Papua di Antara Bung Besar dan Sang Jenderal
Sukarno melakukan apa saja untuk membebaskan Papua dari kekuasaan Belanda. Soeharto melakukan apa saja untuk membungkam kehedak bebas rakyat Papua.
Mayor Jenderal Soeharto pernah jengkel benar kepada Presiden Sukarno. Saat itu, Soeharto menjabat panglima Komando Mandala untuk operasi pembebasan Irian Barat. Sekali waktu sang jenderal mendapat panggilan menghadap presiden ke Istana. Sekonyong-konyong, Sukarno memerintahkan Soeharto menenggelamkan kapala Belanda.
“Aneh-aneh saja,” gumam Soeharto sebagaimana dituturkannya kepada penulis Gufron Dwipayana dan Ramadhan K.H. dalam otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. (Baca juga: Belanda Kirim Kapal Perang, Sukarno Meradang)
Ide tersebut berasal dari Mohammad Yamin yang diutarakan pada rapat kabinet. Tujuannya untuk memberikan efek kejut bagi Belanda supaya undur dari Irian Barat. Sukarno setuju dan mendukung usulan ini. Menurut Soeharto, ide Yamin itu konyol karena lebih lebih menekankan kepentingan politik ketimbang perhitungan militer. Kontan saja Soeharto menolak. Alasannya, dia telah menyusun rencana operasi militer sendiri dan masih memerlukan waktu persiapan.
Untuk memukul Belanda, Soeharto telah merancang operasi gabungan dengan sandi Jayawijaya. Namun hingga sengketa Irian Barat usai, serangan militer skala besar urung terjadi. Irian Barat masuk ke dalam kekuasaan Republik lewat lobi-lobi diplomasi.
Sukarno: Utang Demi Sabang Sampai Merauke
Sukarno betapa gelisah selama Irian Barat masih dikangkangi Belanda. Baginya, kedaulatan negara dari Sabang sampai Merauke merupakan amalan terhadap pemenuhan amanat penderitaan rakyat. Setelah mendeklarasikan Tri Komando Rakyat, Sukarno bertekad membebaskan wilayah itu dengan jalan apapun: perang atau damai. Kawasan Pasifik dikhawatirkan akan dilanda gejolak.
“Trikomando berarti agar supaya kita memasukkan Irian Barat itu kedalam wilayah kekuasaan Republik kembali, dengan segala jalan. Pegang teguh perkataan ini: dengan segala jalan!” seru Sukarno dalam pidato “Membebaskan Irian Barat dengan Segala Jalan” di depan mahasiswa Akademi Pembangunan Nasional Yogyakarta, 18 Maret 1962.
Konflik dengan Belanda memang berakhir dengan kemenangan bagi Indonesia. Ancaman yang digencarkan Sukarno sekilas terlihat berhasil. Meski demikian, masalah Irian Barat menyisakan efek moneter. Jalan politik yang ditempuh Sukarno menghabiskan ongkos yang begitu besar.
Selama kampanye pembebasan Irian Barat, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang cukup parah. Indonesia telah menanggung beban ekonomi akibat menasionalisasi perusahaan Belanda. Beban ini semakin berat dengan penumpukan utang lewat pembelian persenjataan dari Uni Soviet. Hampir seluruh anggaran belanja Indonesia terserap untuk memperkuat pertahanan.
Dalam penelitiannya di Cornell University, Franklin B. Weinstein mencatat, pada akhir 1965, Indonesia memiliki utang luar negeri sebesar 2,4 milyar dolar AS. Sebanyak 1,4 milyar dolar AS berasal dari kredit yang diberikan negara-negara komunis.
“Penting untuk diingat bahwa kredit dari negara-negara komunis itu sebagian besar berupa bantuan militer yang berhubungan dengan kampanye Irian Barat, bukan bantuan ekonomi,” tulis Weinstein dalam Indonesian Foreign Policy and The Dilemma of Independence: From Sukarno to Soeharto.
Sukarno sebenarnya bisa saja melunasi jeratan utang tersebut. Menurut sejarawan Belanda Pieter Drooglever, menjelang penyerahan Irian Barat kepada Indonesia, telah banyak investor asing yang mengintip dan meneliti kekayaan wilayah itu. Salah satu diantaranya perusahaan tambang Amerika, Freeport Sulphur. Freeport sudah menyiapkan rencana eksploitasi besar-besaran.
“Namun ada satu kendala,” kata Drooglever dalam magnum opus Tindakan Pilihan Bebas!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri. “Di bawah Sukarno tidak ada perusahaan luar negeri yang diizinkan.”
Relasi terhadap modal asing baru berjalin lagi sesudah Soeharto menggantikan Sukarno sebagai presiden Indonesia. (Baca juga: CIA Menggulingkan Sukarno demi Emas di Papua)
Soeharto: Curang demi Modal Asing
Memasukan modal asing sebenarnya telah terpikir oleh Soeharto bahkan sebelum menjadi pejabat presiden. Pada 1966, Soeharto menyadari betapa peliknya persoalan ekonomi yang dihadapi rezim Sukarno. Pemerintahan Sukarno mempersulit investasi modal asing sementara kondisi ekonomi mengalami hiperinflasi.
“Jalan yang dianggap bijaksana waktu itu ialah harus cepat mendapatkan bantuan luar negeri,” kata Soeharto dalam otobiografinya. “Dan jendela yang bisa kita buka waktu itu ialah pertama-tama yang menghadap ke Barat.”
Kesempatan tiba ketika Soeharto menjadi pejabat presiden. Pada awal 1967, pintu untuk modal asing dibuka melalui Undang-Undang No. 1 yang mengatur tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA). Dengan UUPMA, Freeport yang sedari lama mengincar wilayah konsesi di Irian Barat ketiban rejeki nomplok.
Kontrak kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Freeport ditandatangani 7 April 1967. Namun mufakat itu terganjal kewajiban Indonesia untuk mengadakan penentuan pendapat bagi rakyat Papua (Pepera). Sebagai konsekuensi Perjanjian New York, orang Papua dihadapkan pada pilihan untuk integrasi dengan Republik atau tidak.
Untuk mengatasi Pepera, Soeharto menunjuk orang kepercayannya, Ali Murtopo, perwira intelijen yang dikenal mahir merancang operasi khusus. Menurut sejarawan Australia, Robert Edward Elson, Ali Murtopo diinstruksikan untuk mengambil langkah yang diperlukan guna memastikan rakyat Papua memberikan suara setuju berintegrasi. Dalam praktiknya, Ali memadukan kebijakan persuasi (baca: membujuk dan menyuap) dan intimidatif untuk menakut-nakuti.
Di bawah pimpinan Brigjen Sarwo Edhie yang menjabat Panglima Kodam Cenderawasih, rakyat Papua tak diizinkan mengungkapkan keinginan apapun untuk merdeka. “Serta dengan leluasa menahan mereka yang berani menyuarakan pendapat-pendapat itu,” tulis Elson dalam Suharto: A Political Biography.
Di Jakarta, lanjut Elson, Soeharto juga melakoni cara yang kurang lebih sama. Hadiah dan barang-barang konsumsi dalam jumlah amat besar dikirimkan ke Irian Barat. Gratifikasi itu dibagi-bagikan kepada para kepala suku yang berpengaruh dan para wakil rakyat.
Jelang sidang Pepera, Ali Murtopo memastikan orang-orang Papua yang pro-integrasi hadir cukup banyak. Pada Agustus 1969, sidang Pepera secara bulat menghasilkan suara setuju sebagaimana yang diharapkan pemerintah Indonesia. Soeharto secara khusus menetapkan Irian Barat sebagai provinsi otonom pada 16 September 1969.
Operasi khusus Ali Murtopo berjalan mulus. Soeharto bisa bernapas lega karena kemenangan Pepera ada dalam genggaman. Freeport pun dengan leluasa merambah kekayaan alam Papua.
Baca juga tulisan sebelumnya:
Papua dan Ambisi Presiden Pertama
Papua di Tangan Soeharto
Tambahkan komentar
Belum ada komentar