Di Selabintana Masa Depan Hindia dan Indonesia Ditentukan
Di dusun sejuk kaki Gunung Gede ini masa depan Hindia ditentukan. Membuka jalan bagi kemerdekaan Indonesia.
HAWA dingin tak menghalangi orang-orang untuk beraktivitas. Minggu pagi, parkiran Selabintana Conference Resort (SCR) sudah ramai baik oleh para penginap maupun penduduk sekitar yang ingin liburan atau mengais rezeki. Di bawah pohon beringin tua raksasa, seorang nenek dengan sabar menunggui dagangannya dan melayani orang-orang yang bertanya.
Pembeli bunga-bunganya datang silih berganti. “Murah-murah banget. Itu bunga yang kecil daunnya banyak di Pamulang gocapan, di sini tadi cuma sepuluh ribu,” ujar seorang ibu-pembeli asal Jakarta kepada Historia.
Selabintana, sekira tujuh kilometer utara Sukabumi kota, sejak lama dikenal sebagai penghasil bunga dan sayur-sayuran. “Di lembah gunung itu terdapat kebun bunga, yang terkenal dengan bunga edelweisnya. ‘Musim Bunga di Selabintana’ merupakan salah satu judul dari pentas sandiwara keliling, Tjahaja Timoer, pada tahun empat puluhan,” tulis veteran Perang Kemerdekaan Mien Adi Hatmodjo dalam memoarnya yang dimuat di buku Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45, “Perjuangan Rakyat Sukabumi”.
Para pembesar dan orang kaya Hindia Belanda menjadikan Selabintana tempat favorit untuk mencari pemandangan indah, merasakan kesejukan sekaligus udara bersih. Mereka biasa menginap di hotel terbaik, Hotel Victoria atau Hotel Selabintana.
Di Hotel Selabintana (kini Selabintana Conference Resort) itu pula rapat penting antara pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Jepang digelar tahun 1940. Rapat yang membahas hubungan ekonomi kedua negara itu terkait erat dengan berakhirnya Perjanjian Perdagangan Jepang-Amerika Serikat (AS) pada 26 Januari 1940. Berakhirnya perjanjian itu diikuti dengan pengurangan drastis ekspor AS ke Jepang dan kekhawatiran Jepang akan diembargo AS.
Jepang mesti mencari negara lain untuk menjadi pemasok sumberdaya alam, terutama minyak, agar industrinya tetap berjalan. Hal itu ditindaklanjuti dengan mengontak Belanda, penguasa Hindia Belanda, untuk mendapatkan jaminan pasokan dan konsesi ekonomi lebih jauh.
Hindia Belanda menjadi negeri terpenting yang dilirik Jepang karena banyak bahan mentah untuk industri Jepang, termasuk minyak, berasal dari Hindia. Negeri kepulauan kaya itu juga amat strategis letaknya. Yang tak kalah penting, Jepang mesti memenuhi janjinya memasok timah, karet, minyak jarak, dan rempah-rempah Hindia kepada Jerman setelah menandatangani kerjasama triparti dengan Jerman dan Italia.
Sambil mengontak Den Haag, Tokyo membuka pembicaraan langsung dengan Batavia via konsul jenderalnya. Kepada pemerintah Hindia Belanda, Jepang mengatakan hubungan dengan Belanda tak ada kepastian. Maka ketika pendudukan Belanda oleh Jerman dimulai pada Mei 1940, Jepang memanfaatkan hubungan langsung dengan Hindia. Konjen di Batavia langsung menuntut ekspor 13 komoditas penting Hindia ke Jepang tetap berjalan.
Ketika tuntutannya dikabulkan, Jepang menuntut lebih jauh agar diberi kebebasan lebih memasuki perekonomian di Hindia dan menuntut pemerintah Hindia mengadakan sebuah konferensi untuk membahasnya. Setelah beberapakali diolak, konferensi dikabulkan Hindia meski tuntutan agar delegasi Hindia diwakili langsung oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh tetap ditolak. Jepang langsung menunjuk Jenderal Kuniaki Koiso memimpin misi ke Batavia. Namun, penghinaan publik Koiso kepada Hindia membuat Tokyo mengganti Koiso dengan Menteri Perdagangan dan Industri Ichizo Kobayashi sehingga delegasi yang ke Batavia dikenal dengan Misi Kobayashi.
Misi Kobayashi, berisi 24 teknisi, termasuk perwira dari tiga matra militer, tiba di Batavia pada 12 September 1940 menggunakan Kapal Nissho Maru. Disambut Menteri Ekonomi Hindia HJ van Mook dengan upacara meriah di Batavia, mereka berangkat ke tempat konferensi, Selabintana pada 16 September. “Delegasi Jepang dan Belanda tiba bersama-sama di Selabintanah dekat Sukabumi,” kenang Van Mook dalam The Netherlands, Indies, and Japan: Their Relations 1940-1941.
“Delagasi Jepang merasa seperti di rumah sendiri. Keindahan wilayah ini mengingatkan para diplomat akan dataran tinggi menuju Gunung Fuji di Jepang,” tulis Robert Stinnett dalam Day of Deceit: The Truth About FDR and Pearl Harbor.
Jepang tak langsung masuk pada inti dalam perundingan, melainkan lebih dulu masuk dengan penjelasan tentang proyek Lingkaran Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Jepang ingin Hindia, yang sudah terputus dari pemerintahan pengasingan Belanda di London, masuk ke dalamnya dan bekerjasama penuh.
Setelah tak mendapat tanggapan positif dari Hindia, Jepang baru masuk ke inti pertemuan dengan meminta Hindia meningkatkan pasokan minyaknya ke Jepang dari yang biasanya 600 ribu ton menjadi 3.150.000 ton per tahun. Kuota sebesar itu, pinta Jepang, mesti dijamin selama lima tahun. Jepang juga meminta Hindia lebih melonggarkan kebijakan ekonominya terhadap Jepang. Selain ingin mendapatkan konsesi, Jepang ingin mendapat informasi sumur-sumur minyak Hindia lewat pembukaan akses riset para ilmuwannya.
Van Mook tak bisa mengabulkan banyak tuntutan Jepang itu. “Kunjungan ke sumur dan kilang minyak hanya bisa diberikan oleh masing-masing pemilik perusahaan. Pemerintah tidak memiliki kekuasaan untuk memberikan hak seperti itu kepada pihak ketiga,” ujar Van Mook seperti ditulis M. Abdul Aziz dalam Japan’s Colonialism and Indonesia.
Keteguhan masing-masing pihak pada pendiriannya membuat perundingan macet. Kedua delegasi kembali bertemu pada 16 Oktober. Perundingan tetap alot, Kobayashi dan Van Mook tetap pada pendiriannya. Jepang menuduh pemerintah Hindia boneka Amerika yang bertindak selalu dengan arahan Washington. “Menteri HJ van Mook menegur Kobayashi dan melabeli permintaan minyak itu tidak masuk akal. Selain itu, katanya, peran pemerintah Belanda hanya pengawas. Perusahaan-perusahaan minyak Belanda yang mengendalikan penuh produksi dan penjualan produk-produk minyak, bukan pemerintah,” tulis Stinnett.
Jepang terpaksa menyetujui komunike bersama yang lebih banyak ditentukan Hindia. “Jepang merasa perlu menghilangkan kecurigaan Hindia tentang niatnya yang sebenarnya, menunda menggunakan senjata atas Hindia, dan yang terpenting memastikan aliran bahan mentah terus berjalan dari Hindia tidak hanya untuk mempercepat persiapan perangnya tapi juga untuk menyediakan Jerman, partner dalam Pakta Tripartit, dengan material penting untuk kebutuhan Perang Eropa,” tulis Azis.
Selang 16 bulan kemudian, Jepang mencaplok Hindia dalam Perang Pasifik. Kekalahan Jepang dalam perang itu membuka gerbang kemerdekaan Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar