Cerita Penderita Kusta Jadi Mata-mata di Perang Dunia II (Bagian II-Selesai)
Josefina “Joey” Guerrero dianugerahi penghargaan tertinggi bagi warga sipil atas jasanya untuk Amerika Serikat di masa Perang Dunia II. Mantan mata-mata itu memilih hidup sunyi dan melupakan masa lalunya.
PADA suatu malam di bulan Desember 1944, Joey sedang berbaring di tempat tidur ketika tiba-tiba terdengar suara kendaraan yang semakin dekat. Wanita yang terlahir dengan nama Josefina Veluya –lalu dikenal sebagai Josefina Guerrero setelah menikah dengan mahasiswa kedokteran bernama Renato Maria Guerrero– di Filipina pada 5 Agustus 1917 itu terkejut saat mengintip dari jendela, sebuah mobil perwira Jepang berhenti di depan rumahnya di Ermita. Jantungnya berdegup kencang. Sejak beberapa waktu lalu ia menjadi buruan Kempeitai yang terkenal sangat kejam karena dicurigai sebagai mata-mata yang membantu gerilyawan Filipina dan militer Amerika Serikat.
Rekan-rekan gerilyawan meminta Joey untuk menghilang selama beberapa waktu. Namun, ketika pencarian terhadapanya mulai mengendur, ia kembali beraksi sebagai mata-mata. Tak lama setelah mengintip dari jendela, suara langkah kaki diikuti ketukan keras di pintu menyadarkan Joey dari kepanikan. Ia bertanya-tanya adakah yang mengadukannya ke pihak Jepang dan membocorkan informasi tempat tinggalnya kepada mereka. Ketika ketukan semakin keras, ia pun membuka pintu.
Begitu pintu dibuka, dua orang pria menerobos masuk ke dalam rumah Joey. Ternyata, kedua tamu tersebut bukan orang Jepang, melainkan seorang gerilyawan Filipina dan perwira Amerika. Mereka meminta izin untuk menyimpan “ban cadangan”, yang sebenarnya adalah bahan peledak rakitan, di rumahnya. Bahan peledak itu kemudian digunakan gerilyawan Filipina untuk menyerang titik-titik pertahanan dan fasilitas milik Jepang.
“Joey sesungguhnya masih memiliki kekhawatiran bahwa Kempeitai berhasil melacak keberadaannya dan mengetahui kegunaan ‘ban cadangan’ yang tersimpan di rumahnya. Ia merasa seperti sedang diikuti, tetapi tidak pernah dihentikan untuk diinterogasi oleh pihak Jepang,” tulis Ben Montgomery dalam biografi Joey, The Leper Spy: The Story of an Unlikely Hero of World War II.
Menjelang akhir Januari 1945, Joey kembali dipanggil atasannya. Ia memiliki satu misi lagi, yakni mengantarkan peta bolagacor88 login kepada militer Amerika yang akan menyerang Manila. Peta itu digambar secara kasar tetapi cukup eksplisit, di mana beberapa lokasi dan salah satunya tanah lapang yang luas telah ditanami ranjau darat oleh Jepang untuk menjebak tentara Amerika. Sebelumnya, gerilyawan Filipina juga telah memberikan peta kepada pasukan Amerika yang bergerak maju ke kota dari utara. Peta itu berisi informasi lokasi ranjau dan jebakan tank yang disebar di sisi utara ibu kota, tetapi tidak termasuk ranjau-ranjau baru, yang terkubur di antara Divisi Infanteri Tiga Puluh Tujuh dan Santo Tomas, tempat tahanan perang mulai berjatuhan karena kelaparan.
Joey menempelkan peta itu di antara tulang belikatnya, di atas bekas luka akibat kusta yang telah menyebar ke leher, wajah, dan lengan. Ia mengenakan blus dengan warna yang tidak mencolok dan membawa sebuah tas. Sebelum memulai perjalanan berbahaya, Joey diberikan satu nama yang harus ditemui ketika mencapai markas pasukan Amerika di Calumpit, tiga puluh lima mil sebelah utara Manila.
“Ia berjalan sejauh 56 mil, dengan susah payah Joey melewati pos-pos pemeriksaan Jepang. Beberapa kali ia dihentikan, tetapi dibiarkan pergi setelah penggeledahan yang serampangan. Akhirnya, ia berhasil mengirimkan peta tersebut dengan selamat,” tulis majalah TIME dalam artikel “Heroes: Joey” yang dipublikasikan pada 19 Juli 1948.
Keberanian Joey tak hanya mencegah kematian para serdadu Amerika oleh ranjau darat yang ditanam Jepang, tetapi juga membantu melancarkan serangan pasukan Amerika ke Manila yang dikuasai Jepang. Kendati mendapat perlawanan dari tentara Jepang, militer Amerika dan gerilyawan Filipina berhasil menekan Jepang dan mengevakuasi tawanan perang di Santo Tomas dan beberapa kamp lainnya. Di tengah proses evakuasi, Joey berkeliaran tanpa takut untuk menyelamatkan orang-orang yang terluka. Ketika pertempuran berlanjut, Joey membalut luka-luka para tentara dan warga sipil serta menggendong anak-anak yang ketakutan ke tempat aman. Berkat keberanian dan pengabdiannya yang tak kenal lelah dan takut itulah Joey dianugerahi Medal of Freedom with Silver Palm oleh Departemen Perang Amerika Serikat.
“Itu merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan kepada warga sipil atas jasa-jasa yang diberikan kepada Amerika pada masa perang. Kardinal Spellman memujinya sebagai pahlawan dan mempersembahkan medali kepada Joey sebagai penghargaan atas ‘ketabahan dan kepeduliannya terhadap sesama yang menderita’,” tulis Montgomery.
Apa yang dilakukan Joey untuk para tahanan perang dan serdadu Amerika membuat mereka mengajukan petisi kepada pemerintah Amerika agar Joey mendapatkan perawatan memadai di rumah sakit kusta di Carville, Louisiana. Para prajurit yang tersentuh dan ingin membalas jasa Joey mengiriminya pakaian, obat-obatan, dan uang untuk membantunya dan para pasien kusta lainnya di Filipina.
Sejalan dengan masifnya pemberitaan terkait jasa Joey bagi Amerika, Jaksa Agung Tom Clark memberi izin Joey memasuki Amerika. Sebelumnya, ia tidak bisa mendapatkan visa karena undang-undang imigrasi Amerika melarang masuknya penderita kusta.
Surat kabar The New York Times, 11 Juli 1948, melaporkan, Joey tiba di Amerika pada 10 Juli 1948 dan menerima penghormatan dari ratusan orang yang menyambutnya. Setelah band memainkan lagu kebangsaan negaranya dan para perwira militer serta pejabat sipil berdiri dengan penuh perhatian, penerima Medal of Freedom berusia 30 tahun tersebut berjalan menuruni geladak untuk dikirim dengan pesawat khusus ke rumah sakit di Louisiana, tempat ia akan menjalani perawatan dan pengobatan penyakit kusta.
“Beberapa dari mereka yang menemuinya adalah tentara yang pernah ditolongnya ketika mereka ditawan Jepang di Filipina. Yang lainnya adalah anggota kelompok-kelompok masyarakat dan keagamaan yang membantunya mendapatkan status istimewa yang tidak biasa ini. Sebagai seorang penderita kusta dari negara di luar Amerika, Joey menjadi orang pertama yang diizinkan memasuki negara ini untuk berobat. […] Kendati J.C. Geiger, direktur kesehatan San Fransisco, yang memeriksanya sesaat setelah tiba di Amerika mengatakan bahwa Joey menderita penyakit kusta ‘tingkat lanjut’ namun pengobatan modern yang akan diterimanya di rumah sakit akan membantu wanita itu untuk mengatasi penyakitnya,” tulis The New York Times.
Setelah menjalani perawatan di Carville selama beberapa tahun, kesehatan Joey menunjukkan tanda-tanda membaik. Pada 1957, usai menjalani tes bulanan dengan hasil negatif untuk kusta selama 12 bulan berturut-turut, ia memenuhi syarat untuk meninggalkan rumah sakit. Sayangnya, kebahagiaan Joey dibayangi ancaman deportasi. Hubungannya dengan Renato Guerrero –suami pertamanya yang berujung pada perpisahan– dan putrinya, Cynthia, merenggang karena terpisah jarak dan waktu yang cukup lama. Joey pun memilih tinggal di Amerika.
Namun, di pengujung tahun 1960-an, Joey menghilang. Sebagian besar orang yang mengenalnya tak tahu keberadaannya. Sebuah surat dengan cap pos Madrid, Spanyol, pada 1970 menjadi bukti bahwa ia masih hidup. Surat yang dikirim Joey untuk seorang dokter yang dikenalnya sejak masih di Filipina berisi penjelasan mengenai alasannya memilih “menghilang”.
“Setiap kali saya mengatakan bahwa saya pernah dirawat di rumah sakit selama sepuluh tahun, para pemberi kerja memandang saya seolah-olah saya adalah seorang mantan penjahat –saya harus berbohong tentang masa lalu untuk mendapatkan pekerjaan– saya mulai mengarang masa lalu. […] Saya sering kelaparan karena dipecat dari pekerjaan setiap kali masa lalu saya muncul. Saya bangkrut setiap waktu,” tulis Joey sebagaimana dikutip Montgomery.
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi Joey meski telah mendapat izin tinggal permanen di Amerika membuat mantan spion bertubuh mungil itu memilih hidup dalam kesunyian. Menjauh dari perhatian dan sorotan akan masa lalunya. Di usia yang tak lagi muda, Joey melanjutkan pendidikan ke universitas. Wanita yang kini bernama Joey Leaumax itu juga kerap mendaftar menjadi relawan di berbagai tempat, di antaranya ia pernah menjadi sukarelawan di Korps Perdamaian pada 1976.
Menurut Francine Uenuma dalam “This Filipina Spy Used Her Leprosy as a Cover to Thwart the Japanese During World War II”, termuat di Smithsonian Magazine, 1 Mei 2024, sejak tahun 1977 Joey tinggal dengan tenang di Washington D.C., mempertahankan lingkup pertemanan yang tidak banyak mengetahui masa lalunya. Ia sempat bekerja sebagai sekretaris dan menjadi sukarelawan sebagai penjaga pintu di Kennedy Center. Wanita pemberani itu tutup usia pada 1996. Obtuarinya hanya berisi tentang informasi kelahirannya, yakni Manila, tetapi tidak menyebutkan kepahlawanannya di masa perang.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar