Di Balik Rapat Raksasa di Surabaya
Rapat Raksasa juga digelar di Surabaya. Sayang, tanggal peristiwanya simpang siur.
BULAN September 1945 menjadi kurun waktu meledaknya emosi rakyat Indonesia terhadap keadaan di mana serdadu Jepang masih petantang-petenteng meski sudah kalah perang. Ungkapan kekecewaan sekaligus euforia kemerdekaan mereka salurkan satunya dengan rapat raksasa.
Sayangnya, porsi terbesar penulisan sejarah tentang rapat raksasa didominasi Rapat Raksasa di Lapangan Ikada (kini Lapangan Monas), Jakarta pada 19 September 1945. Langka masyarakat mengenal rapat raksasa di kota-kota lain, termasuk yang terjadi di Surabaya.
“Selain di Jakarta, ada dua rapat raksasa (serupa Ikada). Satu di Tambaksari. Satu lagi di Lapangan Pasar Turi,” ujar Ady Setiawan, peneliti sejarah dari Roodebrug Soerabaia, kepada Historia.
Baca juga: Rekonstruksi Rapat Raksasa Ikada, ajang unjuk kekuatan pertama Republik Indonesia
Seperti di Jakarta, massa yang hadir di rapat raksasa Surabaya juga sama banyaknya. Frank Palmos dalam Surabaya 1945: Sacred Territory, The First Days of the Indonesian Republic menyebut, lebih dari 100 ribu rakyat datang untuk ikut show of force terhadap kedudukan Jepang yang diperintah mempertahankan status quo oleh Sekutu.
“Para tokoh kepemimpinan Surabaya dan masyarakat tak mengindahkan larangan Jepang terhadap rapat-rapat semacam ini. Rapat Tambaksari maupun Pasar Turi dihadiri massa yang membludak, sekitar 100 ribu orang. Dua rapat raksasa ini rupanya mampu menggugah semangat masyarakat sehingga lebih banyak perampasan senjata terjadi (terhadap tangsi-tangsi Jepang) setelah itu,” sebut peneliti Indonesia asal Australia itu.
Kendati esensi rapatnya serupa, menggelorakan semangat kemerdekaan, tetapi dua rapat raksasa di Surabaya memunculkan banyak versi terkait tanggal kejadian. Terutama, rapat raksasa di Tambaksari.
Versi Pertama
Palmos yang “menjodohkan” keterangan memoar Soehario Padmodiwirio alias Hario Kecik dengan Ruslan Abdulgani, menarik kesimpulan bahwa yang terjadi lebih dulu adalah Rapat Raksasa di Pasar Turi, yakni 17 September 1945. Rapat yang lebih akbar terjadi lima hari berselang, 23 September 1945, di Tambaksari.
Baca juga: Meluruskan peristiwa Insiden Bendera di Surabaya
“Memang ada ketidaksepakatan tentang tanggal pasti kedua rapat tersebut. Tapi disimpulkan bahwa versi Soehario dan Abdulgani yang menyebutkan 17 September untuk Rapat Pasar Turi lebih kecil dibanding 23 September di Tambaksari adalah yang paling tepat. Beberapa artikel lain menyebut rapat-rapat ini diadakan 11 dan 17 September. Yang disepakati semua pihak adalah ada jeda 6 hari antara kedua rapat tersebut,” ungkap Palmos.
Versi Kedua
Berbeda dari Palmos, pemimpin Pemuda Republik Indonesia (PRI) Soemarsono, dalam memoarnya yang berjudul Pemimpin Perlawanan Rakyat Surabaya 1945 yang Dilupakan, memaparkan terjadinya Rapat Raksasa di Pasar Turi pada 17 September dan Rapat Raksasa di Tambaksari pada 21 September 1945.
Rapat Raksasa di Pasar Turi dihadiri massa yang lebih sedikit dengan menghadirkan komandan Polisi Istimewa M. Jasin berpidato. Sedangkan rapat di Tambaksari jauh lebih besar.
“Kaum buruh, pemuda, pelajar, tukang becak, kaum perempuan, seluruh rakyat, di mana-mana menyambut ajakan menghadiri Rapat Samudera di Tambaksari jam 4 sore 21 September 1945 dengan pekik merdeka,” kenang Soemarsono.
Soemarsono bahkan menyebut jumlah massa yang hadir mencapai 500 ribu orang. Rapat itu menghadirkan antara lain Ruslan Widjajasastra (Angkatan Muda Minyak), Kapten Sapia (eks perwira pemberontak Kapal Zeven Provincien pada 1933), serta Soemarsono sendiri yang ikut berpidato.
Baca juga: Peran Soemarsono dalam Pertempuran Surabaya
“Siapa saja yang berani berani menghalangi kemerdekaan Republik Indonesia akan kita pukul hancur lebur!” seru Soemarsono dalam petikan pidatonya pada massa. Rapat itu diakhiri arak-arakan massa arek-arek Suroboyo keliling kota untuk unjuk kekuatan terhadap serdadu Jepang.
Keterangan Soemarsono sejalan dengan keterangan mantan pemimpin Pemuda Putri Republik Indonesia (PPRI) Lukitaningsih, yang juga ikut berpidato di Tambaksari. Rapat Tambaksari, kata Luki, merupakan klimaks dari aksi pengibaran Sang Saka Merah Putih di rumah-rumah dan kantor-kantor di seluruh pelosok Surabaya.
“Sebagai klimaks dari aksi tersebut, pada tanggal 21 September 1945 diadakan Rapat Umum untuk pertama kalinya di Tambaksari, Surabaya,” ujar Luki dalam “Saham Revolusi”, dimuat dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45.
Sama seperti Soemarsono, Luki ikut ditangkap Kempetai usai rapat dan disekap di markasnya yang kini lahannya menjadi Tugu Pahlawan. Mereka akhirnya dibebaskan tengah malam setelah Gubernur Suryo mengancam.
Versi Ketiga
Ady Setiawan mengakui banyaknya kesimpangsiuran terkait tanggal dua rapat tersebut. Namun dalam bukunya, Surabaya: Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu, Ady mencoba menengok data suratkabar-suratkabar lawas yang ditemukannya, seperti Soeara Asia dan Soeara Merdeka.
“Besok, hari Selasa tg 11/9 moelai poekoel 6 sore di Tambaksari akan diadakan rapat besar oemoem. Sebeloem rapat besar dan masing-masing Siku ke lapangan Tambaksari dan tibanja pawai di lapangan terseboet, diharap sebeloem poekoel 6 sore. Koendjoengilah! Boelatkan kemaoean rakjat dalam rapat itoe!,” kutip Ady dari kolom di Soeara Asia 10 September 1945.
Pukul enam sore yang dimaksud, menurut Jean Geelman Taylor dalam Indonesia: Peoples and Histories, adalah pukul empat sore karena aturan waktu di Indonesia saat itu masih mengacu pada sistem penanggalan Jepang. Sementara istilah Siku adalah penyebutan lingkungan desa dalam bahasa Jepang.
Namun, rapat umum itu batal digelar dan diklarifikasi pula oleh suratkabar yang sama dua hari berikutnya, di mana rapat raksasanya diundur jadi 12 September 1945. Namun, lagi-lagi rapat itu juga tak terealisasi dan tak ada penjelasan lebih lanjut dari Soeara Asia.
“Tapi ada laporan lain dari Soeara Merdeka yang memuat peristiwa Rapat Raksasa Tambaksari bersamaan dengan laporan persitiwa Rapat Raksasa Ikada, tertanggal 20 September 1945,” imbuh Ady.
Baca juga: Tokoh penting dalam Rapat Raksasa Ikada yang terlupakan
Dalam berita di koran lawas asal Bandung tersebut dilaporkan, Rapat Raksasa Tambaksari terjadi pada 13 September 1945. Tokoh-tokoh yang berpidato antara lain Residen Surabaya Soedirman, Doel Arnowo dan Bambang Soeparto dari Komite Nasional Indonesia (KNI) Surabaya.
Adapun Rapat Raksasa Lapangan Pasar Turi digelar 17 September 1945. Pembicaranya M. Jasin, yang hanya berpidato pendek.
“Soal perbedaan tanggal ini, memoar itu sumber lemah karena berdasarkan ingatan. Beda sama arsip koran. Satu contoh ekstrem adalah soal adanya dua prasasti di dalam satu gedung Monumen Pers tentang pendirian kantor berita Antara di Surabaya,” sambung Ady.
Satu prasastinya menyebutkan berdirinya kantor pers itu 1 September 1945, satu prasasti lainnya menyebut bulan Agustus 1945 tanpa tanggalnya. Padahal, prasastinya bersebelahan dan salah satunya saat diesmikan, 18 Desember 1986, dihadiri para pelaku sejarah.
“Aneh, kenapa bisa salah. Mungkin karena monumennya dibuat puluhan tahun setelah perang kemerdekaan. Ditambah, keterbatasan ingatan dan roda revolusi di Surabaya yang bergulir sangat cepat dari hari ke hari,” tandasnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar