Cerita Penderita Kusta Jadi Mata-mata di Perang Dunia II (Bagian I)
Joey tergerak untuk membantu rakyat Filipina dan pasukan AS melawan Jepang dalam Perang Dunia II. Penyakit kusta yang diidapnya membantu Joey menjalankan misi sebagai mata-mata.
JOSEFINA “Joey” Guerrero berjalan terseok-seok di jalanan Manila ketika ibu kota Filipina itu diduduki Jepang pada 1940-an. Sebagai bagian dari gerakan bawah tanah menentang pendudukan Jepang, Joey mendapat tugas untuk mengumpulkan informasi tentang gerak-gerik prajurit dan fasilitas militer Jepang. Selain itu, ia juga berperan sebagai kurir yang menghubungkan informasi rahasia di antara gerilyawan.
Pasukan Dai Nippon terkenal keji dalam mengawasi masyarakat di wilayah koloninya. Mereka tak segan melakukan kekerasan kepada orang-orang yang dituduh mata-mata atau gerilyawan saat melakukan pemeriksaan dan interogasi. Akan tetapi, sikap prajurit Jepang berbeda kepada Joey karena kondisinya sebagai pengidap kusta.
Dalam artikel “Heroes: Joey” di majalah TIME, 19 Juli 1948, dilaporkan bahwa sebelum perang Joey adalah seorang primadona di masyarakat Manila. Ia muda, cantik, dan lincah. Suaminya seorang mahasiswa kedokteran kaya raya di Universitas Santo Tomas. Mereka dikaruniai seorang anak perempuan. Wanita yang lahir di Quezon, Filipina, pada 1917 dengan nama Josefina Veluya itu mulai menderita kusta pada 1941.
Ben Montgomery dalam biografi Joey, The Leper Spy: The Story of an Unlikely Hero of World War II menyebut sang suami yang memiliki minat terhadap penyakit menular berupaya untuk menyembuhkan penyakit yang menyerang Joey. Sayangnya, ia lebih banyak tahu tentang tuberkulosis –penyakit yang pernah diderita Joey di masa kanak-kanak– daripada kusta. Penyakit ini tidak menjadi bagian dari kurikulum sekolah kedokteran, dan hanya sedikit dokter yang tertarik mempelajarinya. Tak ada vaksin untuk kusta, dan tidak ada yang bisa mengatakan dengan pasti apakah ini penyakit keturunan atau penyakit menular. Dibayangi kondisi kesehatan yang semakin memburuk karena terbatasnya obat-obatan dan pengobatan yang terhenti akibat perang, Joey memilih merahasiakan penyakitnya dari orang lain, terkecuali sang suami.
“Di Filipina, penderita kusta menyembunyikan gejala awal di balik pakaian selama mungkin, sampai tidak ada pilihan lain. Ketika lesi tidak dapat ditutupi, para korban dikucilkan dari komunitas mereka, menjadi objek bantuan amal, orang buangan, atau pengemis, dipaksa untuk meninggalkan kehidupan mereka, pekerjaan mereka, dan orang-orang yang mereka cintai. […] Stigma yang melekat pada penderita kusta membuat penyakit ini kerap dikaitkan sebagai hukuman atas dosa, mengubah penyakit fisik penderitanya menjadi kondisi moral. Dengan stigma itu, mereka dibuang ke koloni-koloni yang dikelola oleh pemerintah atau gereja di daerah pedalaman, jauh dari masyarakat,” tulis Montgomery.
Namun, Joey tak ingin menyerah dan menyia-nyiakan waktu dengan bersembunyi dan mengasingkan diri. Terinspirasi oleh Joan of Arc, ia tergerak untuk membantu perlawanan rakyat Filipina dan pasukan Amerika Serikat melawan Jepang. “Jika harus mati, maka lebih baik melakukannya dengan bermartabat, menghadapi takdir dengan terhormat,” pikir Joey.
Baca juga:
Kisah Putri Bangsawan India Jadi Mata-mata Inggris (Bagian II)
Joey mendekati seorang teman yang terlibat gerakan perlawanan bawah tanah yang terbentuk sejak tentara Jepang menduduki kota pada 2 Januari 1942. Temannya memberi Joey sebuah nama, seorang pria yang ia kenal baik dari Ateneo, dan segera melacak keberadaannya untuk menawarkan bantuan. Setelah disetujui, maka dimulailah petualangan Joey sebagai mata-mata.
Tugas spionase yang diberikan kepadanya adalah mengawasi pergerakan pasukan Jepang. Joey yang tinggal di dekat bangunan yang diubah menjadi garnisun tentara Jepang dengan semangat menjalankan misinya. Ia bersembunyi di balik daun jendela rumahnya, membuat catatan di selembar kertas. Ia menghitung truk-truk dan para prajurit di bak truk, mendeskripsikan penampilan mereka –apakah seragam mereka kotor atau bersih ketika kembali ke garnisun.
Joey juga mencatat orang-orang yang memasuki garnisun, jam berapa, kapan mereka pergi, dan ke arah mana. Ketika telah mengisi sebuah buku catatan, ia menyembunyikannya dan membawanya ke alamat yang telah diberikan dan menyerahkannya kepada seorang pria bernama Billy Ferrer.
Sebagai mata-mata, Joey cukup mengesankan rekan-rekannya. Namun, terkadang mereka khawatir bila Joey akan bertindak sembrono. Akibat aksinya yang dianggap mencolok Joey sempat diperingatkan rekannya ketika diundang menjadi tamu sebuah pesta yang diselenggarakan perwira Jepang di dekat rumahnya. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mengumpulkan informasi penting, Joey mengajukan pertanyaan-pertanyaan ketika diajak berkeliling melihat gedung-gedung di wilayah yang dikuasai Jepang. Hal ini sempat membuat heran salah satu petugas dan teman-teman Joey khawatir dengan kecurigaan itu. Sadar akan bahaya yang mengintai, ia mengambil taktik baru dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan konyol untuk mengalihkan perhatian Jepang.
Ketika tengah berkeliling, Joey melihat sebuah lubang berukuran cukup besar di belakang Gedung Teknik yang berada di lingkungan sekitar universitas. Mengamati banyak tentara keluar masuk, ia pun menanyakan tempat tersebut. Petugas menjawab, itu adalah tempat perlindungan serangan udara. Joey sempat meminta izin untuk melihat ke dalam tetapi ditolak dan tur pun berlanjut hingga ia kembali melihat lubang serupa di dekat sudut Isaac Peral Street dan Taft Avenue. Sekali lagi Joey menanyakan tempat itu yang dijawab petugas sebagai tempat perlindungan serangan udara.
“Ia melihat seorang pria berjalan keluar dari lubang itu dan mengenalinya. Joey pernah melihat pria yang sama memasuki lubang di belakang Gedung Teknik. Itu bukan tempat perlindungan serangan udara; itu adalah sebuah terowongan rahasia yang panjang. Malam itu ia menggambar terowongan tersebut di atas peta,” tulis Montgomery.
Seiring dengan semakin kuatnya cengkeraman Jepang di Filipina, Joey bersama gerilyawan terus mencari cara untuk melawan. Salah satu komandan gerilyawan meminta Joey menjadi kurir untuk membawa komunikasi rahasia antara kelompok-kelompok pergerakan di Luzon utara dan unit perlawanan di Manila. Mereka juga ingin Joey membawa kabar tentang aktivitas perlawanan di pedesaan, yang kemudian diteruskan ke kapal selam Amerika di lepas pantai.
Awalnya Joey membawa pesan-pesan itu di dalam rambutnya yang dipilin dan digulung atau disanggul. Tak jarang ia menyelipkan pesan di antara dua pasang kaus kaki, dan jika dihentikan dan diminta melepaskan kaus kakinya untuk digeledah pihak Jepang, Joey akan melepaskan kedua kaus kakinya sekaligus. Di lain waktu, ia membawa pesan-pesan itu dalam buah yang dilubangi di dalam keranjang dan berpura-pura menjadi pedagang kaki lima. Begitu berbahayanya tugas ini sehingga para gerilyawan mengingatkan agar berhati-hati karena jika tertangkap, mereka tidak akan mengakuinya.
Baca juga:
Di bawah pengawasan tentara Jepang, Joey memetakan benteng-benteng di sepanjang tepi pantai dan lokasi baterai pesawat terbang di sepanjang Dewey Boulevard. Jika dihentikan oleh tentara Jepang, ia hanya menunjuk wajahnya yang dipenuhi bercak-bercak. Para prajurit yang khawatir tertular penyakit kusta akan segera mengusirnya setelah melakukan penggeledahan secara serampangan. “Dengan menggunakan gambarnya, pesawat-pesawat AS dari Mindoro meledakkan baterai-baterai itu hingga hancur berkeping-keping,” tulis TIME.
Tak hanya itu, bersama sejumlah wanita lain, Joey membantu para tawanan dan tentara AS yang menjadi tahanan perang. Mereka membawakan makanan, pakaian, obat-obatan, dan pesan-pesan. Keberanian Joey dalam menjalankan tugasnya sebagai mata-mata lambat laun terendus oleh pihak Jepang. Kempeitai mencari keberadaan dan mengulik hubungannya dengan gerilyawan. Tak ada yang dapat dilakukan Joey selain bersembunyi untuk sementara waktu. Setelah keberadaannya tak lagi menarik perhatian tentara Jepang, Joey kembali bertugas sebagai mata-mata. Kali ini ia mengemban misi penting yang kelak berperan besar dalam keberhasilan pasukan Amerika menekan dominasi Jepang di Filipina.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar