Samin Dibuang Samin Menguat
Setelah para pengikutnya menolak bayar pajak, Samin Surosentiko dibuang ke Padang oleh pemerintah kolonial.
KEHADIRAN mereka di Festival Blora Seabad Pram yang dihelat di Pendopo Bupati Blora pada 7 Februari lalu mengundang perhatian para pengunjung lain. Bukan hanya laku mereka yang lugu, tapi juga penampilan mereka yang bersahaja. Begitulah mereka para pengikut ajaran Samin. Meski dulu dicap pembangkang, kini (kaum) Samin mulai dianggap orang besar.
Ajaran Samin (Saminisme) awalnya merupakan gerakan perlawanan pasif masyarakat di Blora yang dipimpin Raden Kohar alias Samin Surosentiko terhadap upaya pemerintah kolonial Hindia Belanda yang hendak mengkomersialisasi hasil hutan. Lantaran mereka hidup bertani dan bergantung pada alam, kebijakan pemerintah dianggap akan merusak hutan alam yang pada gilirannya mengganggu kehidupan mereka.
“Pada mulanya gerakan Samin ini tidaklah bersifat mesianistis dan tidak menjalankan tindakan yang agresif terhadap pemerintah. Namun, memasuki abad ke-20 tindakannya cenderung meningkat dan bersifat mesianistis. Para penganjurnya teruatama didominasi oleh unsur-unsur pemilik tanah yang kemudian berhasil menarik banyak pengikut dari kalangan petani yang relatif lebih miskin sejalan dengan meluasnya penerapan sistem perpajakan,” tulis Marwati Djoened Pusponegoro dkk. dalam Sejarah Nasional Indonesia: Kemunculan Penjajahan di Indonesia, 1700-1900.
Perlawanan mereka cenderung pasif karena dilakukan tanpa kekerasan fisik seperti pengikut Mahatma Gandhi di India, yakni dengan menolak membayar pajak. Kian bertambahnya pengikut membuat Samin Surosentiko yang sejak 1890 menyiarkan ajarannya di Desa Klopodhuwur kian dikenal dan dihormati. Pada sekitar 1907, dia diangkat sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Pangeran Suryangalam.
Membesarnya kaum Samin dengan gerakan tidak bayar pajaknya membuat pemerintah kolonial mengkhawatirkan orang-orang Samin. Dengan saran Snouck Hurgronje, penasihat Urusan Bumiputra dan ahli Islam, pemerintah pun menangkap Samin Surosentiko bersama lima pengikutnya pada 8 November 1907.
“Gerakan semacam ini tidaklah berbahaya menurut pendapatnya karena dapat dengan cepat ditumpas dengan jalan membuang pemimpin atau penganjurnya,” sambung Marwati Djoened dkk.
Setelah ditangkap, Samin dan lima pengikutnya, menurut koran De Sumatra Post tanggal 3 Maret 1908, dipenjara di Semarang. Usia Samin. Koran itu menyebut Samin, yang ketika itu 48 tahun, sebagai orang yang revolusioner.
Samin dan para pengikutnya lalu dibuang ke daerah berbeda. Het Nieuws van den dag van Nederlandsch Indisch tanggal 24 Desember 1907 memberitakan bahwa berdasar Keputusan Pemerintah tanggal 21 Desember 1907, demi kepentingan ketenteraman dan ketertiban umum, Samin, Singotirto alias Saridjam dan Kartogolo alias Sakidin dibuang ke Keresidenan Padang; sementara Ronodikromo alias Randi dan Soredjo alias Sadikin serta Soerjani alias Sarpan dibuang ke Bengkulu; sedangkan Soerowirjo alias Saroe dan Tokromo alias Sakidin dibuang ke Manado.
Samin tak pernah kembali lagi ke kampung halamannya. Dia meninggal dunia di tempat pembuangannya. Koran Het Volk edisi 11 September 1933 menyebut Samin meninggal dunia di Keresidenan Padang pada 1914. Cerita tentang Samin Surosentiko di tanah pembuangannya di Sumatra kemudian tidak terdengar lagi. Hubungan antara Samin dengan pengikut dan keluarganya di Jawa pun terputus.
“Jejak-jejak mungkin ada di Sawahlunto. Di tambang Mbah Suro katanya. Saya belum pernah ke sana,” kata Sutejo, salah satu cicit Samin Surosentiko yang kini tinggal di daerah Randublatung, Blora.
Samin Surosentiko kerap dikaitkan dengan Lubang Mbah Suro yang kini menjadi tempat wisata sejarah. Mbah Suro sendiri punya kaitan dengan Sawahlunto, daerah pertambangan batubara Ombilin di Sumatra Barat yang mempekerjakan banyak orang rantai alias tahanan yang kakinya dirantai dan rantai itu diikatkan dengan besi berat. Tabloid Mak Itam edisi 2013 menyebut Mbah Suro berasal dari Jawa.
“Kata tabloid, dia mengajarkan Saminisme, ajaran sesat petani tradisional Jawa di Blora sebelum dipindahkan ke Sawalunto pada 1902, ia dihukum karena menentang kebijakan pajak Belanda,” tulis Mannek Budiman dan Abidin Kusno dalam Collective Memory, Marginality, and Spatial Politics in Urban Indonesia.
Mbah Suro dihormati tahanan-tahanan lain di sana. Mbah Suro yang dianggap Samin Surosentiko itu lalu dimakamkan di Sawahlunto setelah meninggal. Kendati makam orang rantai tidak memiliki nama di nisannya, ada nomor registrasi tahanan tertera di nisan itu. Ada rencana makm Mbah Suro dipindah ke Jawa, daerah asalnya.
Setelah kepergian Samin ke Sumatra dan kematiannya, para pengikut Samin justru semakin bertambah. Pengikut Samin bahkan masih ada hingga sekarang. Jika dulu pernah berseberangan dengan pemerintah karena menganggap orang-orang pemerintah bukan orang jujur, kini orang-orang Samin dilindungi seperti warga negara RI lainnya. Saminisme bahkan menjadi sesuatu yang membanggakan. Nama Samin telah dijadikan nama jalan dan gedung di Blora.
Kondisi tersebut berkebalikan dari kondisi di masa lalu. Dulu, Samin identik distigma miring. Maka tiap ada orang yang ngotot akan diberi dicap, “Oh Samin,” begitu Lilik Prayogo, warga Blora, menirukan orang dulu mencap orang ngotot. Padahal, orang Samin adalah orang tegas, jujur, dan apa adanya.
“Kalau kita pinjam cangkul, itu gagangnya diambil, yang dikasih besi cangkulnya saja,” terang Sujarwo ketika menunjukkan kejelasan orang Samin.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar