Aksi Beken Jagoan Senen
Cerita pemuda republiken melawan aksi tentara Nica-Belanda yang berupaya memulihkan kekuasaanya di Jakarta.
SITUASI Jakarta memanas sejak tim kecil pasukan payung Inggris (Sekutu) dan Belanda mendarat pada 8 September 1945. Terlebih ketika pasukan Inggris yang tiba pada 29 September membawa pejabat NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Rakyat curiga mereka akan mengembalikan penjajahan Belanda.
Kecurigaan rakyat membesar setelah Belanda tak mengindahkan perintah Panglima Sekutu Letjen Christison yang memerintahkan para tawanan dan interniran Sekutu yang dibebaskan tetap tinggal di kamp demi keselamatan mereka.
“Dalam waktu singkat di Jakarta terbentuk sebuah komunitas orang-orang Belanda yang cukup besar, yang berupaya memulihkan pola kehidupan dari zaman sebelum perang,” tulis Robert Cribb dalam Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949. “Orang-orang Belanda, Indo, dan Ambon, yang mengaku sebagai penjaga keamanan mulai berkeliaran di jalan-jalan.”
Di sisi lain, para pemuda berbondong-bondong menggabungkan diri ke berbagai badan perjuangan atau membentuk badan perjuangan sendiri untuk mempertahankan kemerdekaan. Bentrokan pun pecah dengan pasukan Belanda. Kawasan Senen dan sekitarnya menjadi arena pertempuran. Banyak dari pejuang merupakan jagoan dan orang “dunia hitam.”
“Rasa frustrasi akibat kuatnya tekanan Belanda mungkin merupakan salah satu di antara sekian faktor yang menyebabkan dunia hitam Batavia tertarik dengan pergerakan kaum nasionalis Indonesia,” tulis Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949.
Bang Pi’i dan Bang Amat Bey (Mat Bendot) yang paling populer. Pi’i punya pasukan yang diberinya nama Sebenggol. Anggota pasukan itu semua tukang copet. Mereka lalu bergabung ke dalam Oesaha Pemoeda Indonesia (OPI) dan ketika Laskar Rakjat Djakarta Raya terbentuk, mereka ikut bergabung.
Bentrokan makin sering terjadi setelah eks serdadu Batalyon ke-10 KNIL (bermarkas di selatan Lapangan Waterloo/Lapangan Banteng), dengan bantuan tujuh kompi tentara KNIL yang didatangkan dari luar Jawa (mayoritas orang Ambon), membentuk Batalion X (Tiende Bataljon). Mereka terkenal brutal terhadap penduduk.
Arogansi mereka membuat para pejuang membalas. Mereka kerap menyerbu tangsi-tangsi Batalion X. Dari atas Bioskop Grand dan sekitarnya mereka menembaki truk-truk Belanda yang keluar dari markas Batalion X. Sontak tembakan balasan pun terdengar.
“Si Pi’i punya pistol dan kalau menembaki Belanda dia paling depan. Pi’i pun menjadi sangat populer di wilayah Pasar Senen dan Tanah Tinggi,” tulis Misbach Yusa Biran dalam Kenang-Kenangan Orang Bandel.
Suatu hari, Hendrik, pemuda Indo daerah Bungur yang menjadi kaki tangan Belanda, dan beberapa serdadu Batalion X berkeliling kampung menggunakan truk. Mereka menembaki penduduk sekitar Senen. Banyaknya korban membuat pejuang Indonesia marah. Pi’i, Amat Bey, Itjang, Mas’ud dan jagoan-jagoan Senen lainnya, langsung mengepung tempat persembunyiannya di Poncol. Hendrik dan beberapa temannya tewas.
Kematian Hendrik membuat Belanda kian marah. Pasukan Belanda, yang tak menghormati keberadaan Inggris, mengepung Kalibaru. Di sana mereka menghadapi pejuang yang dipimpin Bang Itjang. Namun, menurut Yusuf dan Husni Abdullah, anak buah Bang Itjang, kala itu tak terjadi pertempuran karena Bang Itjang memilih mengajak duel. “Bang Itjang dikeroyok serdadu Belanda,” ujar Yusuf, dikutip majalah Warnasari No.115, 1988.
Itjang akhirnya kehabisan tenaga dan ditawan di markas Batalion X. Dia disiksa habis-habisan agar mengeluarkan informasi. Lantaran Itjang tak buka mulut, Batalion X akhirnya menitipkan Itjang ke Rumah Sakit Umum Pusat (kini RSCM). Dengan bantuan para jagoan Senen dan simpatisan Republik yang bekerja di rumah sakit itu, Itjang berhasil dibebaskan. “Itu pun dilaksanakan dengan melalui got-got yang ada di sekitar RSUP,” tulis Dinas Sejarah Militer Kodam V Jaya dalam Sejarah Perjuangan Rakyat Jakarta, Tangerang dan Bekasi dalam Menegakkan Kemerdekaan RI.
Itjang langsung memindahkan markasnya ke Cempaka Putih. Dari sana mereka melancarkan serangan-serangan kepada lawan. Tangsi Penggorengan di Guntur menjadi sasaran yang paling sering mereka serang. Pada suatu malam, gabungan laskar dan pejuang Jakarta melancarkan serangan ke Gedung Fafa di Jalan Raden Salah.
Dua perwira Belanda tewas dalam serangan itu. Serangan itu membuat Belanda kian murka. Didukung pasukan Inggris, mereka melancarkan operasi pembersihan para pejuang pada 18 November. “Saat itu, Gang Sentiong, Pal Putih, Senen, dan Grand betul-betul menjadi medan laga paling dahsyat,” ujar Yusuf.
Bentrokan bersenjata di Jakarta baru mereda setelah Perdana Menteri Sutan Sjahrir, atas desakan Sekutu, mengeluarkan perintah agar kekuatan bersenjata Indonesia mengosongkan Jakarta pada 19 November. Perintah itu dipatuhi para pejuang dengan menyingkir ke luar kota. Medan pertempuran pun bergeser ke Krawang-Bekasi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar