Bongkar-Pasang Kurikulum Sepanjang Zaman
Pemeo klasik “ganti menteri, ganti kurikulum” senantiasa membayangi. Bagaimana pula posisi mata pelajaran Sejarahnya?
PENDIDIKAN yang inklusif, berkualitas dan berkelanjutan jadi seruan Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada Jumat (2/5/2025) dengan mengusung tema “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”. Pendidikan yang berkualitas tentu butuh seperangkat rencana hingga bahan pelajaran yang jadi pedoman bernama kurikulum. Menariknya, sejak republik berdiri sudah 12 kali bongkar-pasang kurikulum.
Dalam sektor pendidikan, selain punya gebrakan SMA Unggulan Garuda dan Sekolah Rakyat, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sejak akhir 2024 lalu mewacanakan revisi Kurikulum Merdeka. Ironisnya hingga artikel ini dimuat, belum seluruh sekolah negeri menggunakan kurikulum itu.
“Saya sendiri ketika kunjungan ke daerah-daerah terpencil, itu mereka masih ada yang menggunakan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/Kurikulum 2006). Ada yang masih pakai Kurikulum 2013. Jadi Kurikulum Merdeka itu di tahun 2021 diterapkan, di tahun 2022 sudah sekitar setengahnya. Di tahun 2024 sudah 94 persen. Dalam Permendikbud (No. 12) tahun 2024, pemerintah baru akan benar-benar mewajibkan berlakunya Kurikulum Merdeka maksimal di tahun 2026,” terang Iman Zanatul Haeri, kepala bidang advokasi Perhimpunan Pendidikan dan guru (P2G), kepada Historia.ID.
Namun, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mewacanakan revisi Kurikulum Merdeka. Padahal saat rapat kerja dengan Mendikdasmen Abdul Mu’ti pada November 2024 silam, anggota Komisi X DPR Sofyan Tan mengingatkan agar tidak gonta-ganti kurikulum lagi.
“Kurikulum Merdeka sudah secara de facto dilaksanakan sejak 2021 tapi secara de jure peraturannya (Permendikbud) itu di 2024 diketuk setelah naskah akademiknya baru keluar di ujung 2024. Jadi di atas kertas kalau ada revisi kurikulum lagi di 2025, artinya (Kurikulum Merdeka) baru Assalaamualaikum langsung Waalaikumsalaam,” lanjut Iman.
Baca juga: Kurikulum Merdeka di Palestina
Kemajuan zaman memang menuntut adaptasi konsep pendidikan. Tetapi sejumlah negara maju seperti Finlandia, Jepang, atau bahkan negara tetangga Singapura, umumnya sekadar mengevaluasi dan merevisi beberapa bagian tertentu dan tidak mengganti kurikulum nasional secara keseluruhan dengan jangka waktu yang singkat. Artinya, takkan terjadi problem klasik “ganti menteri, ganti kurikulum” seperti di Indonesia.
Berkaca dari masa lalu, sudah belasan kali kurikulum berganti. Di antaranya Rentjana Peladjaran 1947 alias Kurikulum 1947 yang jadi tonggak baru pendidikan di awal masa kemerdekaan. Menurut Ismatul Maula dkk. dalam Kurikulum Pendidikan, Kurikulum 1947 yang dikembangkan Menteri Pengajaran Ali Sastroamidjojo ini bersifat politis karena ingin mengubah arah pendidikan yang tak lagi berkiblat pada Belanda. Walaupun belum menekankan aspek kognitif, ia sudah mengutamakan pendidikan karakter untuk membangun rasa nasionalisme sekaligus kearifan lokal karena struktur programnya menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Pada umumnya konsep dasar kurikulum itu bertahan cukup lama meski disempurnakan dalam Rencana Pelajaran Terurai pada 1952 di masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (mendikbud) KRMT Wongsonegoro. Penambahan fokus pembangunan karakter dan pengetahuan dilakukan dalam Rencana Pendidikan 1964 di masa Mendikbud Prof. Dr. Prijono. Perombakan lagi baru terjadi sewaktu Mendikbud Mashuri Saleh seiring transisi ke era Orde Baru dengan Kurikulum 1968.
“Kurikulum 1968 juga bersifat politis untuk menggantikan produk Orde Lama. Kurikulum ini bertujuan membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni,” tulis Martinus Tukiran dalam Perkembangan Manusia dan Pendidikan.
Baca juga: Perbarui Kurikulum Itu Tidak Mudah
Di masa Mendikbud Sjarif Thajeb, kurikulum berubah lagi dengan Kurikulum 1975 yang menekankan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) untuk melakukan pendekatan integratif. Setiap pelajaran harus punya tujuan yang luas. Mendikbud Nugroho Notosusanto kemudian menggebrak lagi dengan Kurikulum 1984 yang dikenal sebagai Kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif).
“Kurikulum 1984 salah satu inovasi penting dalam sejarah pendidikan Indonesia yang mengadopsi pendekatan CBSA yang menempatkan siswa sebagai pusat dari proses pembelajaran. Didasarkan pada teori konstruktivisme, CBSA melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran dengan terlibat dalam eksplorasi, penemuan, dan penerapan pengetahuan untuk meningkatkan pemahaman, kreativitas, dan kemampuan berpikir kritis,” ungkap I Wayan Indra Praekananta dkk. dalam Menelusuri Arah Pendidikan: Dinamika dan Inovasi Kurikulum di Indonesia.
Meski begitu, Kurikulum CBSA diaggap belum sempurna di masa Mendikbud Wardiman Djojonegoro sehingga disempurnakan lewat Kurikulum 1994. Revisi kembali dilakukan setahun pasca-Reformasi lewat Suplemen Kurikulum 1999 di era Mendikbud Juwono Sudarsono. Perombakan total di era Reformasi terjadi lewat Kurikulum 2004 atau yang beken dikenal Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di masa Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Abdul Malik Fadjar.
“Konsep KBK berorientasi pada pengembangan tiga aspek utama: afektif (sikap), kognitif (pengetahuan), dan psikomotorik (skill). Dikembangkan untuk memberikan keahlian dan keterampilan sesuai standar kompetensi yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing di tengah-tengah perubahan, persaingan, dan permasalahan sosial, ekonomi, politik, dan budaya,” ungkap Abdurrahmansyah dalam Kajian Teoritik dan Implementatif Pengembangan Kurikulum.
Baca juga: Perlukah Materi Pelajaran Sejarah Diperbarui?
Mendiknas Bambang Sudibyo menganggap konsep KBK belum lengkap. Ia lalu mengeluarkan KTSP alias Kurikulum 2006 sebagai perluasan KBK. Di KTSP, setiap satuan pendidikan diberikan kebebasan mengembangkan pembelajaran dengan berbasis kompetensi dan kontekstual.
Namun, lagi-lagi kurikulum berublah. Mendikbud Mohammad Nuh mengeluarkan Kurikulum 2013 (K-13/Kurtilas) dengan tujuan mengedepankan pengembangan kompetensi peserta didik lewat pembelajaran terpadu, pendekatan saintifik, dan penilaian autentik.
“Kurikulum bisa dikatakan sukses dari sisi kebijakan dan bertahan relevan cukup lama ya. Kurikulum CBSA terbilang cukup sukses ya karena bertahan 10 tahun walau baru diresmikan tahun (ajaran) 1985. Kurikulum 1994 itu juga cukup lama dan baru benar-benar diubah lewat KBK tahun 2004. Bahwa ada unit-unit kecil yang harus berubah, itu iya. Untuk mengikuti zaman. Tapi kurikulum sebagai sebuah kerangka kalau berubah akan menyebabkan gradasi. Untuk ukuran negara yang luasnya seperti Indonesia, perubahan kurikulum itu butuh waktu,” sambung Iman.
Baca juga: Perjuangan Maria Ullfah dalam Pendidikan
Kurtilas diterapkan di berbagai sekolah di Indonesia cukup lama hingga Pandemi Covid-19 mendera pada 2020. Maka di era Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (mendikbudristek) Nadiem Makarim, dihadirkan Kurikulum Darurat untuk tahun ajaran 2020/2021. Menurut laman Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbudristek RI, Kurikulum Darurat adalah penyederhanaan kompetensi dasar untuk setiap mata pelajaran. Namun kemudian kurikulum ini bersifat opsional karena setiap satuan pendidikan diberi kebebasan untuk menggunakan Kurikulum Darurat, tetap menggunakan Kurtilas, atau bahkan menyederhanakan kurikulumnya secara mandiri.
Baru pada 2021 dimunculkan Kurikulum Prototipe atau Kurikulum Masa Pemulihan untuk diterapkan mulai tahun ajaran 2022. Di kemudian hari, namanya berganti menjadi Kurikulum Merdeka. Kurikulum dengan paradigma baru ini diselaraskan dengan program “Merdeka Belajar”. Salah satu contohnya adalah ditiadakannya penjurusan Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPA dan IPS) di jenjang SMA karena setiap peserta didik berhak memilih menu paket mata pelajaran.
“Sejak Kurikulum Merdeka muncul, kami P2G sebagai kalangan pendidik menuntut pemerintah. Kalau ada perubahan kurikulum, mana naskah akademiknya? Saat itu 2020 sampai 2022 tidak ada naskah akademiknya. Ada keluar naskah akademik namanya Kurikulum Masa Pemulihan, disebutkan bahwa ini adalah naskah akademik Kurikulum Merdeka. Jadi namanya (Kurikulum) Masa Pemulihan tapi isinya Kurikulum Merdeka. Namun ternyata itu bukan naskah akademiknya. Naskah akademiknya baru keluar di ujung ketika akan diketuk menjadi Permendikbud (No. 12 tahun 2024),” urai Iman lagi.
Baca juga: Plus-Minus Belajar Sejarah dengan AI
Terlepas dari Permendikbud No. 12 tahun 2024 yang mewajibkan penerapannya di jenjang SD hingga SMA sepenuhnya pada tahun ajaran 2026/2027, kini Kurikulum Merdeka akan direvisi baik dari sisi pendekatan pembelajarannya maupun sistem penjurusannya. Itu sudah direncanakan sejak akhir 2024. Sejumlah stakeholder pendidikan, termasuk P2G sempat, diundang dalam dalam pengkajian dan evaluasi Kurikulum Merdeka.
“Ketika kami diundang bersama semua aktor dan stakeholder pendidikan pada Desember 2024 oleh Kemendikdasmen dalam tiga kali diskusi. Temuan kami memang ada masalah di dua tempat: dokumennya dan implementasi di lapangan. Bagaimana kapasitas sekolah dan guru bisa menyesuaikan model penjurusan di Kurikulum Merdeka karena penjurusannya lebih beragam. Sementara pemerintah, Pak Menteri (Abdul Mu’ti) berupaya mengembalikan ke penjurusan masa lalu: IPA, IPS, dan Bahasa. Namun seingat kami ketika melakukan revisi, kami tidak ada rekomendasi ke penjurusan model lama tapi sekarang malah muncul. Itu satu persoalan,” imbuhnya.
“Sebenarnya menu paket (Kurikulum Merdeka) sangat ideal dan mengakomodir bakat-bakat anak. Yang menjadi persoalan, kalau sekolahnya tidak punya kapasitas, ruang kelasnya kecil, serta murid dan ketersediaan gurunya enggak banyak. Di lapangan, anak-anak akhirnya IPA-IPS juga karena tadi, kekurangan sumber daya. Makanya kami menyebutnya paket menu ‘rasa’ IPA dan IPS. Mungkin menteri yang sekarang ingin mengembalikan. Kami merekomendasi kalau mau diubah jangan dadakan. Harus dikaji lagi terlebih dahulu.”
Baca juga: Menjaga Marwah Pendidikan Sejarah
Posisi Mata Pelajaran Sejarah
Hal lain yang menjadi catatan P2G terkait Kurikulum Merdeka yang sudah mulai diterapkan pada 2021 adalah posisi mata pelajaran (mapel) Sejarah Indonesia dan Sejarah Dunia. Porsi mapel Sejarah Indonesia yang termasuk jadi mapel wajib makin mengecil sementara mapel Sejarah Dunia dihilangkan.
“Memang betul salah satu dosa terbesar Kurikulum Merdeka adalah ada upaya untuk menghapus mapel Sejarah. Di draft awal tahun 2020 ketika Kurikulum Merdeka akan disusun, (mapel) Sejarah itu bahkan di kelas X tidak ada. Mereka di-IPS-kan, hanya dianggap salah satu dari ilmu sosial. Dan menurut saya secara paradigmatik itu jadi persoalan karena Sejarah itu kan berdiri sendiri seharusnya,” jelas Iman.
Iman yang dalam penelitian tesisnya mengangkat studi kasus mapel Sejarah Dunia di beberapa sekolah jenjang SMA, turut meneliti bagaimana posisi mapel Sejarah dari kurikulum ke kurikulum sejak awal kemerdekaan. Sejak 1950-an pun, katanya, mapel Sejarah sudah mulai diajarkan di kelas IV-VI jenjang Sekolah Rakyat (kini Sekolah Dasar) hingga jenjang sekolah menengah.
“(Mapel) Sejarah Dunia baru muncul tahun 1950-an. Jadi keberadaan Sejarah Dunia ada beberapa kali perbedaan. Dari 1950-1966 itu jadi mapel mandiri. Tahun 1967-2001 disatukan menjadi (mata) pelajaran Sejarah Indonesia dan Dunia,” tambahnya.
Baca juga: Sejarah sebagai Ilmu Berbangsa
Khusus di sekolah menengah, buku teks yang digunakan adalah Dari Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia I: India, Tiongkok, dan Djepang, Indonesia karangan H.J. van den Berg, H. Kroeskamp, dan I.P. Simandjoentak terbitan tahun 1951. Buku teksnya kemudian berganti dengan buku Sedjarah Dunia I karya R.M. Sutjipto Wirjosuparto terbitan 1953 dan pada 1955, terbit lagi tiga jilid buku teks karya Soeroto Indonesia di Tengah-Tengah Dunia dari Abad ke Abad.
Di era transisi Orde Lama ke Orde Baru, muncul buku teks pelajaran sejarah dunia, Ichtisar Sedjarah Dunia I, karya L. Jama, RIW Dwijasusana dan F.H. Dwidjosaputro. Setelah mapel sejarah Indonesia dan sejarah dunia disatukan, beberapa topik tentang sejarah dunia pun diperkecil porsinya. Seperti dalam buku Sejarah Nasional Indonesia dan Sejarah Dunia terbitan 1987 karangan Edy Purwito dan Kuswanto, buku teks Sejarah Nasional dan Umum terbitan 1992 karangan H.S. Martono, ataupun Sejarah Nasional dan Umum terbitan 2003 karangan Siti Waridah, J. Sukardi, dan P. Sunarto.
“Tahun 2013 ketika munculnya Kurtilas itu dipisah lagi. Ini momen tertingginya karena dalam kurikulum mapel Sejarah Dunia itu 3-4 jam pelajaran,” lanjut Iman.
Porsi besar itu diberikan setelah perdebatan panjang yang sengit di antara kalangan akademisi yang polemiknya sampai menjadi perhatian DPR. Mata pelajaran sejarah hendak dikucilkan dalam Kurtilas yang menggantikan Kurikulum KTSP tahun 2006. Salah satu faktornya adalah mulai munculnya dua narasi berbeda terkait Pemberontakan PKI di Madiun 1948 dan Peristiwa Gerakan 30 September 1965.
“Pertama, pendukung narasi bahwa peristiwa 1948 dan 1965 adalah pemberontakan PKI untuk mengubah Indonesia jadi negara komunis. Kedua, pendukung narasi bahwa peristiwa 1948 dan 1965 bukan pemberontakan dan PKI adalah korban konspirasi. Kemendikbud masa pemerintahan Habibie memberi jalan tengah menjadikan dua narasi berbeda ini sebagai materi kontroversial karena pemerintah tidak bersedia memihak salah satu narasi. Kebijakan ini sesungguhnya pemerintah melepaskan tanggung jawabnya untuk menyelesaikan masalah perbedaan tajam dalam pendidikan sejarah dan kondisi ini sangat merugikan kedudukan pendidikan sejarah dalam kurikulum,” tulis sejarawan Universitas Negeri Jakarta, Dr. Abdul Syukur dalam artikel “Pendidikan Sejarah dan Generasi Tanpa Ingatan Kolektif: Mempertimbangkan Taufik Abdullah” di buku 85 Tahun Taufik Abdullah: Perspektif Intelektual dan Pandangan Publik.
Baca juga: Mencari Arah Pendidikan Sejarah
Materi kontroversial itu, lanjut Abdul Syukur, terdapat dalam Kurikulum 2006. Hal itu kembali jadi perdebatan saat Kurtilas. Saat itu mapel Sejarah diwacanakan akan dimasukkan dalam mapel IPS muncul di antara tim kurikulum dan pihak kementerian.
“Pengalaman pribadi sebagai anggota tim mapel Sejarah Kurikulum 2013 di bawah pimpinan Prof. Dr. Said Hamid Hasan sangat terasa kekuatan pengaruh dari pandangan bahwa pendidikan sejarah tidak penting. Indikatornya pada dua kebijakan. Pertama, mengubah mapel Sejarah di SMP jadi bagian mapel IPS. Kedua, Sejarah bukan mapel wajib di SMA/MA/SMK/MAK. Perdebatan taham di dalam tim perumus yang tak dapat terselesaikan mengundang kekuatan politik di DPR. Campur kekuatan politik menjadikan pendidikan sejarah masuk ke dalam kelompok mapel wajib di SMA/MA/SMK/MAK dalam Kurikulum 2013,” tambah Abdul Syukur.
Pada saat Kurikulum Darurat muncul, mapel Sejarah Dunia masih eksis walau porsinya berkurang. Namun, sambung Iman, mapel Sejarah Dunia hilang di Kurikulum Merdeka. Hal ini menimbulkan keresahan kalangan sejarawan, praktisi, dan akademisi pendidikan.
“Tahun 2020 ketika zaman pandemi masih ada (mapel Sejarah Dunia) di Kurikulum Darurat. Baru kemudian ketika (Mendikbudristek) Nadiem Makarim bikin Kurikulum Merdeka di tahun 2021, itu mapel Sejarah Dunia hilang. Hanya kontennya saja (di mapel Sejarah Indonesia). Yang saya maksud kontennya adalah, misal di tahun 2021 kan pemerintah bikin program Sekolah Penggerak. Itu versi awal Kurikulum Merdeka konten Sejarah Dunianya masih ada, seperti Sejarah Kontemporer tapi dimasukkan atau disisipkan di mapel Sejarah (Indonesia). Tapi tahun berikutnya ketika ada perubahan Capaian Pembelajaran, itu kontennya dihilangkan. Hanya (Sejarah) Indonesia saja. Baru di tahun 2024 ketika diketok Permendikbudnya, dimunculkan kembali,” tandas Iman yang ikut bicara di RDPU Panja Kebijakan Kurikulum bersama DPR RI medio April 2022.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar