Imigran Penentu Standar Musik Dunia
Anak desa yang minggat ke negeri orang dan mencatatkan diri dalam sejarah musik dunia.
BARANGKALI tak banyak orang yang bisa membayangkan kehidupan Heinrich Engelhard Steinweg. Lahir pada 15 Februari 1797, di tengah sebuah keluarga besar yang bahagia di desa Wofshagen, Jerman. Saban hari keluarganya memetik sayuran dari ladang sendiri, dan sungai yang mengalir dari pegunungan menyediakan ikan-ikan segar. Namun pada usia 15 tahun Heinrich telah menjadi yatim piatu. Ia juga kehilangan beberapa saudaranya dalam perang melawan Napoleon.
Heinrich sendiri kemudian bergabung dengan militer, dan ditugasi menjadi peniup terompet. Seperti dicatat Alan C. Elliott dalam A Daily Dose of the American Dream: Stories of Success, Triumph, and Inspiration, meski tak punya pendidikan musik formal, Heinrich ternyata punya bakat alami dalam musik. Ia kerap menghibur para tentara dengan permainan sitar dan pianonya. Namun pada 1822 ia memutuskan untuk berhenti sebagai tentara dan melanjutkan hidupnya sebagai tukang kayu. Dari sinilah ia mulai belajar membuat berbagai alat musik di ruangan dapur rumahnya.
Dalam germanheritage.com diceritakan, bahwa instrumen yang pertama ia buat adalah sitar. Selanjutnya ia membuat alat musik lainnya, termasuk piano pertama buatannya yang menjadi kado pernikahan dengan Julliane Thiemer, pada Februari 1825. Boleh jadi pemilihan kado pernikahan ini berdasarkan alasan logis, yakni bahwa itulah alat musik terbaik yang bisa ia buat. Memang belakangan, Heinrich mengonsentrasikan usahanya untuk memproduksi piano.
Bisnis Heinrich kian menunjukkan kemajuan. Namun pada saat yang sama, kondisi sosial politik Jerman di sekitar March Revolution tahun 1848 membuatnya masygul. Maka tahun 1849 ia memutuskan hijrah ke Amerika bersama istri dan ketiga anaknya. Di negeri ini ia mengganti namanya menjadi Henry E. Steinway dan bekerja pada sebuah pabrik alat musik. Di sini, ternyata Henry tak hanya menyalurkan keahliannya, namun juga memelajari bisnis di Amerika. Maka tiga tahun kemudian ia pun membangun pabriknya sendiri dengan dibantu anak-anaknya. Dari sinilah merek Steinway & Sons bermula. Pabrik ini memulai dengan memproduksi sebuah piano dalam seminggu.
Seperti dikatakan Alan C. Elliott, dalam waktu relatif singkat, piano merek Steinway & Sons segera diidentikkan dengan kualitas ketelitian buatan tangan dan kebeningan suara. Bersamaan dengan itu, nama “Steinway” sebagai merek dagang pun saat itu dianggap komersil. Terbukti Henry mendapat tawaran royalti untuk pemakaian merek ini bagi berbagai produk, di antaranya radio. Namun setelah merasa tak mampu mengontrol kualitas produk-produk tersebut, ia menolak royalti demi eksklusivitas piano buatannya.
Raihan medali emas American Institute Fair di New York Crystal Palace pada 1855, atau hanya dua tahun sejak lahirnya merek Steinway & Sons, merupakan salah satu bukti pengakuan kualitas hasil kerja Henry. Sejak itu hingga tahun 1862 saja, Henry diganjar lebih dari 30 penghargaan atas pianonya, serta mengalahkan merek piano mana pun, dengan 130 hak paten dalam detail-detail pembuatan piano. Maka ketika wafat pada 7 Februari 1871, Henry E. Steinway telah menancapkan namanya dalam sejarah musik dunia sebagai salah seorang pembuat standar kualitas alat musik. Keturunannya yang mengelola pabrik ini terus memertahankan metode Henry yang dirumuskannya sebagai, “tak ada kompromi untuk kualitas”.
Menurut kritikus musik Bradley Bambarger, dalam Instrumental Royalty yang dimuat di listenmusicmag.com, kualitas Piano Steinway yang tak tertandingi dihasilkan dari bahan-bahan yang sekitar 85% berasal dari kayu terpilih. Sebagaimana pada alat musik senar lainnya, kayu yang baik akan menghasilkan resonansi dan denting yang empuk. Hal lain yang mendukung kualitas adalah 12000 detail yang membangun piano ini. Tak heran jika pembuatan sebuah piano Steinway memakan waktu satu tahun.
Kritikus musik lainnya, Matthew L. Wald, dalam Steinway Changing Amid Tradition yang dimuat The New York Times pada 28 Maret 1991, mengatakan, Piano Steinway punya tempat unik dalam dunia musik. Hegemoni kualitas merek ini sekuat praktik monopoli, baik di panggung konser maupun publik image. Hal ini tergambar dalam data, bahwa lebih dari 90% konser grand piano berkelas dunia menggunakan piano Stainway & Sons.
Di Indonesia sendiri, piano Steinway & Sons secara resmi mulai dijual sejak tahun 2005, ketika gerai House of Piano yang menjadi penjual resminya dibuka. Dalam peluncuran merek ini di House of Piano, Dharmawangsa Square, Jakarta, pada 7 Desember 2011, komponis Dwiki Dharmawan mengatakan bahwa merek ini belum terlalu dikenal luas di kalangan penggiat musik Indonesia. Dengan peluncuran piano tersebut ia berharap masyarakat akan lebih mengenal alat-alat musik berkualitas internasional.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar