Dokter Djawa Tapi Bukan Jawa
Siswa Sekolah Dokter Djawa merupakan orang-orang terpilih. Di antara mereka ada kakek Pahlawan Nasional asal Minahasa Dr. Arnold Mononutu.
LEBIH seabad sejak berada di Nusantara tak membuat orang-orang Belanda membuka pikiran untuk mendidik penduduk setempat menjadi tenaga kesehatan. Urusan kesehatan mereka percayakan pada dokter-dokter kulit putih dan rumahsakit-rumahsakit pemerintah ataupun swasta yang didirikan orang kulit putih.
Namun seiring perjalanan waktu, di mana penduduk –termasuk orang kulit putih– kian bertambah dan kebutuhan akan layanan kesehatan meningkat, muncul pemikiran-pemikiran untuk mulai mendidik penduduk guna dijadikan pembantu tenaga kesehatan. Terutama setelah adanya Politik Etis.
Salah satunya datang dari seorang dokter Belanda bernama dr W. Bosch. Dia lalu menyurati pemerintah kolonial pada 9-11 Oktober 1847. Dia meminta pemerintah agar mendidik pemuda Jawa yang bisa baca tulis huruf Jawa dan Melayu untuk dijadikan tenaga kesehatan untuk rakyat. Usahanya tak bertepuk sebelah tangan.
“Sekolah dokter pertama di Hindia Belanda adalah Sekolah Dokter Djawa, yang didirikan pada tahun 1851,” catat Hans Pool dalam Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2019:63).
Sekolah berasrama untuk calon tenaga kesehatan yang disebut Sekolah Dokter Djawa itu didirikan pada Januari 1951 berdasar Keputusan Pemerintah Nomor 22 tanggal 2 Januari 1849. Sekolahnya terletak di Kwitang, tidak jauh dari rumahsakit militer yang sekarang menjadi RSPAD Gatot Subroto.
Masa pendidikan di Sekolah Dokter Djawa awalnya hanya dua tahun. Mereka yang diterima menjadi siswa, tulis A. de Waart dalam “Tujuh Puluh Lima Tahun Pendidikan Kedokteran di Waltevreden” yang termaktub di buku Perkembangan Pendidikam Kedokteran di Waltevreden, mulanya pemuda berumur paling tidak 16 tahun. Mereka akan diajari ilmu ukur, ilmu alam, ilmu bumi, ilmu tanaman, ilmu hewan, ilmu kebidanan, ilmu bedah, ilmu sambung tulang, anatomi, fisiologi, patologi dan, ilmu-ilmu kedokteran lain.
Beberapa tahun setelah Sekolah Dokter Djawa berdiri, beberapa siswa dari luar Jawa pun diperbolehkan belajar di sana. Dari 1857 hingga 1859, Sekolah Dokter Djawa kedatangan siswa dari Sulawesi Utara, Bengkulu, dan Sumatra Barat. Nama mereka diberitakan koran Java Bode edisi 17 Desember 1859 dan Bataviaasche Handelsblad edisi 17 Desember 1859, yakni: Seman dari Bengkulu, Sinapang galar Dja Bodie dari Sumatra Barat, dan Petrus Rangkat dari Manado. Mereka menjalani ujian Dokter Djawa pada 1 Desember 1859.
Di Sekolah Dokter Djawa, mereka berkawan dengan siswa-siswa asal Jawa, antara lain Radhen Poera Koesoema dan Radhen Soerta di Nala dari Cianjur, serta Djoijo Mintardjo dari Surakarta. Tidak ada kejelasan apa yang mereka kerjakan setelah ujian itu.
Sebelum Petrus Rangkat, di Sekolah Dokter Djawa sudah ada siswa dari Manado lain yang menjadi siswa di sana. Mereka adalah Mononutu dan Rotinsulu.
“Mononutu kelahiran Maumbi tahun 1835 yang pada tahun 1856 dikirim oleh tentara Belanda KNIL untuk belajar sekolah dokter di Batavia (Jakarta) dan tamat pada tahun 1872 bersama–sama dengan dokter Rotinsulu kelahiran Kolongan, Tonsea, 1836,” catat Jessy Wenas dalam Sejarah dan kebudayaan Minahasa.
Setelah mereka berdua, beberapa orang Minahasa lain mengikuti jejaknya dengan bersekolah di Kwitang untuk menjadi dokter. Antara lain Israel Iroot, Jan Emor, Jan Frederik Rompies, Roland Tumbelaka, dan Jan Kawilarang.
Seiring perjalanan waktu, Sekolah Dokter Jawa terus mengalami perubahan baik nama, sistem maupun kurikulumnya. Menjelang abad ke-20, sekolah itu berganti nama menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Orang-orang dari luar pulau Jawa yang belajar menjadi dokter pun bertambah banyak.
Jauh setelah Mononutu dan Rotinsulu bersekolah di Kwitang, cucu Mononutu yang bernama Arnold Mononutu juga mengikuti jejaknya bersekolah di sana. Sang cucu, dr. Arnold Mononutu yang juga beken disapa Om No, bahkan kemudian memainkan peran penting dalam perpolitikan nasional hingga menjadi Pahlawan Nasional Arnold Mononutu.
“Kakek Om No adalah seorang lulusan Sekolah Dokter Jawa pertama dari Minahasa,” catat Ruben Nalenan dalam Arnold Mononutu, Potret Seorang Patriot.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar