Tere Liye dan Asal Usul Pengingkaran Sejarah Gerakan Kiri di Indonesia
Sejarah acapkali bukan soal hitam atau putih, kadang-kadang malah berkisar pada wilayah yang abu-abu. Apa boleh buat.
SEBETULNYA, kalau saja pernyataan yang menihilkan peran tokoh-tokoh kiri (plus liberal dan aktivis HAM) itu datang dari seorang pemuda tanggung yang baru membaca satu-dua buku, mungkin masih bisa dimaklumi dan tak perlu dianggap soal besar. Tapi masalahnya pernyataan itu terlontar dari seorang penulis yang sudah menghasilkan puluhan karya yang kata-katanya selalu diamini oleh para penggemarnya.
Kalau kita perhatikan, pernyataan Tere Liye yang bercampur sinisme itu sebetulnya hendak menggugat mereka, para aktivis kiri, liberal dan HAM yang hidup di masa kini, sebagai konsekuensi dari menguatnya polarisasi kelompok sekularisme versus religius pada hari-hari terakhir ini. Sehingga pernyataan ahistorisnya itu terlontar hanya semata karena ingin menyebarkan keraguan atas peran kelompok tersebut dari sejarah di Indonesia sekaligus mendelegitimasi peran mereka di hari-hari ini.
Kita semua tahu keriuhan yang terjadi hari-hari ini banyak melibatkan kelompok tadi, ambil contoh dalam isu LGBT, heboh monumen laskar Cina di TMII dan pelarangan festival Belok Kiri pada pekan lalu. Pernyataan Tere Liye itu menimbulkan tafsir bahwa dia sedang membagi manusia Indonesia ke dalam dua kelompok besar: yang beragama dan yang tak beragama. Yang beragama (“ulama dan tokoh agama lainnya”) punya banyak jasa namun di luar itu, “silahkan cari,” katanya.
Ada nada ejekan sekaligus keraguan di sana. Kalimat “silahkan cari” itu sama dengan ungkapan dari seseorang yang mau meyakinkan pasangannya bahwa dialah yang terbaik, “Akulah yang terbaik dari semua lelaki yang ada di dunia ini, kalau tak percaya, silahkan cari yang lain”. Jadi dia tak sedang sungguh-sungguh menyuruh orang untuk mencari orang-orang di luar “ulama-ulama besar, tokoh agama lainnya. Orang-orang religius, beragama” yang punya jasa besar dalam pendirian negara-bangsa ini.
Tapi persoalannya, benarkah itikadnya membandingkan peran itu berangkat dari pengetahuan sejarah yang luas dan mendalam? Ini yang jadi persoalan. Kalau pun dia paham sejarah, tentu takkan sampai hati mengeluarkan komentar yang ahistoris itu. Apalagi dia sadar bahwa apa yang ditulisnya, walaupun tiga alinea, dibaca ribuan orang dengan kemungkinan dipercaya sebagai sebuah kebenaran oleh para penggemarnya yang tingkat pengetahuan sejarahnya jauh lebih rendah lagi di bawahnya.
Dengan demikian, apakah mungkin dia tak pernah belajar sejarah? Membaca buku-buku sejarah yang kini kian banyak dan mudah diakses? Atau, komentarnya itu merupakan hasil dari cara pengajaran sejarah di negeri ini yang banyak menghapus peran orang-orang kiri atau orang-orang di luar mereka yang beriman? Atau jangan-jangan ini cerminan dari pola pikir sebagian orang yang menyusun hirarki manusia Indonesia berdasarkan tingkat kesalehan yang bersandar pada norma agama tertentu?
Lagipula, pertanyaannya itu pun mengandung kontradiksinya sendiri: bagaimana mungkin mencari peran sejarah aktivis HAM pada masa di mana HAM belum jadi sebuah persoalan yang dibicarakan orang? Ini contoh dari pertanyaan sejarah yang anakronisme, yang memaksa kita untuk membayangkan ada orang memprotes pemerintah kolonial melanggar HAM ketika menangkap HOS Tjokroaminoto.
Baiklah, sekarang kita selesai buang waktu dengan urusan Tere Liye. Saya akan mencoba mengurai kenapa pernyataan itu bisa terlontar dan mengapa pula masih begitu banyak orang mengingkari peran sejarah gerakan kiri di Indonesia.
Kita sama-sama mahfum, bangsa ini belum lagi dua dasawarsa lepas dari rezim otoriter Soeharto. Corak pengajaran sejarah pada masa itu menghapuskan peran gerakan kiri dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Cara pandang seperti demikian sepenuhnya dibentuk oleh kepentingan untuk menjadikan komunisme sebagai musuh bersama semenjak peristiwa G30S 1965.
Untuk mudahnya menyelami pikiran penguasa rezim Soeharto terhadap sejarah gerakan kiri bisa kita baca dalam buku Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya yang disusun dan diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia di masa Moerdiono menjadi menterinya.
Pada halaman 7 sampai dengan 14 dijelaskan bagaimana kelahiran dan perkembangan gerakan komunisme di Hindia Belanda. Di sana ditulis tentang bagaimana tabiat gerakan komunis yang tukang berontak. Namun buku ini lupa atau mungkin memang sengaja tidak memberi penjelasan atas konteks situasi yang berkembang saat itu: bahwa yang sedang dilawan adalah pemerintahan kolonial yang bersifat represif terhadap gerakan pembebasan nasional di Hindia Belanda.
Maka gambaran gerakan kiri sebagai tukang hasut dan berontak menemukan akar historisnya. Dan para penyusun buku yang diterbitkan pada 1994 itu pun itu leluasa membangun narasi sejarah gerakan kiri yang penuh pertumpahan darah dan kekerasan sebagai basis argumentasi pembenaran terhadap persekusi yang dilakukan kepada seluruh anggota dan simpatisan PKI setelah peristiwa G30S 1965.
Narasi sejarah seperti itulah yang diajarkan selama bertahun-tahun kepada generasi muda di Indonesia. Hampir tak pernah ada pembahasan mengenai peran penting tokoh-tokoh kiri dalam pelajaran sejarah di sekolah. Dalam kasus sejarah Sarekat Islam misalnya, pembagian Sarekat Islam ke dalam dua kelompok, SI Merah dan SI putih seringkali diasosiasikan dengan afinitas keimanan anggotanya. Mereka yang tergabung di dalam SI Merah adalah orang-orang komunis yang ateis, jauh dari nilai-nilai agama. Sementara yang putih kebalikannya. Sesimpel itu.
Padahal peristiwa yang terjadi pada awal era 1920-an itu pertama kali terjadi bukan karena urusan iman dan takwa, tapi lebih kepada taktik politik untuk “menyelamatkan” Sarekat Islam dari hukuman pemerintah kolonial. Pada 1919 terjadi insiden Afdeling B yang diawali dari penolakan atas pemberlakuan pajak padi oleh Haji Hasan di Cimareme, Garut. Peristiwa itu berakhir dengan kekerasan. Haji Hasan dan keluarganya tewas di tangan polisi kolonial. Pemerintah kolonial menemukan bukti keterlibatan sebuah kelompok rahasia di dalam tubuh Sarekat Islam yang dinamakan “Afdeling B” yang sedang mempersiapkan pemberontakan melawan pemerintah kolonial.
Beberapa anggota Afdeling B itu kemudian kita kenal sebagai tokoh-tokoh komunis seperti Muso dan Alimin. Karena kejadian itu pula HOS Tjokroaminoto dihukum penjara atas tuduhan memberikan keterangan palsu dalam kasus keterlibatan Sosrokardono, tokoh Afdeling B. Peristiwa ini menjadi salah satu faktor perpecahan di dalam tubuh Sarekat Islam.
Ketika Haji Agus Salim menggantikan posisi Tjokro yang sedang dipenjara, mulailah ada gerakan pembersihan unsur komunis dari tubuh Sarekat Islam. Lagi-lagi ini adalah muara dari begitu banyak konflik dan perseteruan pendapat tentang bagaimana seharusnya Sarekat Islam berhadapan dengan pemerintah kolonial.
Bagi mereka yang ada di Sarekat Islam Semarang, Central Sarekat Islam di bawah kepempinan HOS Tjokro (lantas kemudian di bawah Haji Agus Salim dan Abdul Muis) dinilai kurang berjarak dengan pemerintah kolonial. Dalam kasus Volksraad (Dewan Rakyat) misalnya, Sarekat Islam Semarang memboikot parlemen yang bertujuan untuk memoderasi gerakan politik anti pemerintah kolonial itu.
Menurut Semaun, sebagaimana dikutip oleh Ruth McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia, menghilangkan unsur kiri dalam tubuh Sarekat Islam sama saja mengembalikan fungsi Sarekat Islam menjadi serikat kecil pedagang muslim. Semaun juga mengatakan sentimen agama tidak cukup untuk menjadi dasar pergerakan massa Indonesia, apalagi melihat kenyataan bahwa tak semua orang Indonesia beragama Islam. Perjuangan Sarekat Islam menurut Semaun harus ditujukan kepada semua kelas yang mengalami penindasan karena membatasinya berdasarkan keagaman justru memudahkan pemerintah kolonial memecah belah dan menguasai massa-rakyat Indonesia.
[pages]Kehendak Salim untuk membersihkan unsur kiri dalam tubuh Sarekat Islam tak bisa diberhentikan. Dia mengatakan apa yang diajarkan oleh Karl Marx sesungguhnya sudah dikatakan berabad-abad sebelumnya oleh Nabi Muhammad. Kalaupun Sarekat Islam harus kehilangan anggotanya, Salim berpendapat biarlah itu terjadi sebagai upaya pembentukan dasar yang benar. SI di bawah Salim kemudian berjalan sendiri dan dikenal sebagai SI Putih sementara lawannya menjadi SI Merah.
Dari peristiwa perpecahan Sarekat Islam ini bisa kita lihat bahwa sebetulnya yang terjadi semata karena pertikaian politik. Sentimen agama digunakan sebagai cara untuk memilah kekuatan yang bakal mendukung kekuasaan dari tokoh-tokoh tertentu dalam Sarekat Islam. Tidakah anomali apabila kita melihat kenyataan sejarah kalau SI Putih jauh lebih lunak dalam menghadapi pemerintah kolonial ketimbang SI Merah? Tidakkah seharusnya agama Islam mengajarkan agar penganutnya menghancurkan musuh-musuhnya yang kafir yang banyak duduk di dalam struktur pemerintahan kolonial? Ini pun tak sesederhana itu.
Artinya, memahami peristiwa dan peran tokoh-tokohnya di dalam sejarah tak semudah membagi jagoan dan penjahat di dalam film laga. Ia mengandung kerumitannya tersendiri sehingga membutuhkan kehati-hatian di dalam mengkajinya agar tak terjerumus pada penyimpulan yang keliru atas sebuah peristiwa di dalam sejarah.
Penggambaran komunisme di kepala sebagian besar orang Indonesia hampir sepenuhnya dibentuk oleh narasi sejarah bikinan rezim pemerintahan Soeharto. Sehingga setiap saat wacana mengenai komunis mengemuka, persepsi yang muncul adalah tentang sekelompok orang-orang bejat, tak berprikemanusiaan, anti-Tuhan, anti-agama gemar melakukan kekerasan untuk mencapai tujuannya.
Padahal bicara soal pemberontakan, Kartosuwirjo pun pernah melakukannya di dalam DI/TII dan peristiwa itu pun berlumur kekerasan dan darah. Tapi apakah adil bila kita memukul rata tabiat orang Islam seperti halnya tabiat pemberontak DI/TII. Atau katakanlah apakah kelakuan ISIS yang penuh kekerasan itu bisa mewakili citra umat Islam secara keseluruhan? Tentu saja tidak semudah dan sesederhana itu.
Yang justru harus diperhatikan di tengah masyarakat kita terkini adalah maraknya aksi komodifikasi agama. Bagaimana agama dijadikan nilai-nilai yang bisa dipertukarkan untuk mendapat keuntungan tertentu. Jikalau agama memiliki nilai guna sebagai seperangkat aturan dan pengetahuan agar manusia menjadi lebih baik, maka agama yang diperlakukan sebagai alat tukar berpotensi menghilangkan kegunaan ajaran agama itu sendiri.
Katakan semisal menjelang pemilihan kepala daerah, banyak kandidat yang mendadak menyumbangkan dana untuk pembangunan mesjid dan aktif mengadakan pengajian untuk mengumpulkan warganya. Soal apa yang terjadi di dalam hatinya itu bukan urusan kita, namun pada kenyataannya banyak ajang keagamaan yang digunakan sebagai cara untuk menggalang suara demi kemenangan Pilkada. Pada akhirnya afiliasi keagamaan diperlakukan sebagai “segmentasi pasar” demi meraih kekuasaan.
Contoh yang paling terbaik untuk suasana seperti ini adalah persaingan memperebutkan posisi gubernur Jakarta yang kini diduduki oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sudah sejak jauh-jauh hari ada sebagian orang yang mengembus-embuskan sentimen keagamanan (dan sentimen ras) untuk tidak memilih Ahok yang Tionghoa juga non-muslim itu sebagai gubernur Jakarta. Padahal kalau kita mau jujur, kualitas seorang manusia seringkali tidak ada hubungannya dengan agama apa yang dianutnya. Toh ada juga gubernur dari partai Islam yang kena cokok KPK karena perkara korupsi dan itu tak ada hubungan dengan agama yang dianutnya.
Kemudian pada era di mana batas-batas negara-masyarakat bisa dilampaui oleh kecanggihan alat komunikasi dan berbagai medium komunikasi lainnya, mulai telepon pintar sampai dengan media sosial, memunculkan sebuah kesadaran tentang apa yang dianggap datang dari luar dan tak sesuai dengan nilai-nilai keaslian yang sudah ada di dalam negeri ini sejak beradab silam.
Sehingga tak heran jika terlontar imbauan agar anak muda “jangan terlalu terpesona dengan paham-paham luar, seolah itu keren sekali; sementara sejarah dan kearifan bangsa sendiri dilupakan”. Padahal kalau mau jujur, kurang luar apa para pedagang Gujarat yang membawa masuk ajaran Islam ke Nusantara, sama luarnya dengan para pedagang Eropa yang membawa misi penyebaran agama Kristen.
Maka pembatasan yang tegas atas apa yang “luar” dan dan apa yang “dalam” justru berpotensi mengaburkan realita historis itu sendiri. Maksud saya di sini, apabila penjajahan itu hanya diasosiasikan dengan kedatangan orang-orang luar (baca: Belanda) ke sini, maka itu akan menghilangkan kenyataan lain bahwa kolonialisme di negeri ini pada masa yang lalu juga terbentuk sebagai konsekuensi dari adanya kerjasama antara tuan-tuan kolonialis dengan pemuka kaum feodal yang lahir dan tumbuh di dalam negeri ini.
Banyaknya salah kaprah memahami sejarah ini bukan lagi sekadar kehendak subyektif dari seseorang di dalam memahami sejarah berdasarkan paradigmanya. Tapi lebih karena politik ingatan yang dibentuk sedemikian rupa oleh sebuah rezim. Misalnya tahun-tahun awal kemerdekaan, ada kebutuhan untuk menulis sejarah nasional yang meletakkan tokoh-tokoh Indonesia yang pada masa kolonial dianggap sebagai non-faktor, menjadi tokoh penentu dalam sejarah pembentukan negara-bangsa Indonesia.
Lantas pada masa Soeharto, adalah sebuah kemustahilan untuk menjadikan tokoh gerakan kiri sebagai subyek yang dibahas dalam mata pelajaran sejarah di sekolah. Begitu juga di zaman sekarang, ketika benturan pemikiran sekulerisme versus religius kembali menguat, ada semacam kebutuhan untuk membuat garis pemisah tegas untuk melegitimasi peran orang-orang beragama di dalam sejarah sekaligus mendelegitimasi orang-orang di luar mereka yang beriman itu.
Padahal kalau kita merujuk kepada peristiwa sejarah, seringkali agama dan hubungannya dengan ideologi lain di luarnya itu, akan menjadi cair saat bertemu pada kepentingan yang sama. Ambil contoh peristiwa pemberontakan PKI 1926-1927 di Banten dan Silungkang, Sumatera Barat. Itulah sebuah masa ketika ulama juga menjadi seorang komunis pada saat bersamaan, untuk melawan otoritas kolonial.
Kalau juga ada yang mengatakan bahwa hanya muslimlah yang paling berperan di dalam memerangi kolonialisme, itu pun mengaburkan kenyataan sejarah tentang adanya umat beragama lain yang juga melawan penjajahan. Karena pada kenyataanya tak semua muslim (bahkan ulama) melawan penjajah, sebagian di antaranya malah berkongsi. Dan itu, lagi-lagi, tak ada urusannya dengan keyakinan agamanya.
Sebut semisal Syekh Haji Abdul Ganiu, seorang ulama dari Buton yang hidup pada abad 19. Syekh Ganiu belajar agama dari tokoh-tokoh di Buton dan kemudian pergi ke Mekah untuk berhaji dan belajar agama. Setelah pulang, dia aktif berdakwah untuk memurnikan akidah keislaman berdasarkan Alquran dan hadits.
Berdasarkan terjemahan filolog La Niampe atas naskah kuno Buton yang ditulis oleh ulama tersebut, terdapat sebuah fakta menarik yang menjelaskan hubungan Kesultanan Buton dengan Belanda. Ulama itu justru berterima kasih atas kehadiran Belanda karena dengan jalan itulah Buton merdeka dari ancaman penaklukan Ternate dan Gowa.
“Tetapi ringkasnya, yang teramat dan terlebih banyak gunanya tetap sepanjang zaman Belandalah yang tiada bandingnya. Sebab sewaktu belum ada Belanda, pada musim timur kita menjaga Ternate, pada musim barat kita menjaga Gowa...Karena kumpeni sehingga merdeka negeri kita ini (Buton – Red),” demikian tulis Syekh Haji Abdul Ganiu berdasarkan teks Kabanti “Ajonga Yinda Malusa” yang dikutip dari terjemahan La Niampe.
Maka dengan demikian tesis tentang “Indonesia merdeka karena jasa tiada tara dari ulama dan tokoh agama” tidak sepenuhnya bisa diterima sebagai sebuah kebenaran. Sebagaimana penggambaran seorang komunis di era Soeharto yang dipukul rata sedemikian rupa sehingga selalu identik dengan hal-hal negatif dan bernada minor.
Politik historiografi dari sebuah rezimlah, katakanlah di sini rezim Soeharto, yang berperan mengaburkan realitas sejarah itu demi tujuan kekuasaannya sendiri. Imbasnya memang kemana-mana, salah satu wujudnya ya komentar Tere Liye yang tak jelas “asbabun nuzulnya” itu. Wassalam...
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar