Cara Dokter di Masa Lalu Mengetahui Penyakit Pasien
Uroskopi atau pemeriksaan urin banyak dilakukan oleh dokter di abad pertengahan untuk mendiagnosis penyakit yang diderita pasien. Kendati meraih popularitas, uroskopi berpeluang menghasilkan diagnosis yang tidak akurat.
DOKTER memiliki sejumlah cara untuk membuat diagnosis penyakit yang diderita pasien, mulai dari mencatat berbagai gejala atau keluhan dalam kurun waktu tertentu, melacak riwayat medis keluarga, hingga membawa obat-obatan yang telah dikonsumsi. Di masa lalu, uroskopi atau pemeriksaan urin secara visual dianggap sebagai cara utama untuk mendiagnosis penyakit pasien.
Menurut Morgan Godvin dalam “Early Doctors Diagnosed Disease by Looking at Urine”, termuat di JSTOR Daily, 24 Maret 2023, uroskopi, di sekolah-sekolah kedokteran awal, merupakan alat diagnostik yang digunakan bersamaan dengan pemeriksaan menyeluruh dan wawacara dengan pasien. Uroskopi pertama kali dicatat pada milenium keempat sebelum masehi dan menjadi praktik umum pada abad kelima dan keempat sebelum masehi, yang diakui kegunaannya sebagai salah satu komponen dalam khazanah diagnostik dokter.
“Pada abad ke-13, praktik ini telah dijiwai dengan persepsi gengsi dan kesempurnaan. Hampir tidak ada ‘sumber kemuliaan yang lebih besar’ bagi seorang dokter abad pertengahan selain mempelajari urin, tulis Andreas Leenius, yang juga seorang dokter abad pertengahan. Tidak hanya diagnosis yang tepat dapat dibuat, tetapi jalur patofisiologis di balik penyakit bahkan dapat dijelaskan secara menyeluruh, hanya dengan melihat air seni,” jelas Godvin.
Baca juga:
Yang Pertama dari Kedokteran Indonesia
Bagan bergambar dari risalah medis menawarkan tips praktis untuk menafsirkan warna, konsistensi, dan endapan urin. Uroskopi menjadi sangat populer kemungkinan besar karena kesederhanan dan kemudahannya; tidak perlu memeriksa pasien secara langsung, jika mereka terbaring di tempat tidur atau dalam perjalanan. Tak butuh waktu lama untuk membuat rakyat menjunjung tinggi uroskopi, meski beberapa dokter masih meragukan keakuratan hasil diagnosisnya.
Sentimen terhadap uroskopi juga muncul karena diasosiasikan dengan ilmu nujum atau perdukunan daripada pengobatan ilmiah. Sebab, seiring dengan popularitas uroskopi, banyak orang –yang sesungguhnya tak memiliki lisensi praktik dokter– muncul dengan embel-embel memiliki kemampuan membuat diagnosis yang tepat serta rekomendasi di tempat (dengan biaya tertentu) hanya berdasarkan pengamatan terhadap air seni.
Terlepas dari hal ini, Michael Stolberg menulis dalam “The Decline of Uroscopy in Early Modern Learned Medicine (1500-1650)”, termuat di Early Science and Medicine, Vol. 12, No. 3 (2007), peran penting uroskopi dalam dunia kedokteran abad pertengahan tak hanya untuk tujuan prognostik (prediksi atau perkiraan perkembangan penyakit atau kondisi medis, termasuk evaluasi pemulihan, riwayat timbulnya penyakit, hingga efek jangka panjangnya, red.), tetapi juga dan terutama untuk nilai diagnostiknya.
“Penghargaan yang tinggi terhadap uroskopi sesungguhnya tidak mengherankan. Sebab, pada saat sebagian besar penyakit dijelaskan melalui gagasan tentang ketidakseimbangan atau kerusakan hormon, pemeriksaan urin, sebagai cerminan langsung dari keadaan hormon di dalam tubuh, tampaknya menjadi saran diagnosis yang istimewa. Pemeriksaan ini memungkinkan dokter untuk mengungkap rahasia dari proses penyakit yang tersembunyi di dalam tubuh. Penyakit tertentu atau perubahan patologis dapat diidentifikasi, yang pada gilirannya memberikan dasar yang sangat berharga untuk perawatan kausal yang tidak hanya melawan gejala, tetapi juga menjanjikan untuk menangani penyakit hingga ke akarnya,” tulis Stolberg.
Baca juga:
Pada akhir abad pertengahan, uroskopi telah menjadi metode diagnostik paling penting. Walaupun meraba denyut nadi menjadi alternatif utama untuk memeriksa kondisi pasien, tetapi praktik ini masih jauh lebih terbatas. Bagi mereka yang mengetahui cara memeriksa urin dengan benar, air seni memberikan informasi tak tertandingi. Ahli uroskopi yang terampil dapat menentukan substansi urin –apakah kental, encer, atau di antaranya dan apakah air seni tersebut jernih atau keruh. Bahkan, ahli uroskopi dapat membedakan hingga puluhan lebih warna yang berbeda dan mengetahui perubahan apa yang terjadi di dalam tubuh yang ditandainya. Ahli uroskopi juga dapat mengidentifikasi dan menentukan arti dari semua jenis kandungan yang terlihat mengapung di atas cairan, tersuspensi di dalamnya, atau terkumpul di dasar gelas sebagai endapan.
Uroskopi tidak hanya menyediakan alat diagnostik dan prognostik yang sangat berguna bagi para dokter. Praktik ini juga menawarkan cara yang sangat baik untuk menunjukkan dan menggarisbawahi keterampilan serta status profesional mereka. Teknik yang sangat canggih dan mutakhir, yang kerap ditekankan oleh para dokter, membutuhkan studi ekstensif tentang risalah yang relevan, yang sebagian besar ditulis dalam bahasa Latin dan tidak dapat diakses oleh tabib atau pasien biasa. Untuk sampai pada diagnosis yang tepat, ahli uroskopi juga membutuhkan pemahaman tentang filosofi alam dan fisiologi, tentang cara kerja tubuh yang kompleks.
“Dengan demikian, uroskopi dapat ditampilkan secara mengesankan di hadapan orang lain. Ketika dokter dengan hati-hati memegang gelas urin menghadap cahaya, mengamati isinya dari berbagai sisi selama beberapa menit, mengguncangnya sedikit dan merenungkan apa yang telah dilihatnya, pertunjukkan tersebut membawa pesan yang jelas kepada para penonton: dokter yang terampil mendapatkan banyak informasi di mana orang lain hanya melihat cairan berwarna kuning,” tulis Stolberg.
Kendati populer di abad pertengahan, uroskopi tak lagi dianggap sebagai cara utama pada periode modern awal. Institusi dan praktik medis pada abad ke-16 dan 17 menggunakan uroskopi sebagai salah satu cara diagnostik. Ada dua perkembangan besar yang menyebabkan jatuhnya popularitas uroskopi. Pertama, para dokter terpelajar prihatin dengan ketidakkonsistenan teoritis dan kesulitan atau bahkan ketidakmungkinan mendapatkan diagnosis yang cukup aman hanya dari urin. Kedua, uroskopi semakin dianggap sebagai ancaman daripada mempromosikan otoritas dokter terpelajar.
Baca juga:
Kiprah Dokter di Dunia Pergerakan
Para dokter terpelajar modern awal kerap menekankan tantangan praktis dari uroskopi dan bahaya kesalahan diagnosis, terutama ketika dokter hanya mengandalkan pengamatan terhadap urin. Banyaknya informasi yang diperoleh dari urin membuat interpretasi yang benar menjadi sulit. Substansi, warna, dan kandungan air seni dapat memiliki banyak tampilan. Mereka berubah tidak hanya karena penyakit tetapi juga dipengaruhi oleh hal-hal lain, terutama makanan dan minuman, serta usia, jenis kelamin, musim, dan iklim. Tanpa informasi lebih lanjut, dokter dapat dengan mudah mengambil kesimpulan yang salah.
“Setiap keraguan atas nama dokter ditangkap oleh mereka yang mengaku ahli dalam melakukan pengamatan terhadap urin (lisensi medis masih beberapa abad lagi). Para cenayang dan pengamat tidak memiliki keraguan untuk menatap cairan kuning, menggerakan tangan dengan liar, dan membuat diagnosis yang tepat serta rekomendasi pengobatan di tempat. Kepastian performatif semacam ini meyakinkan orang-orang pada saat pengetahuan tentang anatomi yang benar masih sangat terbatas. Akhirnya, para dokter berada dalam posisi terjepit: menyetujui tuntutan untuk mendiagnosis berdasarkan uroskopi saja, dan berisiko salah, atau kehilangan pasien karena penipu yang akan melakukan apa yang tidak ingin mereka lakukan sendiri,” jelas Godvin.
“Ada hasil yang lebih buruk lagi, yang sangat ditakuti pada saat itu, para dokter harus mengingat bahwa orang mungkin ingin menguji kemampuan mereka, atau lebih buruk lagi, membodohi mereka dengan [mengganti] anggur, whey, atau air seni hewan (sebagai pengganti urin). Dengan reputasi yang sangat penting, hal ini adalah sebuah mimpi buruk bagi para dokter yang terpelajar,” tambahnya.
Pada akhirnya, ketika uroskopi menjadi tren, hal ini menyebabkan skandal kecil di kalangan profesi medis awal. Setelah berabad-abad melakukan praktik uroskopi yang tampaknya berhasil, orang-orang beranggapan bahwa uroskopi merupakan cara terbaik untuk mendapatkan diagnosis yang dapat diandalkan. Bagi para dokter, daya tarik uroskopi yang sangat tinggi membuka, pada pandangan pertama, kemungkinan-kemungkinan yang unik. Dalam waktu singkat, mereka dapat memeroleh reputasi yang baik atas kemampuan uroskopi mereka, dan segera pasien akan berbondong-bondong mendatangi mereka. Hal ini kemudian mendorong munculnya pandangan yang menganggap bahwa uroskopi menjadi ujian penting bagi kompetensi dan keahlian seorang dokter. Jika orang ingin tahu apakah mereka dapat mempercayai dokter baru atau dokter yang tidak mereka kenal, mereka akan mengirim urin dan meminta pendapatnya.
Baca juga:
Dokter Indonesia Pertama Ahli Radiologi
Masalahnya, dari sudut pandang dokter, uroskopi sangat sulit sehingga dokter bisa saja mengambil kesimpulan yang salah. Terlebih lagi, sejumlah dokter di masa lalu melaporkan bahwa orang-orang dapat dengan mudah percaya kepada “ahli uroskopi” yang dapat membuat diagnosis dan prognosis yang benar tanpa informasi tambahan.
“Orang-orang yakin, bahwa ‘dokter harus, dapat, dan harus melihat dan mendapatkan segala sesuatu yang salah pada pasien dengan melihat air seninya, seolah-olah seluruh seni kedokteran tersembunyi dalam memeriksa air kemih dan tidak ada lagi yang diperlukan’. Berdasarkan kepercayaan ini, para dokter mengeluh, mereka yang membawa urin ke rumah dokter seringkali dengan keras kepala menolak untuk mengungkapkan informasi tambahan apa pun tentang pasien dan keluhannya. Kepercayaan yang tampaknya sangat meluas inilah yang membuat para dokter bersikeras dengan tegas tentang bahaya mendiagnosis hanya dari air seni,” tulis Stolberg.
Para urosceptic, mereka yang skeptis terhadap uroskopi, melaporkan kisah-kisah dokter yang menjadi bahan tertawaan setelah mereka ditipu untuk mendiagnosis penyakit dari anggur Malvasia dan kemudian menyaksikan dengan mulut ternganga ketika pasien atau pembawa urin tersebut meminum air seni yang dicurigai itu dengan sangat senang. Peristiwa-peristiwa semacam itu membuat para dokter berisiko membodohi diri mereka sendiri, dan para skeptis memperingatkan, jika mereka terlalu mengandalkan uroskopi, nama dan reputasi mereka dapat mengalami kerusakan yang besar dan abadi. Oleh karena itu, mereka tidak boleh bergantung pada uroskopi saja.
Sementara itu, sebagai upaya untuk tidak terjebak dalam permainan orang-orang yang hendak menghancurkan reputasi mereka, para dokter melakukan berbagai upaya. Salah satunya dengan mencelupkan jari ke dalam cairan secara diam-diam dan berpura-pura membuang ingus, di mana melalui aksi ini dokter dapat memastikan bahwa cairan tersebut lolos (atau mungkin saja gagal) dalam uji hirupan. Cara lain yang gagal pada zaman itu adalah dengan menatap tajam kurir yang mengantarkan urin, mencoba untuk mendapatkan rona merah atau gelagat aneh yang menunjukkan bahwa mereka terlibat dalam penipuan.
Baca juga:
Awal Mula Dokter Hewan di Indonesia
Di samping kemampuan diagnostik yang diragukan, penghinaanlah yang membuat para dokter menentang tuntutan pasien untuk melakukan pengamatan terhadap urin. Mereka yang terus terlibat dalam praktik ini dianggap melukai profesi karena mereka “membantu mengabadikan kepercayaan yang mengikat kuat pada kemungkinan diagnostik yang luar biasa dari uroskopi”. Untuk menghilangkan anggapan orang bahwa diagnosis hanya berdasarkan air seni adalah mungkin, para dokter dipaksa untuk bersatu dan kampanye formal melawan uroskopi pun dimulai.
“Para penipu yang terus melakukan uroskopi dengan sembarangan diejek sebagai ‘penjual air seni yang menipu’, dan para dokter yang bertahan untuk terus melakukan praktik ini dianggap telah ‘melacurkan’ diri mereka sendiri,” tulis Godvin.
Dengan demikian, dalam kurun waktu sekitar seratus tahun, uroskopi kehilangan banyak dukungan. Para dokter terpelajar tidak lagi menganggap uroskopi sebagai bidang yang menjanjikan baik di komunitas medis maupun atau di antara pasien.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar