Delegasi Srilanka Curi Perhatian dalam Konferensi Islam Asia Afrika
Lewat pendekatan budaya, Abdul Rasjid, delegasi Srilanka dalam KIAA melancarkan diplomasinya yang membuat para delegasi lainnya berderai tawa. Dia juga sosok di balik gelar Pahlawan Islam dan Kemerdekaan yang melekat pada Bung Karno.
DI Gedung Merdeka, Bandung, para peserta Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) I sejenak terperanjat begitu delegasi dari Srilanka menyampaikan pandangan umumnya.
“Kami bukan tukang culik,” kata Abdul Rasjid, ketua delegasi Srilanka, dalam sidang pleno pertama KIAA pada 8 Maret 1965.
“Sampai sekarang masih banyak orang yang curiga kepada Srilanka,” sambungnya.
Sejurus kemudian Rasjid berkisah. Menurut wiracerita sastra Hindu Ramayana, Prabu Rahwana, sang penguasa Kerajaan Alengka, telah menculik Dewi Sinta. Istri dari Sri Rama itu dibawa kabur Rahwana ke Alenka. Kerajaan Alenka adalah sebuah kepulauan di sebelah tenggara India yang kiwari dikenal sebagai negeri Srilanka.
“Maka itu, sering orang menaruh perasaan curiga kepada orang-orang Srilanka seperti saya ini,” ujar Abdul Rasjid seperti diberitakan dalam Duta Masjarakat, 9 Maret 1965. “Tapi, kami yang datang di sini bukanlah Prabu Rahwana, karena itu tidak usahlah khawatir kami akan membawa kabur Dewi Sinta dari Bandung.”
Baca juga: Pencapaian Awal Kebudayaan Nusantara
Gelak tawa dari hadirin terdengar riuh membahana menyambut introduksi yang disampaikan delegasi Srilanka itu. Dalam sidang pleno itu, menurut Pudjiastuti Sudewo dalam skripsinya di Universitas Indonesia berjudul “Konferensi Islam Asia Afrika I” (1989), beragendakan pemilihan pimpinan konfrensi dan dilanjut dengan mendengarkan pandangan umum dari sejumlah negara delegasi. Begitu pula dengan Srilanka.
Dalam gagasannya, Abdul Rasjid mengemukakan sejumlah kritik. Penyebutan Konferensi Islam Asia Afrika menurutnya kurang tepat. Lebih baik dinamakan Konfrensi Islam Sedunia, sebab umat Islam terbesar di dunia berada di benua Asia dan Afrika. Lambang dari KIAA pun tak luput dari sasaran protes Abdul Rasjid. Seperti diketahui, lambang KIAA diadaptasikan dari bola dunia dengan sorotan utama pada benua Asia dan Afrika saja. Benua lain seperti Amerika, Eropa, dan Australia tidak termasuk di dalamnya. Namun, Rasjid memperhatikan adanya deteil kecil yang terabaikan sehubungan dengan keberadaaan negaranya.
“Saya atas nama delegasi Srilanka memprotes pimpinan sidang, berhubung di dalam lambang Konferensi Islam Asia Afrika I yang berbentuk bola dunia itu, tidak terdapat pulau Srilanka,” bebernya.
Kegundahan Abdul Rasjid ini sebenarnya bisa dimaklumi. Bila ditilik pada lambang KIAA, posisi Srilanka berada pada titik pusat atau ekuator sehingga semestinya cukup mudah untuk menemukannya. Panitia KIAA setelah mendapat protes dari delegasi Srilanka mengenai lambang konferensi, menurut Pudjiastuti, kemudian berjanji untuk menambah bulatan kecil di dalam lambang konferensi tersebut.
“Keesokan harinya, dengan menambah sebuah bulatan kecil, semuanya menjadi beres,” lansir Duta Masjarakat, 9 Maret 1965.
Ketika KIAA dibuka oleh Presiden Sukarno pada 6 Maret 1965, Abdul Rasjid salah satu delegasi yang terpukau mendengar pidato presiden RI itu. Dalam amanatnya, Bung Karno mengatakan perhelatan KIAA merupakan kebangkitan umat Islam sedunia sekaligus penanda bunyi bergaungnya lonceng kematian imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme. Sukarno juga memperkenalkan revolusi Indonesia sebagai revolusi yang lebih besar dari revolusi manapun di dunia. Dibanding revolusi Amerika yang hanya menyangkut revolusi nasional dan politik, serta revolusi Rusia yang cuma revolusi sosial, maka revolusi Indonesia meliputi revolusi nasional, revolusi politik, revolusi ekonomi, revolusi sosial, dan revolusi kultural-religius.
Baca juga: Bung Karno Pahlawan Islam
Delegasi Srilanka, menurut Duta Masjarakat, 8 Maret 1965, sesaat sesudah Sukarno mengakhiri amanatnya, segera berdiri dan memberi tepuk tangan bersemangat dan teriakan yang tidak dapat ditangkap oleh telinga wartawan Indonesia. Begitu juga delegasi Togo. Pada hari berikutnya, Abdul Rasjid mengusulkan kepada pimpinan konferensi agar Presiden Sukarno diberi gelar kehormatan atas jasanya terhadap perkembangan Islam dan membela bangsa-bangsa terjajah. Usulan itu diterima secara aklamasi. Maka KIAA secara resmi menganugrahi Bung Karno dengan gelar kehormatan: “Pahlawan Islam dan Kemerdekaan” (Champion of Islam and Freedom).
Abdul Rasjid tampaknya menaruh simpati terhadap Indonesia. Ketika ditanya pendapatnya perihal keluarnya Indonesia dari PBB, dia bilang telah mempelajari secara seksama latar belakang mengapa Indonesia mengambil sikap demikian. Menurutnya, PBB telah melakukan kesalahan dengan menerima Malaysia dalam keanggotan Dewan Keamanan (bergilir) PBB. PBB yang seharusnya diharapkan bisa menjaga hukum, ketertiban, dan keadilan untuk kepentingan seluruh negeri, ternyata tidak mampu menjalankan tugas yang diharapkan orang kepadanya.
“PBB tidak dapat memenuhi tugasnya,” kata Rasjid dikutip Duta Masjarakat, 11 Maret 1965.
Dalam kaitan dengan persoalan Malaysia, Abdul Rasjid menyayangkan umat Islam di sana telah memisahkan diri dari temannya di dunia Islam, teristimewa dengan tetangganya Indonesia. Dari pernyataan Abdul Rasjid itu, KIAA turut mempengaruhi persaingan politik antara Indonesia dengan Malaysia yang menguntungkan pihak Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar