Herman Sarens, Perwira yang Nyaris Ditembak Soeharto
Pernah menjadi perwira kesayangan Soeharto, tidak berarti Herman terlepas dari masalah dengan sang jenderal.
Meski dikenal sebagai orang dekat Soeharto, namun langkah Herman Sarens tak selalu mulus. Kepalanya nyaris diterjang peluru oleh tangan Soeharto sendiri. Bagaimana mungkin? Herman Sarens menuturkannya dalam manuskrip otobiografi berjudul Cerita Seorang Tentara: Cuplikan Riwayat Kehidupan Herman Sarens Sudiro.
Ceritanya, pada pukul 09.00 pagi, 2 Oktober 1965, ketika Herman sedang mandi dirumahnya di Jalan Daksa Kebayoran Baru, tiba-tiba sang istri menggedor pintu dari luar. Ternyata ada telepon penting dari markas Kostrad. Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto memerintahkan Herman agar segera menghadap dirinya.
Di markas Kostrad, Herman menuju ke ruang kerja Soeharto. Setelah memberi salam hormat, Soeharto mempersilahkan Herman duduk. Tanpa berbicara apa-apa, Soeharto hanya membuka laci mejanya dan mengambil sesuatu. Sepucuk pistol revolver diarahkan tepat ke muka Herman.
“Ta' slentik kowe!” yang artinya “aku sentil kau!” kata Soeharto dengan emosi.
“Ada apa, Pak?” tanya Herman.
“Kamu…, dari jip sampai tank mesti lewat kamu. Saya ini kamu anggap apa?” ujar Soeharto.
Herman yang masih memendam ngeri dalam hati bertanya lagi, “Mengenai apa, Pak?”
“Kamu memberi 10 truk kepada kavaleri yang kamu ambil dari gudang Tjakrabirawa!” jawab Soeharto.
Rupanya Soeharto tersinggung dengan inisiatif Herman yang dianggap mendahului Panglima Kostrad. Sehari sebelumnya, Herman mengatur gerakan untuk menumpas Gerakan 30 September 1965. Prakarsa itu dilakukan Herman lantaran Panglima Kodam V Jaya, Mayor Jenderal TNI Umar Wirahadikusumah mengkonsinyasi pasukan garnisun Jakarta. Dengan kedudukannya sebagai Kepala Biro Antar Angkatan dan Kesiapsiagaan Staf Umum AD, Herman memutuskan untuk menyiapkan kekuatan pemukul.
Herman bergerak cepat dengan mengambil alih 10 unit truk yang berada di pool Resimen Tjakrabirawa di Cawang. Truk-truk tersebut diserahkan kepada Brigade Kavaleri pimpinan Letnan Kolonel Wing Wiryawan. Selanjutnya Herman bergerak ke Jalan Madiun, mengobrak-abrik markas Badan Pusat Intelijen (BPI) pimpinan Soebandrio dan menangkap orang-orang yang terlibat atau diduga PKI. Karena dinilai terlalu cepat dan melibatkan pasukan skala masif, tindakan Herman ini menimbulkan kesalahpahaman dengan Soeharto.
“Kalau (pistol) itu meledak, mati gue,” kata Herman bertahun-tahun kemudian kepada sejarawan Rushdy Hoesein saat mengenang kemarahan Soeharto tersebut.
Menurut Rushdy, Soeharto memang pantang dilangkahi. “Tapi (Soeharto) tak pernah lupa dengan orang yang pernah berjasa sama dia,” ujarnya kepada Historia.
Herman kemudian mengajukan permintaan maaf. Kejadian itu berakhir dengan saling pengertian satu sama lain. Meski dikenal bengis pada penentangnya, Soeharto masih menenggang kesalahan Herman Sarens.
Pada 1966, Soeharto dilantik menjadi pejabat presiden. Usai pelantikan, Herman diundang ke kediaman Soeharto yang saat itu masih berada di Jalan Agus Salim. Soeharto memanggil Herman ke ruang tamu.
“Man, sini kita foto bersama. Saya sekarang pejabat presiden,” kata Soeharto. Mereka lantas mengabadikan potret bersama.
“Aku kemudian berfoto dengan Pejabat Presiden Jenderal Soeharto dan Ibu Tien,” kenang Herman dalam otobiografinya.
Relasi Pasang Surut
Untuk urusan pribadi, Herman Sarens pun punya noda di mata Soeharto dan Tien Soeharto. Pasalnya, Herman mengambil istri keduanya Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani yang bernama Hadijah alias Hedi justru untuk dijadikan istri kedua juga. Itu terjadi pada 1967.
“Ibu Tien kan gak senang kalau ada perwira yang mengambil istri kedua. Dia pasti langsung nge-bisik sama Pak Harto,” tutur Rushdy.
Namun hal ini tak berlangsung lama. Selaku pejabat presiden dan pengemban amanah Supersemar, Soeharto membutuhkan korps pengamanan pribadi terhadap dirinya. Herman dipercayai sebagai perwira yang memimpin pengawalan Jenderal TNI Soeharto. Soeharto kemudian mengangkatnya sebagai Komandan Komando Satuan Tugas (Kosatgas) Supersemar dengan pangkat kolonel.
Karier militer Herman bahkan kian menanjak sebagai perwira tinggi berpangkat brigadir jenderal. Atas rekomendasi Panglima ABRI, Jenderal TNI Maraden Panggabean, Herman dipromosikan menjadi Komandan Korps Markas Hankam.
Baca juga: Herman Sarens Sudiro dan Kasus Tanah
Ketika pemerintah merencanakan membangun Markas Hankam ABRI di Cilangkap, Herman menjadi Ketua Tim Perencanaan Sarana Perlengkapan dan Peralatan. Di saat itulah Ibu Tien Soeharto memanggil Herman ke kediamannya di Jalan Cendana.
Ibu Tien berkeinginan membangun Taman Mini Indonesia Indah yang semula direncanakan di kawasan Sunter. Namun karena dianggap kurang luas, Herman mengusulkan mencari tanah di pinggiran Jakarta, yaitu di sekitar Bambu Apus, Jakarta Timur. Herman mengenal wilayah itu dengan baik karena berdekatan dengan Markas Hankam di Cilangkap. Usulan itu diterima. Maka dibentuklah Panitia pembangunan Proyek Taman Mini Indonesia Indah. Herman ditunjuk untuk tugas pembebasan lahan proyek Taman Mini. Di masa ini, Herman ikut mendapat untung dan banyak mendulang aset penting baginya.
Baca juga: Gagasan Awal Taman Mini Indonesia Indah
“Hermans Sarens Sudiro, seorang petinggi di yayasan Harapan Kita yang diketuai oleh Nyonya Soeharto. Herman juga manajer harian Taman Mini Indonesia Indah,” tulis George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan.
Hubungan dengan Soeharto kembali merenggang setelah kerusuhan Malari pecah. Ada tudingan yang mengatakan Herman bersama Jenderal TNI Sumitro hendak mengadakan kudeta. Akibatnya, Herman ditendang ke Madagaskar sebagai duta besar. Kendati patronase itu tak putus sepenuhnya, Herman telah berada di luar jalur kekuasaan. Dia pun memilih putar haluan dan mulai dikenal sebagai jenderal pebisnis.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar