Kritik Terhadap Dwifungsi ABRI
Pengesahan UU TNI menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI seperti pada masa Orde Baru. Kritik datang dari kalangan ABRI termasuk penggagasnya Jenderal A.H. Nasution.
RANCANGAN Undang-Undang (RUU) Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia disahkan oleh DPR RI pada Kamis, 20 Maret 2025. Kritik bermunculan terhadap beberapa pasal yang mengalami perubahan, terutama perubahan Pasal 47 yang mengatur tentang kementerian atau lembaga yang dapat diisi TNI.
Dalam ayat (2) pasal tersebut tertulis: “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.”
Namun, setelah direvisi kementerian atau lembaga yang dapat diisi oleh TNI menjadi 14, yakni Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, termasuk Dewan Pertahanan Nasional, Kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, Badan Intelijen Negara, Badan Siber dan/atau Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Badan Search and Rescue (SAR) Nasional, Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Badan Penanggulangan Bencana, Badan Penanggulangan Terorisme, Badan Keamanan Laut, Kejaksaan Republik Indonesia (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer), dan Mahkamah Agung.
Baca juga:
Perubahan Pasal 47 yang mengatur perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif TNI memicu kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI seperti pada masa Orde Baru. Doktrin dwifungsi yang melegitimasi fungsi sosial-politik ABRI serta peran pertahanan dan keamanannya, menjadi alat bagi pemerintahan Presiden Soeharto untuk mengkonsolidasikan kontrol militer atas kehidupan politik di Indonesia. Hasilnya adalah kehadiran rezim otoriter yang melemahkan supremasi sipil.
Damien Kingsbury menulis dalam Power Politics and the Indonesian Military, konsep dwifungsi yang diuraikan Jenderal A.H. Nasution dengan istilah “Jalan Tengah” bagi Angkatan Bersenjata pada 1950-an, dikembangkan dalam seminar-seminar di Sekolah Staf dan Komando pada awal tahun 1960-an, dengan latar belakang kebijakan ekonomi yang buruk yang mengakibatkan inflasi tinggi, kekacauan keuangan, kemiskinan yang meluas, dan ketidakstabilan politik. Dalam seminar-seminar tersebut, para perwira tinggi militer mempertimbangkan bagaimana mereka dapat menstabilkan negara tanpa secara terbuka memasuki arena politik. Ketika Soeharto dan militer mengambil alih kekuasaan pada 1966, dwifungsi menjadi kebijakan resmi. Militer menganggap dwifungsi sebagai sesuatu yang implisit dalam konstitusi.
“Pertama, mereka berargumen bahwa karena kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR, dan karena MPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongan-golongan serta anggota-anggota DPR, maka militer, sebagai warga negara, berhak untuk memberikan perwakilannya kepada MPR. Kedua, karena semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan, dan karena setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara, maka militer bebas untuk ikut serta dalam pemerintah dan bisnis bersama dengan warga negara Indonesia lainnya. Akhirnya, karena Presiden adalah Panglima Tertinggi dari semua angkatan bersenjata, ia dapat menggunakan militer dalam peran apa pun yang dipilihnya,” tulis Kingsbury.
Dengan dirasionalisasikannya dwifungsi secara konstitusional, langkah selanjutnya adalah mengakui secara formal praktik tersebut. Dimulai pada 1966, pemerintah memberlakukan serangkaian undang-undang untuk mendefinisikan dan meningkatkan peran militer dalam pemerintahan dan urusan nasional. Namun, baru pada 1982 dwifungsi menjadi kebijakan resmi ketika “Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia” menjadi undang-undang. Penempatan perwira ke sektor non-militer dikenal dengan istilah “kekaryaan”.
Baca juga:
Menurut Jun Honna dalam Military Politics and Democratization in Indonesia, pengiriman perwira ke sektor non-militer yang disebut kekaryaan dijustifikasi sebagai langkah yang diperlukan untuk menjamin kelancaran pelaksanaan proyek-proyek pembangunan pemerintah dan untuk mengatasi dugaan ketidakmampuan sipil dalam menangani tugas-tugas pemerintahan. Namun, lambat laun masyarakat sipil segera melihat bahwa realitas dwifungsi tidak lebih dari dominasi politik, mengingat pengangkatan personel ABRI ke banyak jabatan penting non-militer di tingkat nasional dan regional, meskipun ada pemulihan formal politik kepartaian setelah pemilu 1971. Ini adalah awal dari lahirnya kritik kekaryaan.
“Pada 1977, lebih dari 20.000 anggota ABRI ditempatkan di sektor sipil, menduduki 53 persen jabatan tertinggi di pemerintahan pusat dan 76 persen dari semua jabatan gubernur. Meskipun pada 1967 DPR telah menegaskan komitmen ABRI dalam kehidupan politik sehari-hari, hal ini tidak melegitimasi dominasi ABRI di lembaga eksekutif. Perkembangan ini menggambarkan proses di mana ABRI secara bertahap menunjukkan arah keterlibatan politiknya yang sebenarnya. Begitu hal ini mulai terlihat, kritik tak terelakkan muncul, baik dari kalangan ABRI maupun masyarakat,” tulis Honna.
Kritik atas pelaksanaan dwifungsi ABRI muncul dari Jenderal A.H. Nasution. Salim Said menulis dalam Ini Bukan Kudeta: Reformasi Militer Indonesia, Mesir, Thailand, dan Korea Selatan, sejak periode awal Orde Baru, Nasution tampil –secara berangsur-angsur– sebagai pengkritik utama pelaksanaan dwifungsi. Tingkah laku politik Soeharto dan dinamika politik masa Orde Baru telah secara berangsur-angsur menjadikan tentara sebagai kekuatan politik dominan yang nyaris sempurna dikendalikan Soeharto. Dinamika itu bukan saja berbeda, bahkan bertentangan dengan apa “yang ada di benak Nasution” ketika jauh sebelumnya sang jenderal menggagas peran politik militer tersebut. Dinamika tersebut juga berbeda jauh dari janji Orde Baru yang dirumuskan dan diniatkan para perwira pada Seminar Angkatan Darat Kedua di Bandung tahun 1966.
“Kritik dan kemarahan Nasution terhadap militer hampir sepanjang berkuasanya Orde Baru haruslah dilihat sebagai bukti kegagalan almarhum Jenderal Besar itu membayangkan dan mempersiapkan sejak awal doktrin ciptaannya mengantisipasi dinamika masyarakat dan perkembangan politik Indonesia dalam perjalanan yang harus dilalui setiap doktrin kekuasaan. [...] Ketika Orde Lama runtuh, harus diakui, Indonesia memang tidak punya pilihan lain kecuali menerima tentara sebagai kekuatan politik dominan. Dan Soeharto sebagai penguasa tertingginya di lapangan waktu itu terbukti kemudian mampu dengan terampil –bertumpu pada posisi tentara sebagai kekuatan politik legal– memanfaatkan tentara untuk berkuasa selama tiga dasawarsa,” tulis Salim Said.
Baca juga:
Sementara itu, menurut Abdoel Fattah dalam Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer, 1945-2004, kritik yang dilontarkan Nasution terhadap persetujuan Soeharto dengan partai untuk mengangkat anggota ABRI dalam DPR dan MPR tanpa bertanding melalui pemilihan umum, yang dipraktikkan secara terus menerus, dianggap sebagai upaya menciptakan stabilitas dengan cara menyusun anggota MPR dan DPR yang tidak demokratis. Dalam tulisannya di Prisma (12 Desember 1980), Nasution menyatakan bahwa unsur peralihan dengan menempatkan TNI di fungsi-fungsi sipil atau politik adalah sementara saja. Begitu juga pengangkatan wakil-wakil ABRI/Rakyat dalam lembaga-lembaga legislatif juga sementara, karena anggota DPR harus melalui pemilihan umum sesuai dengan UUD 1945. Jenderal Besar yang dijuluki Bapak Angkatan Darat itu khawatir jika pemurnian tidak dilakukan setelah keadaan darurat diakhiri, ketegangan antara ABRI dan golongan-golongan sosial lainnya dengan masyarakat umum bukan tidak mungkin terjadi.
Pandangan kritis terhadap dwifungsi ABRI juga datang dari Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI AD yang dibentuk oleh Jenderal TNI (Purn.) Raden Widodo –kala itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD)– pada April 1978. David Jenkins mencatat dalam Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics, 1975-1983, pada 20 Mei 1978, salah satu presidium Fosko, Letnan Jenderal TNI G.P.H. Djatikusumo mengirimkan “Kertas Kerja Kedua” setebal tiga belas halaman kepada Widodo yang berjudul “TNI dan Dwi Fungsi.”
Dokumen ini memuat tiga poin utama. Pertama, meskipun dwifungsi pada prinsipnya secara konseptual baik selama periode tertentu dalam perjuangan nasional, dwifungsi perlu dikaji dan ditinjau kembali. Realisasinya memerlukan koreksi segera, yang berarti harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Kedua, kehidupan politik di Indonesia harus ditertibkan, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi yang mendasar, khususnya kesempatan yang sama bagi semua kelompok untuk mengejar ambisi politik mereka.
Ketiga, TNI harus dibebaskan dari keterlibatannya dalam partai-partai dan kelompok-kelompok politik. TNI harus kembali ke posisinya semula, sejajar dengan kelompok-kelompok pejuang nasional lainnya dalam masyarakat, dan bukan bagian dari salah satu kelompok tersebut. Selain itu, diharapkan, karena nilai-nilai moralnya, TNI akan tetap berada di atas semua golongan.
Kertas kerja Fosko menyimpulkan tiga saran. Pertama, para penulis berharap dalam satu atau dua tahun ke depan, paling lambat akhir tahun 1979, pelaksanaan prinsip dwifungsi akan dikoreksi sehingga kembali sejauh mungkin ke asasnya. Hal ini akan membuka peluang bagi dwifungsi untuk terus menjadi fungsi laten TNI, yang dilaksanakan hanya jika diperlukan.
Baca juga:
Kedua, para penulis mengatakan bahwa kepemimpinan saat ini seharusnya tidak memaksakan garis-garis besar kebijakan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya kepada generasi baru. Sebaliknya, diharapkan adanya dialog dua arah yang terbuka dengan generasi pemimpin masa depan untuk mencapai pemahaman timbal balik yang dapat menjembatani kesenjangan generasi dan mengurangi ketegangan antargenerasi. Ketiga, kehidupan politik dalam masyarakat harus diarahkan dengan cara yang benar sehingga partai-partai politik tidak dipaksa untuk berfungsi secara konformis sesuai keinginan mereka yang berkuasa.
Menurut Honna, ketika Orde Baru masih dalam proses membangun sistem politik yang didasarkan pada kesesuaian ideologis dengan Pancasila, kritik terhadap rezim –termasuk terhadap dwifungsi– dengan mudah diidentifikasi sebagai anti-Pancasila atau subversi ideologis yang harus dikalahkan dengan operasi keamanan. Dalam situasi seperti ini, setiap gerakan sosial yang mengkiritik dwifungsi dianggap tabu dan tidak boleh ada. Namun, ini tidak termasuk kritik dari para perwira generasi 1945 yang kecewa seperti Ali Sadikin, A.H. Nasution, dan Soemitro, yang menyatakan bahwa dwifungsi yang diciptakan oleh generasi mereka telah “disalahgunakan” oleh para perwira yang ada. Terlepas dari itu, ruang politik yang sangat terbatas bagi kritik terhadap dwifungsi, secara bertahap meningkat seiring dengan semakin terbatasnya supremasi sipil.
“Kritik publik bertujuan untuk mengaktifkan peran DPR sebagai alat kontrol demokratis terhadap kekuasaan pemerintah… Kritik dwifungsi secara bertahap mulai mendapatkan otonomi yang lebih besar, dan ABRI semakin sulit untuk membendung debat kritis yang semakin meningkat dan tuntutan reformasi dwifungsi. Terdapat dua peristiwa yang dianggap berperan besar dalam membantu mendorong otonomi politik kritik dwifungsi di bawah pemerintahan otoriter Orde Baru. Salah satunya adalah munculnya generasi perwira baru dan yang kedua adalah subordinasi total ABRI terhadap kepentingan pribadi Soeharto selama beberapa tahun terakhir masa pemerintahannya,” tulis Honna.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar