Belanda dan Amerika Serikat dalam Peristiwa Madiun
Peristiwa Madiun 1948 membuat Amerika Serikat, sekutu Belanda, mendukung pemerintahan Sukarno-Hatta karena berhasil menumpas kelompok komunis.
PIDATO Presiden Prabowo Subianto pada sidang kabinet paripurna beberapa waktu lalu mencuri perhatian publik. Alih-alih menyebut kelompok komunis, Prabowo justru mengatakan bahwa Peristiwa Madiun tahun 1948 atau Madiun Affair didalangi oleh pihak Belanda.
“Peristiwa Madiun, seolah-olah itu komunis, ternyata yang membawa Musso, Semaoen, semua itu adalah Belanda, difasilitasi oleh Belanda,” jelas Prabowo dalam pidatonya di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (5/5/2025).
Peristiwa Madiun yang terjadi pada September 1948 kerap menjadi topik diskusi yang tak jarang memicu kontroversi.
Baca juga:
Ada beberapa faktor pemicu meletusnya Peristiwa Madiun, mulai dari kembalinya Musso, pentolan PKI yang puluhan tahun mengembara di Eropa, hingga permasalahan di dalam negeri terkait hasil Perundingan Renville yang merugikan posisi Republik di tengah kemelut dengan Belanda sehingga berujung pada jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin, tokoh sayap kiri yang terlibat dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR), serta rasionalisasi TNI pada masa pemerintahan Mohammad Hatta.
Terlepas dari konflik internal di dalam tubuh Republik, Peristiwa Madiun juga terkait erat dengan Perang Dingin. Peristiwa tersebut dianggap sebagai arena pertempuran ideologi antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet yang sama-sama pemenang Perang Dunia II.
Sejarawan Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg menulis dalam Indonesia Merdeka Karena Amerika? Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia, 1920–1949, pertentangan Amerika Serikat dan Uni Soviet yang mulanya diprediksi akan terjadi di Eropa pada 1947 mulai bergeser ke wilayah lain, termasuk Asia Tenggara. Penyebabnya adalah pemberlakuan Administrasi Kerjasama Ekonomi (ECA) atau populer dengan sebutan Marshall Plan, sebuah kebijakan yang digagas Menteri Luar Negeri Amerika, George C. Marshall, yang bertujuan memberi bantuan kepada negara-negara Eropa untuk membangun kembali perekonomian mereka setelah Perang Dunia II. Salah satu negara yang menerima bantuan ini adalah Belanda.
Pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II, para analis Departemen Luar Negeri AS meyakini krisis di negara-negara Eropa imbas Perang Dunia II dapat menyebabkan mereka terjerumus dalam ideologi komunis. Bila ideologi itu merebak semakin luas, bukan tidak mungkin negara-negara di Afrika Utara dan Timur Tengah akan ikut ke dalamnya. Hal ini tak diinginkan oleh AS.
“Akibatnya, Eropa Barat menerima bagian terbesar dari perhatian Departemen Luar Negeri AS... Marshall mencatat bahwa ekonomi Eropa menderita karena hilangnya nyawa [dan] kehancuran infrastruktur... Meskipun sempat bangkit pada 1946, perdagangan intra-Eropa belum pulih; ekonomi pascaperang yang rapuh lumpuh karena kemacetan dan demoralisasi. Selain itu, kekurangan pangan masih mewabah karena panen pertanian pada 1946 telah menghasilkan kekecewaan di seluruh Eropa... Amerika Serikat harus membantu Eropa memulihkan kesehatan ekonominya kembali, yang menurutnya sangat penting bagi pemulihan stabilitas politik dan perdamaian di dunia,” tulis Gouda dan Zaalberg.
Pada awal musim panas 1948, Marshall Plan memompa jutaan dolar ke Eropa. Masuknya dukungan keuangan AS ini meringankan kesulitan ekonomi dan dislokasi sosial yang disebabkan oleh pendudukan Nazi, dan sebagian besar negara Eropa, kecuali Jerman, telah mendekati hasil industri sebelum perang. Dengan kata lain, negara-negara demokrasi kapitalis di Eropa Barat secara bertahap pulih, yang membuat mereka tidak terlalu rentan terhadap daya tarik komunisme.
Kesuksesan Marshall Plan dalam memperbaiki kondisi ekonomi di Eropa tak mengendurkan kewaspadaan para pembuat kebijakan di Washington. Mereka beranggapan Uni Soviet mungkin saja mengarahkan moncongnya ke arah lain, kali ini Asia Tenggara, di mana perjuangan antikolonial seperti di Indonesia dan negara-negara tetangganya menjadi tempat yang subur untuk menyebarkan komunisme.
“Dampaknya, ketika ketakutan Amerika akan keberhasilan ideologis Uni Soviet dalam memobilisasi wajib militer di Eropa Barat mulai surut, para pembuat kebijakan Amerika menjadi khawatir bahwa kanker komunis mungkin akan bermetasis, seperti yang diilustrasikan oleh direktur Policy Planning Staff Departemen Luar Negeri AS, George F. Kennan, ke dalam tubuh negara-negara yang berada di belahan dunia lain,” jelas Gouda dan Zaalberg.
Baca juga:
Sejak musim semi 1948, laporan-laporan yang membingungkan mengenai pengaruh Uni Soviet di Asia Tenggara mengalir deras ke Departemen Luar Negeri AS sehingga meningkatkan kekhawatiran Washington. Puncaknya pada 22 Mei 1948, ketika Uni Soviet mengumumkan niatnya untuk menjalin hubungan konsuler dengan Republik Indonesia. Selain itu, kembalinya Soeripno dan seorang sekretaris bernama Soeparto, yang tak lain adalah Musso, dari Praha semakin meningkatkan kewaspadaan Amerika.
Kekhawatiran Amerika terhadap ancaman penyebaran komunisme di Indonesia berdampak pada proses perundingan antara Belanda dan Indonesia. Meski menyatakan diri netral dan tidak memihak, para pembuat kebijakan luar negeri AS mulanya mendukung sekutu terpercaya mereka, Belanda, dalam perseteruan dengan Indonesia. Akan tetapi sepanjang tahun 1948, sikap Washington lambat laun berbalik arah. Pandangan mereka terhadap pemerintahan Sukarno-Hatta semakin bersahabat dan puncaknya ketika Peristiwa Madiun 1948 meletus.
Menurut Ann Swift dalam The Road to Madiun: The Indonesian Communist Uprising of 1948,
kepentingan Amerika dalam menemukan kesepakatan antara Belanda dan Indonesia meningkat secara dramatis ketika Departemen Luar Negeri AS pada akhir Agustus dan awal September menjadi khawatir bahwa FDR/PKI yang baru mungkin dapat menjatuhkan pemerintahan Hatta yang moderat dan membentuk pemerintahan yang “sangat berhaluan kiri, jika tidak dikendalikan oleh komunis.”
“Peran delegasi AS di Indonesia, Merle Cochran, sangat penting dalam hal tindakan AS di hari-hari sebelum Madiun, karena seringnya ia berhubungan dengan Hatta dan Sukarno. Pada minggu-minggu setelah kedatangannya, Cochran yang dikenal sebagai seorang antikomunis memberikan dukungan untuk pemerintahan Sukarno/Hatta, yang ia lihat sebagai satu-satunya alternatif yang layak untuk mengatasi komunis... Cochran mungkin mendiskusikan keprihatinannya akan kemungkinan pengambilalihan kekuasaan oleh komunis dan mungkin juga mendesak Sukarno dan Hatta untuk mengambil tindakan tegas untuk melindungi diri mereka sendiri. Ia mungkin juga menunjukkan bahwa pemerintah AS akan melihat lebih baik pada pemerintahan Asia Tenggara yang secara nyata antikomunis. Namun, Cochran tampaknya tidak memiliki senjata atau pasokan yang dapat ia tawarkan, dan juga tidak ada indikasi bahwa ia mendesak Indonesia untuk mengambil tindakan militer terhadap komunis,” tulis Swift.
Ditekan oleh kelompok-kelompok militer radikal-nasionalis dan pasukan sayap kiri Amir Sjarifuddin, serta oleh Amerika yang khawatir akan keberhasilan komunis di Cekoslovakia dan Cina, kabinet Hatta yang moderat mulai mengambil sikap tegas terhadap mereka yang berlawanan dengan pemerintah.
David Bourchier mencatat dalam Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State, hal ini menjadi sangat jelas setelah semua kelompok sayap kiri utama bergabung ke dalam PKI yang diaktifkan kembali pada Agustus 1948 setelah kedatangan Musso. Pertikaian besar dipicu ketika para pendukung PKI, yang sebagian besar berasal dari formasi militer yang rencananya akan didemobilisasi oleh Hatta, mengambil alih kekuasaan di Madiun, Jawa Timur. Deklarasi pemberontakan Musso terhadap pemerintah Sukarno-Hatta di Madiun pada 18 September dibalas dengan serangan berdarah yang dipimpin oleh pasukan Siliwangi pimpinan A.H. Nasution.
Baca juga:
“Penumpasan pemberontakan Madiun menunjukkan karakter antikomunis pemerintahan Sukarno-Hatta dengan cara yang secara langsung meruntuhkan klaim Belanda yang menyatakan sebaliknya dan pada 1949 menyebabkan intervensi Amerika Serikat yang menentukan atas nama Indonesia,” tulis Bourchier.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar