Menilik Kembali Keterkaitan Belanda dalam Madiun Affair
Presiden Prabowo mengungkit para tokoh kiri seperti Musso dan Semaoen dalam pidatonya. Benarkah Belanda ikut mendalangi Peristiwa Madiun 1948?
KETIKA Madiun membara akibat pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) medio September 1948, Belanda menawarkan bantuan pasukan untuk upaya pasifikasi. Namun benarkah Belanda punya peran, bahkan ikut mendalanginya sebagaimana yang diindikasikan Presiden Prabowo Subianto?
Presiden Prabowo mengungkitnya dalam pidatonya di sela Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (5/5/2025). Ia menyampaikannya dalam konteks pembicaraan tantangan menghadapi globalisasi dan berkaca bahwa sejak awal kemerdekaan pun upaya pembangunan Indonesia selalu diganggu campur tangan pihak asing.
“Mungkin 25-28 tahun kita merdeka tidak pernah berhenti dari campur tangan asing. Peristiwa Madiun itu seolah-olah komunis, ternyata yang membawa (Munawar) Musso, Semaoen, semua itu adalah Belanda. Difasilitasi oleh Belanda. Belanda kuasai Batavia, semua lapangan terbang dikuasai. Bagaimana dia bisa sampai ke Madiun?” kata Prabowo dalam pidatonya yang diunggah akun Youtube Sekretariat Presiden, Senin (5/5/2025).
Baca juga: Jalan Baru Musso dalam Peristiwa Madiun
Pun dalam beberapa peristiwa pergolakan yang terjadi di masa Orde Lama. Termasuk pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang berlangsung hingga 1960-an.
“Terus (campur tangan asing). DI/TII, dokumen keluar (ternyata) Belanda. Bahkan Snouck Hurgronje juga ‘sandi yudha’, intelnya Belanda,” lanjutnya.
Bukan kali ini saja Presiden Prabowo menyelipkan narasi-narasi sejarah dalam pidatonya. Pada pidato sambutan sebelumnya di Sarasehan Ekonomi pada 8 April 2025, ia mengungkit perihal propaganda ala dedengkot Nazi, Joseph Goebbels dan Adolf Hitler dalam konteks agar publik berhati-hati memilah antara kritik dan propaganda hoaks ala Goebbels dan Hitler.
Baca juga: Propaganda Ala Joseph Goebbels
Antara Semaoen, Musso, dan Belanda
Ungkitan Presiden Prabowo menggelitik untuk menilik lagi seperti apa posisi Belanda dalam arus globalisasi yang memengaruhi bangsa Indonesia, bahkan sejak masa kolonial. Belanda dengan kolonialismenya tentu membawa juga arus liberalisme ke Indonesia. Tokoh-tokoh Belanda pula yang membawa sosialisme dan komunisme ke Indonesia. Sebagaimana diketahui, bersama beberapa tokoh kiri Belanda seperti Adolf Baars, H.W. Dekker, C. Hartogh, dan Bernard Cooster, Henk Sneevliet mendirikan organisasi berhaluan kiri pertama, Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), di Surabaya pada 9 Mei 1914.
Semaoen adalah salah satu “anak didik” Sneevliet. Selain ikut jadi tokoh serikat buruh keretaapi Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP) dan bergelut di dewan pimpinan Sarekat Islam (SI), kelak Semaoenlah yang jadi ketua pertama PKI usai didirikan pada Mei 1921 sebagai penerus ISDV yang para tokohnya dideportasi pemerintah kolonial.
“Gagasan sosialis Sneevliet menarik perhatian Semaoen dan di bawah Sneevliet, Semaoen belajar tentang ide-ide dan strategi-strategi Marxisme bersama juga Darsono (Notosoedirdjo), di mana kemudian mereka menjadi tokoh sentral bumiputera dalam gerakan komunis. Ia menjadi pemimpinnya setelah sang mentor, Sneevliet, diusir pemerintah (kolonial). Tetapi atas idelogi dan cara-cara bergerak dari Sneevliet, Semaoen menguasai filosofi sosialis sebagaimana juga metode-metode baru dalam pergerakan seperti dengan mengumpulkan serikat buruh, melancarkan boikot, dan pemogokan,” tulis Nobuto Yamamoto dalam Censorship in Colonial Indonesia, 1901-1942.
Gara-gara komunisme, pada 1923 Semaoen ditangkap dan diasingkan pemerintah kolonial ke Belanda. Setelahnya, ia memilih merantau ke Uni Soviet. Semaoen baru balik ke Indonesia pada 1953 sehingga ia tak terlibat dalam Madiun Affair (Pemberontakan PKI Madiun) yang dipimpin Musso. Musso sedikit-banyak juga pernah belajar pada Sneevliet.
Baca juga: Semaoen Akan Didik Sneevliet
Menurut Soe Hok Gie dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, selain dari Sneevliet, di masa mudanya Musso terpengaruh komunisme dari dua tokoh Belanda, yakni penasihat umum utusan Bumiputera Dr. Godard Arend Johannes Hazeu dan teosofis Dirk Van Hinloopen Labberton. Pemikiran tentang arus kiri terus dipendamnya hingga kemudian pernah satu kos dengan Alimin Prawirodirjo dan Sukarno di rumah tokoh SI, H. Omar Said Tjokroaminoto.
“Ketika terjadi Peristiwa SI afd. B (pemberontakan petani di Cimareme, red.), ia ikut di dalamnya sehingga membuatnya dipenjara. Di penjara pula ia berkenalan dengan teman-teman komunisnya yang senasib. Di sini ia mendapatkan political lesson tentang komunisme secara intensif. Meski demikian ia tidak segera pro-PKI. Dalam pertentangan Semaoen-Haji Agus Salim/Abdul Muis, ia dianggap pro-Tjokroaminoto. Sekeluar dari penjara, Van Hinloopen Labberton berniat mengirimnya ke Jepang untuk mengajar dan sebagai asistennya. Tetapi pemerintah Jepang menolak dengan alasan bahasa Inggris Musso kurang memadai. Mungkin sikap politik dan record penjara merintanginya,” tulis Gie.
Seperti di Peristiwa Afdeling B di Cimareme, Musso dan Alimin juga mengorganisir Pemberontakan Petani Banten pada 1926. Namun rencana pemberontakan itu terendus pemerintah kolonial pada Desember 1925, membuat Musso kembali diburu. Musso pun melarikan diri ke Singapura untuk bertemu Alimin. Keduanya berniat meminta bantuan Comintern di Moskow untuk melanjutkan revolusi melawan Belanda. Itu ditentang Tan Malaka lantaran Tan ingin memutus hubungan gerakan kiri di Indonesia dengan Moskow.
“Tan Malaka menyarankan Alimin menanggalkan niat meminta dukungan dari Comintern. Alimin berangkat dari Manila (Filipina) ke Singapura, di mana dalam hasil pertemuannya dengan Musso, mereka akan ke Moskow terlepas dari pertentangan Tan Malaka. Tan Malaka buru-buru menyusul ke Singapura untuk menghentikan mereka namun keduanya sudah lebih dulu pergi,” ungkap Brian May dalam The Indonesian Tragedy.
Baca juga: Alimin Si Jago Tua PKI
Bersama Alimin, Musso tiba di Moskow medio 1926 dan bertemu Stalin. Namun, lanjut May, Stalin pesimis dengan wacana aksi revolusi di Hindia Belanda. Alasannya, kekuatan PKI belum memadai sehingga berisiko gagal total. Selebihnya Musso menetap di Soviet, di mana ia juga bersua Semaoen.
“Sebelum kembali ke Indonesia, Musso menyusun bahan pelajaran bahasa Indonesia untuk mahasiswa Uni Soviet. Bahan-bahan ini kemudian disempurnakan Semaun yang mengajar bahasa Indonesia pada 1945-1947 di Institut Ketimuran dan Institut Hubungan Luar Negeri Moskwa. Hasil revisi Semaun inilah yang diterbitkan sebagai buku pelajaran bahasa Indonesia yang pertama untuk mahasiswa Uni Soviet,” tulis Tomi Lebang dalam Sahabat Lama, Era Baru: 60 Tahun Pasang-Surut Hubungan Indonesia-Rusia.
Musso “mudik” ke Indonesia di tengah gejolak Perang Kemerdekaan, tepatnya delapan bulan pasca-Perjanjian Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948. Akibat dari Perjanjian Renville itu Kabinet Amir Sjarifuddin II jatuh dan memicu gejolak politik di internal republik.
Menurut laporan Soemarsono bertajuk “De Madioen-affair” tahun 1949, Amir menggalang koalisi kalangan kiri dengan membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). FDR kemudian beraliansi dengan PKI Musso. Soemarsono merupakan veteran Pertempuran Surabaya (10 November-2 Desember 1945), sebagai ketua organisasi pemuda terbesar di Surabaya, Pemuda Republik Indonesia (PRI).
Baca juga: Soemarsono di Surabaya
Soemarsono kemudian erat dengan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang lantas juga berada di barisan FDR. Ia juga turut memimpin pasukan Brigade 29 yang melucuti dan menawan sekitar 300 pasukan Siliwangi pada 18 September 1948 yang ketika itu hendak menghadapi pasukan FDR gegara ketegangan antara FDR dan pasukan Siliwangi memuncak di Solo.
Hal itu menjalar ke Madiun yang kemudian dikuasai FDR. Pada hari yang sama, 18 September 1948, Musso dan Amir tiba di Madiun untuk membentuk Front Pemerintah Nasional Daerah Madiun dengan Soemarsono sebagai gubernur militernya.
Hal itu membuat Presiden Sukarno meradang sehari setelahnya. Sukarno menganggap Musso mendirikan Republik Soviet Indonesia untuk mengkudeta pemerintahan Republik Indonesia, di mana kelak lebih dikenal sebagai Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun 1948.
Lalu, bagaimana posisi Belanda?
Meski dalam suasana gencatan senjata pasca-Perjanjian Renville, Belanda diam-diam tetap menyimpan rencana Aksi Polisionil Kedua (Agresi Militer II). Namun Madiun Affair sempat mengagetkan Wakil Komisi Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia Louis Beel. Dalam tatanan internasional, Belanda yang berada di barisan Amerika Serikat tentu kontra dengan penyebarluasan komunisme Uni Soviet. Beel juga khawatir pemerintahan revolusioner di Madiun akan diakui Moskow sehingga peristiwanya tidak bersifat lokal lagi dan bisa menjalar ke perkara adu kekuatan di kancah internasional.
“Petang itu (20 September 1948) Beel menulis kepada (menteri urusan koloni, Maan) Sassen bahwa ia khawatir pengakuan terhadap republik rakyat Madiun oleh Soviet sehingga dari sudut kekuatan militer masalahnya harus dimasukkan dalam bidang internasional. Bahwa republik dianggap tidak berdaya melenyapkan Madiun dan Belanda harus bertindak jika kemudian justru republik akan bersekongkol dengan Moskow,” tulis Harry A. Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak.
Baca juga: Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik
Lantas, imbuh Poeze, diam-diam Gubernur Jenderal Hubertus van Mook menawarkan bantuan pasukan untuk upaya pemulihan ketertiban. Namun kemudian tawaran itu ditampik Perdana Menteri Mohammad Hatta. Toh kemudian tentara republik berhasil menumpasnya seiring pasukan Siliwangi sukses merebut dan menguasai kembali Madiun pada 28 September 1948. Sejumlah pemimpinan gerakan pun lari tunggang-langgang. Musso tewas setelah diburu pada 31 Oktober 1948, sementara Amir ditahan dan dieksekusi pada 18 Desember 1948. Soemarsono lebih “beruntung” karena sempat melarikan diri ke wilayah yang diduduki Belanda.
“Sumarsono bersama delapan rekannya melarikan diri dari kota (Madiun) ke utara ke wilayah Belanda. Namun setelah bersembunyi selama dua bulan, mereka ditangkap tentara Belanda di Demak tetapi ia dipenjara atas tuduhan pencurian, mengingat Sumarsono saat itu masih menggunakan identitas samaran. Ia kemudian dibebaskan pada 30 Juli 1949,” tulis Akiko Sugiyama dalam artikel “Remembering and Forgetting Indonesia’s Madiun Affair: Personal Narratives, Political Transitions, and Historiography, 1948-2008” yang termaktub dalam Jurnal Indonesia No. 92, Oktober 2011 terbitan Cornell University Press.
Pihak Belanda, lanjut Sugiyama, baru mengetahui keterlibatan Soemarsono di kemudian hari setelah ia kabur ke Jakarta walau berhasil ditangkap lagi pada 29 Oktober 1949. Dalam masa penahannya itulah Soemarsono pada 11 November 1949 menuliskan laporan “De Madioen-affair” dengan mesin tik yang disediakan penyidik Belanda.
“Laporan itu menyimpulkan Sumarsono sebagai figur subversif yang terlibat dalam Pemberontakan (PKI) Madiun dan oleh karenanya ia akan diasingkan ke Papua untuk kemudian dieksekusi. Ketika ia mendengar kabar vonisnya, ia kabur dari penjara pada 13 Desember 1949 dan bersembunyi di Pematang Siantar, Sumatera Utara selama 14 tahun. Narasi Sumarsono dalam ‘De Madioen Affaire’ yang dikeluarkan setahun setelah peristiwanya jadi dokumentasi paling ekstensif dan mendetail tentang identifikasi kekuatan militer di tengah gejolaknya,” tandas Sugiyama.
Baca juga: Ketika Soeharto Bertemu Musso
Tambahkan komentar
Belum ada komentar