tumbuhnya Kesadaran Sehat Jiwa
Tambahkan komentar
Belum ada komentar