Moersjid, Jenderal Pemarah yang Disegani Sukarno
Dikenal memiliki prilaku apa adanya, dia merupakan salah seorang jenderal terpenting di akhir kekuasaan Presiden Sukarno.
GONJANG-ganjing terjadi dalam TNI AD setelah keberadaan pucuk pimpinan Menteri/Panglima AD (Menpangad) Letjen TNI Ahmad Yani tak diketahui. Kabar hilangnya Yani berdekatan dengan mengudaranya siaran pagi RRI pada 1 Oktober 1965. Saat itu, RRI memberitakan tentang adanya kudeta Dewan Jenderal dan pengumuman Dewan Revolusi. Berita simpang siur tadi bikin yang mendengar bingung kelimpungan, tak terkecuali pihak Istana.
Pada tengah hari, Presiden Sukarno segera mengumpulkan semua petinggi TNI lintas angkatan. Masukan dari sana-sini menghasilkan sejumlah nama. Satu persatu kandidat ditelaah oleh Bung Karno. Siapa yang pantas menggantikan Yani?
Baca juga: Ketika Yani akan menangkap Nasution
Menteri Panglima Angkatan Udara, Marsekal Omar Dani menyebutkan satu nama. “Moersjid, Pak,” katanya kepada Bung Karno dituturkan dalam Pledoi Omar Dani: Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku yang disusun Benedicta Surodjo dan J.M.V. Soeparno.
Alasan Omar Dani menyebut Moersjid merujuk kebiasaan lazim di tiap angkatan untuk menunjuk deputi operasi sebagai standing order apabila panglima berhalangan. Moersjid sendiri adalah Deputi I Menpangad yang membidangi urusan operasi. Dari garis struktural, Moersjid merupakan orang kedua setelah Yani di jajaran TNI AD.
Serta-merta Sukarno menimpali, “Wah, tak bisa, Moersjid itu pemarah.” Moersjid pun dimentahkan sebagai Menpangad.
Siapa Moersjid?
Benarkah Moersjid tukang marah sebagaimana yang dikeluhkan Sukarno? Siddharta Moersjid, putra keempat Moersjid menuturkan kesaksian perihal sosok ayahnya. Menurut Siddharta, Moersjid memiliki karakter yang terlalu tegas dan lugas.
“Dia (Moersjid) itu memang tak ada basa-basi. Saklek banget,” kata Siddharta (selanjutnya akan disebut Sida) kepada Historia sepekan lalu. “Istilahnya Bung Karno, dia itu te kordaat (terlalu tegas).
Dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD, Harsja Bachtiar mencatat Moersjid lahir pada 10 Desember 1924 di Jakarta. Namun menurut keluarga, Moersjid lahir pada tanggal yang sama tahun 1925. Ayahnya Alip Kartodarmodjo orang Bagelen, Jawa Tengah sedangkan ibunya Djawahir asli Betawi.
Karier militer Moersjid berawal di masa pendudukan Jepang ketika menjadi tentara PETA di Bogor. Pangkat pertamanya shondanco, setara komandan peleton. Saat revolusi fisik, Moersjid turut mengawal rombongan rakyat sipil yang hijrah dari Jawa Barat sampai ke Blitar, Jawa Timur. Dalam momen itulah Moersjid bertemu dengan Siti Rachma, gadis asal Banten yang kemudian dipersunting sebagai istri.
Moersjid sewaktu menjadi perwira menengah di Divisi Siliwangi. (Dok. Keluarga Moersjid).
Memasuki zaman Indonesia merdeka. Moersjid menapak ke jenjang perwira menengah. Pada 1951, pangkatnya sudah mayor. Dari komandan batalion, Moersjid promosi menjadi komandan resimen Divisi Siliwangi.
“Kita dekat ketika saya menjadi Dan Yon 309 dan beliau atasan saya sebagai Komandan Resimen 11 Cirebon,” tutur Letjen (Purn.) Sayidiman Suryohadiprodjo kepada Historia. “Beliau seorang komandan pasukan yang baik.”
Gaya saklek Moersjid ditambah postur tubuh yang menjulang membentuk dirinya sebagai tentara tulen. “Tukang berantem. Tengil kalau orang bilang. Tingginya 185 cm, berat badannya 120-an kg,” ujar Sida.
Dari Sulawesi ke Mabes TNI
Nama Moersjid menonjol bersama Ahmad Yani setelah mereka turun ke palagan memadamkan perlawanan panglima pembangkang di daerah bergolak. Yani ditugaskan menumpas PRRI di Sumatera Barat dalam “Operasi 17 Agustus”. Sementara, Moersjid memimpin “Operasi Merdeka” untuk melumpuhkan Permesta di Sulawesi Utara.
Yani kemudian bertugas di Markas Besar (Mabes) TNI membantu KSAD Letjen Abdul Haris Nasution sebagai Deputi II. Moersjid sendiri tetap bertugas di Sulawesi menjadi panglima Kodam XIII/Merdeka yang memegang wilayah perang Sulawesi Utara dan Tengah. Ketika wilayah basis-basis Permesta semakin kondusif, Moersjid ditarik ke Mabes TNI di Jakarta.
Baca juga: Kemenangan "Tentara Sukarno" di Hari Lebaran
Menurut Sida, di Mabes TNI ada satu ruangan khusus yang disebut ruangan peta. Konon, di sanalah tempat para perwira Mabes kerap melakukan aktivitas lain seperti menonton film yang pernah bikin Nasution sesekali jengkel. Di ruangan peta itulah Moersjid sehari-hari bekerja merancang strategi dan menyusun rencana operasi. Mahir dalam menganalisis topografi membentuk kebiasaan unik dalam diri Moersjid: tidur bersama peta. Kebiasaan tidur bersama peta-peta itu tetap terbawa hingga Moersjid purnabakti.
Sewaktu operasi pembebasan Irian Barat, Moersjid pernah mengajak Yani terlibat dalam suatu misi. Ajakan itu bertujuan memberi dukungan moril bagi prajurit garis depan. Namun Yani tak terpancing. Dengan dalih sibuk, Yani menolak. Pada Januari 1962, Moersjid –mewakili TNI AD– ikut memimpin infiltrasi ke Kaimana, Papua yang berujung Peristiwa Laut Aru.
Baca juga: Ketika Bung Karno murka
“Untunglah, sewaktu saya ajak berangkat ke Irian, Jenderal Yani tak bersedia. Saya sendiri juga beruntung, (Komodor) Soedomo memindahkan saya ke KRI Harimau, bukan lagi di KRI Matjan Tutul,” kata Moersjid kepada jurnalis senior Julius Pour dalam Konspirasi di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul.
Menghardik Soebandrio
Medio 1962, Presiden Sukarno mendapuk Yani sebagai KSAD kemudian Menpangad – jabatan setara menteri. Posisi wakil KSAD dihapuskan dan diganti dengan tiga orang deputi. Yani mengangkat Moersjid mengisi posisi Deputi I. Moersjid lantas naik pangkat jadi mayor jenderal.
Di antara semua deputi Yani, Moersjid adalah yang termuda namun membidangi urusan paling strategis, yakni operasi. Mayjen Soeprapto (kelahiran 1920) menduduki Deputi II urusan Administrasi. Sementara Mayjen M.T Harjono (kelahiran 1924) menjadi Deputi III urusan Perencanaan dan Pembinaan.
Moersjid juga membawahkan dua asisten Menpangad. Mereka adalah Mayjen Siswondo Parman (kelahiran 1918), Asisten I bidang Intelijen dan Mayjen Djamin Gintings (kelahiran 1921), Asisten II bidang Operasi. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, di Mabes TNI, Moersjid tak berafiliasi dengan kubu manapun.
“Bukan orangnya Nasution, Yani, apalagi Soeharto; juga tak terlalu dekat dengan Sukarno,” kata Asvi.
Mayor Jenderal Moersjid selaku Deputi I Menpangad sedang menginspeksi pasukan. (Dok. Keluarga Moersjid). Dalam amatan Sayidiman yang pernah menjadi perwira pembantu di Mabes TNI, Moersjid adalah sosok perwira yang tegas namun loyal kepada atasan. Meski dikenal sangar, temperamennya masih terkendali. Namun amarah Moersjid pernah pecah juga. Tak tanggung-tanggung, emosinya membuncah saat rapat kabinet yang dihadiri Presiden Sukarno.
Pada akhir 1963, Moersjid mendampingi Wakil Perdana Menteri I merangkap Menteri Luar Negeri Soebandrio ke Tiongkok. Sebelum berangkat, Moersjid telah dipesankan Yani agar tak terikat iming-iming apapun dari pemerintah RRT. Di Beijing, Perdana Menteri Chou En-Lai menawarkan bantuan persenjataan apabila Indonesia mau.
Dalam memoarnya Soebandrio: Kesaksianku Tentang G30S, Soebandrio menyebutkan tawaran Chou berupa peralatan militer untuk 40 batalion tentara mulai dari senjata manual, otomatis, tank, dan kendaraan lapis baja. Semuanya gratis tanpa syarat. Namun tawaran tadi berakhir dengan ucapan terimakasih saja tanpa kesepakatan.
Baca juga: Operasi memburu Soebandrio
Kepada Sida, Moersjid menuturkan, ketika lobi-lobi berlangsung, secara spontan kakinya agak menyepak kaki Soebandrio di bawah meja sebagai isyarat penolakan. Sesampainya di Jakarta dalam rapat kabinet, Soebandrio mengatakan bahwa ada jenderal muda yang arogan. Moersjid sontak berdiri. Katanya, “Bandrio, kita selesaikan ini di luar.”
Rapat langsung diskors oleh Bung Karno. Moersjid dipanggil masuk ke kamar presiden. Di dalam kamar, Sukarno malah bercanda dengan Moersjid, tak menyinggung soal rapat. Bung Karno menyadari watak keras Moersjid dan ingin menurunkan "tensinya".
Menurut Sida, sikap temperamental inilah yang menyebabkan Moersjid tak punya cukup banyak kawan. Karakternya yang terlalu tegas kurang berterima terhadap sebagian pihak, termasuk Sukarno. Soal pergaulan, Moersjid punya filosofi: eagles don't flock (elang tak datang bergerombol).
“Teman-teman pribadi 1-2 itu ada tapi tak bisa bergerembol yang banyak teman. Orang-orang yang jaim ini, susah menerima orang yang terlalu tegas-lugas. Inilah yang membuat dia ga disukai,” ujar Sida.
Bagaimana nasib Moersjid di masa Orde Baru? Nantikan di artikel berikutnya. Bersambung.
Baca juga tentang kisah para jenderal:
DI Pandjaitan, balada jenderal pendeta
TB Simatupang, Jenderal Pemikir Seteru Bung Besar
Perseteruan Soeharto dan Pranoto
Meringkus Jenderal Buronan
Tambahkan komentar
Belum ada komentar