Kain Kulit Kayu
Kain kulit kayu dipakai masyarakat Nusantara sebelum mengenal tenun dan kain impor.
SEHELAI kulit kayu ivo terentang di atas balok kayu kanore. Farida, berusia 54 tahun, memukulkan ike di genggaman tangannya ke lembaran kulit kayu itu. Irama pukulannya statis, layaknya sedang menumbuk padi. Terhantam ike, kulit kayu menipis dan melebar.
"Ini baru tahap awal setelah pemotongan dan pengeratan kulit kayu dari tungkainya. Proses pemukulan dengan ike memakan waktu sehari," ujar Farida, seorang pengrajin kulit kayu asal Desa Pandere, Sulawesi Tengah, saat dijumpai di Museum Tekstil, Jakarta.
Masih ada sekira empat tahapan lagi untuk mengubah kulit kayu menjadi sebuah kain yang halus. Kulit kayu masih harus dicuci, direbus, dan dibungkus dengan daun –biasanya daun pisang– agar serat kulit menjadi halus. Usai dibungkus lalu disimpan di tempat lembab selama tiga hari, atau tiga minggu tergantung bahan kulit kayunya. Setelah itu, kulit kayu dipukul lagi dengan ike. "Ini tahapan untuk menyatukan lembaran kulit kayu supaya menjadi sebuah kain siap pakai," ujar Farida.
Proses pembuatan kain kulit kayu terbilang cukup sederhana. Di Sulawesi Tengah, ike menjadi benda paling vital dalam pembuatan kain kulit kayu. Ike adalah semacam alat pemukul kulit kayu. Ike terdiri dari dua macam, dibedakan berdasar fungsinya. Pemukul pertama disebut pola, sejenis palu yang terbuat dari pangkal batang enau. Ia digunakan untuk menumbuk kulit kayu pada tahap awal. Pemukul kedua disebut parondo, terbuat dari kayu awa atau lebanu yang keras dan tak mudah pecah. Fungsinya meratakan kain kulit kayu yang masih berlekuk hingga menjadi lebih halus.
Untuk kulit kayunya tersedia beberapa pilihan. "Di Sulawesi Tengah kami menggunakan kulit kayu ivo dan malo. Kalau ivo hasil kainnya, teksturnya, halus sedang malo kasar. Saya sendiri baru dua tahun ini membuat kain kulit kayu, belajar dari tetangga di desa," ujar Farida seraya tersenyum ramah.
Di Nusantara, jauh sebelum mengenal tenun, masyarakat membuat kain dari kulit kayu sebagai pelindung tubuh. Menurut Suwarti Kartiwa, penulis sejumlah buku tentang kain tradisional Indonesia, proses ini sudah berlangsung sejak masa prasejarah, seiring dengan ketrampilan nenek mengenal teknik membuat peralatan dari tanah liat (tembikar). Pembuatan kain kulit kayu tersebar di seluruh Nusantara: Nias, Jawa Tengah dan Bali, Halmahera-Maluku Utara, Papua, Kalimantan, dan Sulawesi. Sebagian besar menggunakan kulit kayu dari genus Broussonetia, Ficus, dan Artocarpus.
Khusus untuk Jawa dan Bali, kain kulit kayu tak digunakan sebagai pakaian. Di Jawa ia dijadikan bahan membuat wayang beber, di Bali lembaran kulit kayu dilukis dengan figur-figur dari beragam mitos, legenda, dan cerita wayang lalu digantung di tempat-tempat upacara dan ritual.
Di masa awal, kain kulit kayu digunakan dengan hanya melilitkannya ke tubuh. Atau, menyediakan lubang di bagian tengah untuk memasukkan kepala. Dalam katalog Tradisi Kain Kulit Kayu: Masa Lalu & Perspektif Modern, kurator pameran kain tradisional Indonesia, Judi Achjadi, menulis bahwa di Kalimantan dan beberapa daerah, proses tersebut kemudian berkembang. Kedua sisi kain kulit kayu mulai dijahit dan menjadikannya seperti jaket. Kain kulit kayu juga mulai diberi pewarna alami seperti arang, getah sukun, kunyit, dan sirih dengan cara dilukis atau dicap dengan sepotong bambu atau kayu ukir.
"Dulu, nenek moyang menggunakannya sebagai semacam kain penutup bagian bawah tubuh. Sekarang masih sering dipakai tapi biasanya hanya untuk kain penutup jenazah," kata Farida.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan serat kapas, serat ulat sutera, dan bahan tekstil lain mendesak kain kulit kayu. Produksi kain kulit kayu mulai berhenti setelah adanya tradisi menenun dan kain impor. Pada masa penjajahan Jepang, tulis Achjadi, berhentinya pasokan kain impor membuat kerajinan kain kulit kayu di daerah Bengkulu, pantai barat Sumatra, dan Sulawesi Tengah sempat hidup kembali.
Saat ini daerah Sulawesi Tengah masih setia membuat kain kulit kayu, meski penggunaannya terbatas pada upacara adat. Kain kulit kayu dibuat menjadi beragam model pakaian. Ada Toradau (blus yang digunakan pada upacara adat penyambutan tamu terhormat) atau Vuya (dipakai pada upacara penyembuhan penyakit/Balia). Ada pula Siga (digunakan sebagai destar pada semua upacara adat) dan Vini (rok untuk pengantin perempuan atau penyambutan tamu). Di sekitaran Danau Sentani, Papua, kain kulit kayu juga masih diproduksi tapi untuk dijual ke turis-turis asing.
"Saya membuat lebih untuk dijual. Banyak kolektor dan orang asing yang beli. Selembar kain biasa dijual Rp 300 ribu," ujar Farida.
Kain kulit kayu sudah menjadi barang langka. Selain berharap pada orang-orang seperti Farid, ia dan jejaknya hanya ditemukan di museum-museum.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar