4 Sehat 5 Sempurna*
Sehat tak hanya ditentukan oleh makanan dan tambahan susu, tapi juga perilaku.
DARI ingatannya akan sekumpulan bocah Belanda yang sedang main dekat Noordhollandsch ditambah pengetahuan yang didapatnya dari diskusi dengan beberapa dokter yang pernah bertugas di Hindia Belanda plus buku-buku dan terbitan yang mereka berikan, Poorwo Soedarmo jatuh hati pada masalah gizi. Dokter lulusan STOVIA tahun 1927 yang bekerja di kapal Belanda SS Polydrus itu kemudian bertekad mengambil pendidikan lanjutan tentang gizi begitu pulang ke Indonesia. Poorwo akhirnya menempuh pendidikan gizi di Institute of Nutrition di Manila, Filipina dan lulus tahun 1950.
Upaya menyosialisasikan pentingnya gizi bagi masyarakat lalu menjadi rutinitas Poorwo sepulangnya ke tanah air. Bagi “Bapak Gizi Indonesia” itu, gizi merupakan indikator penting kualitas sebuah bangsa.
Pentingnya Gizi
Di awal kemerdekaan, kondisi gizi di Indonesia termasuk yang terburuk di dunia. Tingkat kematian ibu dan bayi, misalnya, sangat tinggi akibat kekurangan gizi. Tak heran jika satu dari sebelas program Kementerian Kesehatan pada 1950-an adalah perbaikan gizi. Program ini dijalankan Lembaga Makanan Rakyat (LMR), yang dibentuk tahun 1952 dan diketuai Poorwo Soedarmo.
“Program petama yang dilakukan adalah pelatihan dan pendidikan mengenai gizi, pada saat yang sama melakukan survei dan penelitian mengenai gizi,” tulis Soekirman dalam “Priorities in Dealing with Nutrition Problems in Indonesia”, yang diterbitkan Cornell University pada 1974.
Poorwo menyadari upaya itu tidaklah mudah. Pengetahuan sebagian masyarakat mengenai gizi masih nol sementara tak ada tenaga terlatih untuk melakukan penyuluhan. Maka, sekira tahun 1951, mulailah dia melakukan kursus tiga mingguan untuk melatih petugas gizi. Selain itu, Poorwo mendirikan sejumlah sekolah untuk mencetak ahli-ahli gizi.
Untuk memudahkan penyampaian pesan kepada masyarakat, pada 1952 Poorwo membuat slogan “4 Sehat 5 Sempurna”, yang diadopsi dari slogan Amerika Serikat selama Perang Dunia II: “eat the basic seven every day.” Slogan 4 Sehat 5 Sempurna adalah pesan untuk menu makanan rakyat, terdiri atas empat makanan pokok seperti nasi, daging (protein), sayuran, dan buah serta susu sebagai penyempurna. Poorwo juga membuat slogan “Murah Tetapi Baik” untuk menekankan bahwa daging, yang harganya kadang tak terjangkau, bisa digantikan dengan tempe, oncom, dan teri yang juga kaya protein.
Kampanye 4 Sehat 5 Sempurna pun dijalankan LMR, dengan membagi-bagikan dan menempelkan poster-poster untuk menyampaikan pesan. Kampanye juga dilakukan melalui majalah dan suratkabar serta radio dan film.
Namun, upaya ini berbenturan dengan banyak masalah di lapangan. Pilihan masyarakat terhadap ragam makanan terbatas karena mereka masih bergantung pada beras, tak tahu mengenai makanan seimbang, dan lemahnya daya beli. Faktor budaya juga berperan.
“Penduduk di beberapa daerah masih menganggap sayuran adalah makanan orang melarat. Maka ketika mereka menjadi mampu, mereka tak makan sayuran lagi. akibatnya menjadi mampu adalah jatuh sakit,” ujar Gunung Iskandar, wakil ketua Panitia Negara Perbaikan Makanan, dikutip Star Weekly 23 Agustus 1953.
Menurut antropolog Maurice Freedman dalam laporannya ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1955, “A Report on Some Aspects of Food, Health, and Society in Indonesia”, 4 Sehat 5 Sempurna tak sampai sasaran, sebab masih banyak penduduk Indonesia buta huruf. LMR juga dinilainya gagal melatih ahli makanan untuk memahami faktor sosio-ekonomi dan budaya yang mempengaruhi preferensi makanan.
“Peragaan gizi tidak melibatkan partisipasi publik dan disampaikan dalam bentuk kuliah didaktik. Untuk alasan ini, mereka gagal mendorong perubahan perilaku penduduk dan adopsi makanan seimbang,” tulis Freedman, dikutip Vivek Neelakantan dalam “Health and Medicine in Soekarno Era Indonesia: Social Medicine, Public Health and Medical Education, 1949 to 1967”, disertasi untuk meraih gelar PhD di Universitas Sydney.
Kekurangan Pangan
Sejalan dengan program peningkatan gizi, pemerintah berupaya mengatasi persoalan produksi dan distribusi bahan makanan. Dalam pidato peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor pada 27 April 1952, Presiden Sukarno menyebut persediaan makanan rakyat sebagai soal hidup atau mati. “Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak ‘aanpakken’ soal makanan rakyat ini secara besar-besaran secara radikal dan revolusional, kita akan mengalami malapetaka,” ujar Sukarno.
Sejak awal kemerdekaan, pemerintah meluncurkan berbagai program untuk menggenjot produksi dan distribusi bahan makanan, termasuk meningkatkan komposisi makanan masyarakat, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, namun tak menuai hasil. Ketergantungan pada beras masih tinggi, sedangkan produksi padi tak cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri, yang jumlah penduduknya terus meningkat. Akibatnya, Indonesia terus mengimpor beras. Bahkan pada 1964, Indonesia mengalami kekurangan beras yang akut.
“Selama akhir 1950-an dan awal 1960-an, akibat inflasi yang tinggi, Indonesia kian beralih ke singkong yang relatif miskin protein, sebagai alternatif makanan yang lebih murah ketimbang beras dan daging,” tulis B Napitupulu dan Sunardjo dalam “Perkembangan Persediaan Bahan Makanan di Indonesia dalam Djangka Waktu 1951-1959”, dimuat Medan Ilmu Pengetahuan 3 No 1, tahun 1962.
Pada Juli 1964, Menteri Kesehatan Satrio melancarkan program Revolusi Makanan Rakyat untuk menjamin ketersediaan pangan dengan mekanisme produksi dan distribusi yang merata. Untuk itu, digelarlah Operasi Pemberantasan Buta Gizi di tingkat provinsi dan kabupaten dengan dasar 4 Sehat 5 Sempurna. Program ini bertujuan mempromosikan produksi dan konsumsi jagung sebagai pengganti beras. Kementerian Kesehatan memberikan otonomi penuh kepada pemerintah daerah untuk menentukan bagaimana slogan 4 Sehat 5 Sempurna dijalankan karena makanan pokok di Indonesia sangat beragam.
“Operasi ini dilakukan untuk menggugah kesadaran gizi di kalangan anak sekolah, ibu hamil, dan ibu menyusui, serta memperkenalkan perubahan pola makan,” tulis Vivek Neelakantan. “Namun, karena Revolusi Makanan dilaksanakan selama konfrontasi dengan Malaysia, itu hanya berhasil sebagian.”
Selain Konfrontasi, kondisi ekonomi Indonesia tengah terpuruk. Jumlah penduduk terus meningkat yang tak bisa diimbangi produksi pangan. Praktis, segala upaya LMR dengan kampanye 4 Sehat 5 Sempurna bisa dibilang gagal.
Namun, pemerintahan Soeharto, pengganti Sukarno, tetap meneruskan kampanye 4 Sehat 5 Sempurna. Di awal Orde Baru, pemerintah menjalankan Applied Nutrition Program yang didanai organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (UNICEF) –kemudian dikenal sebagai program nasional Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Kegiatannya meliputi penyuluhan gizi, pelayanan gizi di Posyandu, hingga peningkatan keragaman bahan pangan dengan mendorong pemanfaatan lahan pekarangan (karang kitri).
“Applied Nutrition Program adalah satu-satunya program pemerintah dengan kegiatan penyuluhan gizi yang lebih terencana,” tulis Soekirman.
Pada 1974, melalui Instruksi Presiden No 14/1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat, pemerintah menelurkan kebijakan diversifikasi pangan. Sebagai tindak lanjut, pemerintah membentuk Komisi Teknik Gizi. Untuk daerah, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan surat edaran untuk membentuk Badan Perbaikan Gizi Daerah (GPGD) di tiap provinsi.
Kurangnya koordinasi membuat program nasional ini kurang berjalan efektif. Maka, sejak 1977, dengan dukungan Bank Dunia, UPGK mulai dijalankan secara multidepartemen. Hasilnya menunjukkan tanda-tanda perbaikan.
Slogan Usang
Sebagai wakil ketua Bappenas bidang Sosial-Budaya, Soekirman mewakili Indonesia dalam Konferensi Pangan Sedunia yang dihelat Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) di Roma, Italia, pada 1992.
“Dalam konferensi itu, masalah gizi menjadi perbincangan hangat,” ujar Soekirman (78 tahun) kala ditemui di kediamannya, Kompleks Bappenas, Jakarta Selatan. Menariknya, “banyak negara tidak lagi menghadapi masalah anak kurus dan kekurangan gizi tapi justru kegemukan atau obesitas.”
Konferensi itu sendiri menetapkan agar semua negara berkembang, yang semula menggunakan pedoman sejenis “Basic Four” untuk memperbaikinya menjadi “Nutrition Guide for Balance Diet” yang kemudian diterjemahkan menjadi Pedoman Gizi Seimbang (PGS).
Sepulang dari Roma, Soekirman mulai memikirkan penyempurnaan 4 Sehat 5 Sempurna yang diciptakan gurunya, Poorwo Soedarmo. Namun pemikiran tersebut masih dia simpan. Sebab, saat itu Bappenas tengah meluncurkan program Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS), yang akhirnya menemui kendala di lapangan: korupsi. Soekirman yang teringat rencananya soal perbaikan gizi seperti yang dihasilkan pada Konferensi Gizi Internasional tahun 1992, pun menebar ide ke rekan-rekan sejawat maupun melalui tulisan dan seminar-seminar.
“Slogan 4 Sehat 5 Sempuran itu sudah usang. Tidak ada ceritanya ada makanan yang utama. Semua itu harus dipadukan dengan pola hidup sehat. Seperti susu, itu kan sudah sama dengan ikan, sebagai unsur protein,” ujar Soekirman. “Pertentangannya keras saat itu.”
4 Sehat 5 Sempurna, dalam kajian Soekirman, adalah upaya Poorwo Soedarmo menyederhanakan pemikiran tentang pemahaman gizi. Padahal, dalam gizi seimbang, ada empat pilar penting: makanan harus beraneka ragam dan memenuhi kebutuhan, menjaga kebersihan, lalu aktif bergerak dan olahraga, serta memantau berat badan ideal.
Usaha kerasnya berbuah hasil. PGS menjadi bagian dari program perbaikan gizi pemerintah. Seperti halnya 4 Sehat 5 Sempurna, PGS dikampanyekan melalui penyuluhan dan penyebaran poster-poster. “Di Indonesia, gizi seimbang diwujudkan dalam bentuk tumpeng, yang menyerupai piramida. Ini mencoba menyerap aspek budaya setempat,” ujar Soekirman.
Kendati Poorwo Soedarmo sudah meninggal dunia pada 13 Maret 2003, kreativitasnya masih tertanam di benak masyarakat. Setelah hampir bertahan setengah abad, slogan 4 Sehat 5 Sempurna diganti dengan Pedoman Gizi Seimbang tapi gaungnya masih terdengar.
___
* Tulisan ini merupakan versi ringkas dari tulisan "4 Sehat 5 Sempurna" yang dimuat di Majalah Historia No. 19 Th. II, 2014.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar