Tertimbun dalam Pembredelan Pers
Perempuan turun ke jalan setelah Soeharto melakukan pembredelan. Diterima fraksi ABRI, suara mereka tertimbun di bawah sejarah pembredelan pers.
BUNGA kertas berwarna ungu dengan tulisan “Hentikan Pembreidelan Pers” itu terpasang di dada kiri para perempuan. Atribut itu menjadi penanda para perempuan yang berdemonstrasi menentang pembredelan Majalah Tempo, Editor, dan Tabloid DeTik pada 1994. Para perempuan itu merupakan aktivis dari Koalisi Perempuan untuk Kebebasan Pers (KPKP).
“KPKP dibentuk beberapa hari setelah pembredelan Majalah Tempo dan DeTik sebagai respons terhadap tindakan represif yang membungkam kebebasan pers,” kata Tati Krisnawaty, pendiri Solidaritas Perempuan (SP), yang ikut dalam jaringan KPKP.
Tempo diberedel setelah menulis pertikaian Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad dengan Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie. Julia Suryakusuma dalam Agama, Seks, dan Kekuasaan menulis, keributan dimulai lantaran pemerintah membeli 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur. Laporan Tempo dianggap melanggar kode etik jurnalistik dan membahayakan kemanan negara.
Sementara, DeTik ditutup lantaran dalam Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)-nya memberitakan cerita detektif dan kriminal. Padahal, DeTik kerap mengkritik pemerintah dan mengungkap penderitaan rakyat, yang membuatnya cepat naik daun. Sedangkan Editor tidak lolos pendaftaran SIUPP.
Beberapa hari setelah pembredelan itu, Wardah Hafidz (kemudian mendirikan Urban Poor Consortium) mengajak kawan-kawannya untuk memprotes keputusan pemerintah. Tati, Julia Suryakusuma, Nursyahbani Katjasungkana, Neng Dara Affiah, dan sejumlah aktivis perempuan lain ikut dalam protes ini.
Nursyahbani, kala itu direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, menyediakan kantornya sebagai tempat berkumpul. Kantor LBH Jakarta di Jalan Diponegoro 74, Jakarta Pusat dipilih karena dianggap paling aman dan strategis. Tenda didirikan di halaman LBH, rapat penyusunan strategi aksi dilakukan. Rapat juga dilakukan di Kalyanamitra dan SP. Di kantor SP, para aktivis membuat perangkat aksi protes seperti selebaran, bunga kertas ungu, dan spanduk.
KPKP beberapa kali melakukan aksi turun ke jalan. Seingat Neng Dara, ada sekira 50 orang ikut dalam demonstrasi damai. Aksi ini tak lepas dari penjagaan ABRI, bahkan jumlahnya jauh lebih banyak dari pendemo. Demo berjalan tenang, para perempuan membagikan bunga sambil menyuarakan protes. “Kami melakukan demonstrasi di depan pengadilan dan berhadapan dengan aparat keamanan,” kata Tati.
Demonstrasi ini, tulis Yanti Muchtar dalam Tumbuhnya Gerakan Perempuan Indonesia Masa Orde Baru, adalah usaha para perempuan mengkampanyekan perlawanan terhadap represi negara. Lewat demonstrasi dan dialog dengan pemerintah maupun militer, KPKP konsisten menuntut pemerintah melakukan reformasi atas isu-isu kebebasan berekspresi dan kekerasan negara.
Namun, Wardah membantah KPKP menyampaikan protes lewat aksi turun ke jalan. Menurutnya, protes KPKP dilakukan dengan cara menemui perwakilan penguasa. Cara yang dinisiasi Wardah itu terjadi kala KPKP menemui Fraksi ABRI di DPR.
“Kami diterima lalu bicara dengan mereka. Kami menyampaikan ketidaksetujuan terkait pembredelan itu lalu meminta DPR turun tangan menghentikannya. Saya lupa hasil pertemuannya. Kayaknya cuma didengar. Zaman Soeharto DPR-nya kan cuma stempel,” kata Wardah sambil terkekeh. Selain tentang kebebasan pers, KPKP juga menyuarakan hak untuk bebas dari kekerasan oleh negara.
Kemunculan KPKP, menjadi momen bersatunya para aktivis perempuan di tengah rezim represif Soeharto. Ia juga menjadi momen gerakan perempuan menyuarakan isu di luar kepentingan perempuan. “Gerakan perempuan harus menjadi bagian dari gerakan yang lebih besar. Ketika ada pembredelan Tempo, Editor, dan DeTik, saya berpikir kita harus bergerak, merespons, dan menjadi bagian dari gerakan itu,” kata Wardah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar