Ada Karena Desakan PBB
Kebutuhan finansial picu Indonesia penuhi persyaratan yang dikeluarkan PBB. Kementerian Urusan Peranan Wanita hasilnya.
USAI melengserkan Sukarno, Soeharto langsung membenahi ekonomi Indonesia yang hampir bangkrut dengan membentuk tim ekonomi. Tim itu keliling ke negara-negara maju untuk mencari bantuan finansial.
Demi dana bantuan, Indonesia mesti menerima persyaratan yang diberikan calon-calon pendonor. Salah satu hasil dari pemenuhan persyaratan itu, Indonesia punya kementerian Urusan Peranan Wanita (UPW). “UPW pembentukannya karena PBB punya program Dekade Perempuan. Jadi semua negara anggota PBB harus punya kementerian perempuan,” kata Wardah Hafidz, aktivis sosial perkotaan, kepada Historia.
Dekade Perempuan bermula dari munculnya konsep perempuan dalam pembangunan (Woman in Development, WID) yang mulai dikenalkan pada 1970-an di Amerika Serikat (AS). Pemerintah AS lalu membuat Undang-Undang tentang Bantuan Luar Negeri (The Percy Amandement to the 1973 Foreign Assistance) yang di dalamnya memuat syarat adanya peningkatan peran perempuan dalam pembangunan negara penerima bantuan.
UU tersebut membuat Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) hanya mau memberi bantuan pada negara-negara yang serius menangani masalah perempuan. Ritu Sharma dalam Woman and Development Aid menulis, Departemen Luar Negeri Amerika juga harus mempertimbangkan kemajuan isu perempuan ketika hendak memberi pendanaan pada organisasi internasional seperti PBB dan Bank Dunia.
Aturan itu diikuti PBB, yang pendanaannya banyak berasal dari AS, yang lalu menetapkan Tahun 1975 sebagai Tahun Wanita Internasional. Program itu berlanjut hingga 1985 dan dinyatakan sebagai dekade perempuan (International Decade of Woman).
PBB mendesak negara anggotanya membentuk departemen yang khusus mengurusi masalah perempuan. Soeharto menyepakatinya dengan membentuk Kementerian Urusan Peranan Wanita (UPW) pada 1978 dan memberlakukan program-program yang disyaratkan PBB, seperti Keluarga Berencana (KB).
Lasiyah Sutanto, ketua umum Kowani yang –mendukung pemerintahan Soeharto lewat Kongres Luar Biasa pada 30 Mei-1 Juni 1966– juga anggota MPR/DPR-RI dari Golkar, ditunjuk sebagai Menteri Urusan Peranan Wanita pertama. Dipenuhinya persyaratan itu membuat bantuan untuk Indonesia pun mengalir.
Kementrian UPW aktif dalam agenda-agenda perempuan PBB. Bersama perwakilan dari Kowani, anggota Kementerian UPW ikut dalam Kongres Perempuan Sedunia yang dihelat PBB tiap lima tahun sekali. Kongres tersebut antara lain membahas ketidakberhasilan konsep Perempuan dalam Pembangunan mengatasi ketimpangan gender karena sistem patriarki.
Untuk mengatasinya, United Nation Development Program (UNDP) memperkenalkan konsep kesetaraan gender. Konsep itu diikuti dengan pembentukan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (Cedaw). Pada 1981, tulis Ap Murniarti dalam Getar Gender, Indonesia ikut menandatangani konvensi itu.
Indonesia lalu mengeluarkan UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengahapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Peningkatan peranan perempuan dalam pembangunan negara, termasuk partisipasi politik, secara berkala dievaluasi Komite Cedaw.
Soeharto, yang sebetulnya anti-gerakan perempuan, memberi ruang pada perempuan untuk berpolitik lantaran Indonesia masih terjerat utang. Jabatan menteri untuk perempuan disediakannya di Kementerian UPW dan Kementerian Sosial. Pemberian kedua jabatan ini, menurut Murniarti, diberikan karena perempuan “dianggap” pantas mengurusi masalah sosial.
Namun, UU dan partisipasi politik perempuan realitanya hanya manis di permukaan. Rezim Soeharto yang otoriter mengontrol politik peremapun dengan menerapkan “ibuisme” sebagai ideologi gender negara: perempuan yang baik adalah perempuan yang patuh, pendamping suami, dan ibu yang baik.
“UPW oleh pemerintahan memang dibuat sebagai mesin politik untuk memperkuat arah gerak atau aktivitas perempuan. Nah, tapi dari kalangan kelas menengah berpendidikan tinggi membuat arus balik,” kata Wardah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar