Tak Ada Gestapu di Kota Kembang
Tidak seperti di daerah lain, suasana mencekam pasca peristiwa 30 September hampir tidak terasa di Kota Bandung. Informasi yang terhambat menjadikan kepanikan masyarakat mampu diredam aparat.
Suasana yang ramai, tetiba berubah hening. Pertanyaan saya membuat Untung Maulana Sulaiman langsung terdiam. Dahinya mengerenyit. Dia mencoba mengingat suasana di malam 30 September 1965, dan hari-hari setelahnya. Hari di mana pria kelahiran 1957 itu melihat begitu banyak mobil tentara mondar-mandir di sekitar rumahnya di Jalan W.R. Supratman. Untung kecil hanya bisa menyaksikan, tanpa tahu sebab keramaian itu terjadi.
Rasanya kejadian itu baru saja dia alami. Ingatan tentang hari itu samar-samar masih cukup tergambar dibenaknya. “Mungkin ada rasa trauma waktu saya kecil, makanya beberapa bagian masih saya ingat betul,” ungkapnya kepada Historia. Usianya kala itu masih 8 tahun, sekitar kelas satu atau dua sekolah dasar.
Baca juga: Kontestasi Dua Narasi dalam Peristiwa 1965
Ayah Untung, Syarif Sulaiman, bekerja sebagai wartawan. Di dalam majalah Pers Indonesia No. 25, Januari 1981, diperoleh keterangan bahwa Syarif Sulaiman pernah menjabat ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Bandung. Dia juga tercatat pernah menjadi Anggota Presidium PWI Pusat periode 1952-1955.
Menurut Untung, keluarganya menjadi salah satu yang paling terdampak peristiwa 65. Sebagai wartawan, ayahnya mendirikan surat kabar Warta Bandung yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Itulah mengapa ayahnya ditangkap sebagai tahanan politik. Peristiwa yang akhirnya mengubah kehidupan keluarganya.
Baca juga: Survei SMRC Membuktikan Mayoritas Orang Tidak Percaya PKI Bangkit
Pada awal Oktober, Untung melihat ada begitu banyak tentara di sekitar rumahnya. Kendaraan-kendaraan tentara juga berkeliaran di sana. Untung ingat betul ada beberapa tetangganya yang kala itu dijemput tentara. “Sebagai anak kecil saya ketakutan waktu itu, ini mau ada perang atau apa kok ada ribut-ribut,” kata Untung.
Namun suasana di Bandung, kenang Untung, tidak terlalu ramai. Dia bahkan sempat bersiap pergi ke sekolah pada 1 Oktober. Namun karena dicegah, dia tidak jadi berangkat. Sekolah pun baru diliburkan awal bulan, sekira seminggu setelah berjalannya Oktober.
Suasana di Bandung
Sebagaimana diceritakan Nina H. Lubis dalam “Tatar Sunda di Goncang Konflik Sosial Politik” dimuat Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional: Bagian II Konflik Lokal, suasana di Kota Bandung menjelang peristiwa besar di Jakarta tidak terlalu berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Masyarakat tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Tidak ada kehebohan yang menyebabkan kepanikan. Pemberitaan surat kabar pun umumnya berisi tentang situasi ekonomi yang kian memburuk, serta kenaikan harga-harga barang pokok di sejumlah tempat di Kota Bandung.
Berdasar penelitian Nina, hingga 1 Oktober 1965, agaknya peristiwa berdarah yang terjadi di ibukota belum diketahui masyarakat Bandung. Bahkan rektor Universitas Padjadjaran, Sanusi Hardjadinata, yang merupakan tokoh Partai Nasional Indoesia (PNI) dan memiliki kedekatan dengan Sukarno, tidak mendapat informasi tersebut. Hanya dari kalangan militer saja yang langsung mendapat kabar peristiwa 30 September.
Baca juga: Tuntut PKI Membubarkan Diri
Berita resmi tentang peristiwa di Jakarta baru muncul dua hari setelahnya. Diberitakan harian Pikiran Rakyat, 2 Oktober 1965, lewat Panglima Siliwangi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie publik Bandung akrhinya menyadari adanya kegemparan di ibukota. Melalui pernyataan di surat kabar itu, Ibrahim Adjie meredam kepanikan yang mungkin akan melanda Kota Kembang tersebut.
“Sudara-sudara rakyat Jawa Barat pencinta Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, Tamtama, Bintara, dan Perwira Angkatan Bersenjata,” tulisnya. “Sampai sekarang belum ada kejelasan tentang kejadian-kejadian di Jakarta yang menyangkut penyelamatan dan pengamanan P.J.M. Presiden/Pangti ABRI/Pembesrev Bung Karno yang kita cintai.”
Ibrahim Adjie meminta publik untuk tidak terlalu khawatir dengan kejadian di Jakarta. Dia meminta agar masyarakat menunggu pernyataan resmi dari Bung Karno sebelum melakukan tindakan apapun. Juga jangan sampai terprovokasi oleh pihak manapun. Ibrahim Adjie benar-benar menggantungkan keputusannya pada Bung Karno.
Baca juga: Loyalis Sukarno Bernama Ibrahim Adjie
“Pada awal meletusnya G30S/PKI, ketaatan Ibrahim Adjie kepada Bung Karno terlihat sekali. Pejabat sipil, militer, serta pimpinan partai politik dan organisasi massa dikumpulkan di aula Kodam untuk mengadakan briefing dengan satu kesimpulan: Rakyat Jawa Barat mendukung Bung Karno,” tulis Samsudin dalam Mengapa G30S/PKI Gagal? Suatu Analisis.
Keadaan di Bandung, umumnya Jawa Barat, sempat memanas pasca informasi persitwa 30 September menyebar di kalangan masyarakat sipil. Gerakan-gerakan dalam skala kecil dilaporkan terjadi di sejumlah tempat. Upaya pencegahan segera dilakukan Gubernur Jawa Barat Mashudi. Dia mengeluarkan berbagai kebijakan untuk meredam kejadian yang tidak diinginkan. Meski memerlukan waktu yang cukup panjang, normalisasi di Bandung berhasil dilakukan
Situasi Kampus Unpad
Pada 1 Oktober 1965, sehari setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, Sanusi Hardjadinata menyampaikan pidato di depan para mahasiswa, dalam upacara penutupan Masa Prabhakti Mahasiswa (Mapram) Universitas Padjadjaran Tahun 1965.
Dalam pidatonya, dikutip Tempo 1 Oktober 1965, rektor ke-3 Unpad itu berpesan agar “para mahasiswa memiliki jiwa bakti bagi perjuangan kita, bagi tanah air dan bangsa. Dalam tiap gerakan harus tetap berada dalam landasan Pancasila.” Lebih lanjut, Sanusi menyarankan agar para mahasiswa menyalurkan minatnya pada kegiatan-kegiatan intra dan ekstrauniversiter yang kelak membantu pembangunan bangsa.
Baca juga: Bahaya Laten PKI hanya Halusinasi
Ketika Sanusi menyampaikan pidato penutupan Mapram itu, para mahasiswa, umumnya rakyat Jawa Barat belum mengetahui berita tentang peristiwa 30 September di Jakarta. Hal itulah yang membuat acara Mapram berjalan dengan tenang dan lancar. Mereka tidak menyadari bahwa beberapa jam sebelumnya telah terjadi peristiwa berdarah di ibu kota.
Sanusi ditunjuk langsung oleh Presiden Sukarno menjadi rektor Unpad. Ia baru saja kembali ke tanah air, setelah empat tahun menjadi duta besar di Mesir, ketika presiden pertama RI itu menunjuk dirinya. Sebelum menjadi rektor, Sanusi telah cukup kenyang berkarir di dunia perpolitikan Indonesia. Ia pernah menjabat Wakil Residen Priangan (1947-1948), Residen Madiun (1948-1949), Residen Priangan (1950-1951), dan Gubernur Jawa Barat (1951-1956).
Beberapa pekan sebelumnya, para dosen dan mahasiswa di Unpad terlibat dalam politik praktis. Mereka menggaungkan keyakinan berpolitik mereka dengan berani dan terbuka. Sejumlah gerakan pun terjadi di dalam kota, tergabung di dalam aksi mahasiswa Bandung.
Baca juga: Gaya PKI Memikat Rakyat
Untuk menghadapi pengaruh ideologi-ideologi yang telah membanjiri dunia kampus ini, Sanusi bergerak cepat dan hati-hati. Diceritakan Guru Besar Sejarah Unpad Nina Herlina Lubis dalam Negarawan dari Desa Cinta: Biografi R.H. Moh. Sanusi Hardjadinata (1914-1995), rektor Sanusi seringkali meminta bantuan Pembantu Dekan III Fakultas Hukum, Sri Somantri, untuk mengatasinya. Mereka sama-sama melakukan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan mahasiswa di dalam kampus. Sambil sesekali mengadakan pertemuan dengan para mahasiswa untuk saling bertukar pandangan.
Pembersihan pengaruh komunis semakin gencar dilakukan Sanusi pasca 1965. Ia mencoba menghilangkan seutuhnya pengaruh kiri, yang dianggap merusak moral mahasiswa, dari seluruh kegiatan di Unpad. “Dalam hal ini, Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Yuyun Wirasasmita, mendapat tugas berat karena harus melakukan interogasi terhadap sesama dosen dan para mahasiswa yang termasuk ‘kiri’,” tulis Nina.
Bukan perkara mudah bagi Sanusi ketika harus menaruh curiga kepada rekan-rekan dan anak didik yang seharusnya menajdi tanggung jawab pihak kampus. Namun demi menjaga keamanan dan ketentraman, imbuh Nina, tindakan tersebut memang perlu dilakukan. Butuh waktu yang tidak sebentar bagi pihak Unapd menghilangkan pengaruh komunis di dalam kampusnya. Namun hingga akhir masa bakti Sanusi di Unpad pada 1966, tidak ada kegiatan-kegiatan mahasiswa yang mengarah kepada penentangan kebijakan kampus dan pemerintah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar