Ali Bakatsir, Sastrawan Nasionalis Peranakan Arab
Lewat Drama, dia menyuarakan Indonesia merdeka dan menggalakkan perjuangan diplomasi Indonesia di jazirah Arab.
DI seantero Timur Tengah, nama Ahmad Sukarno sudah kadung kondang untuk merujuk siapa presiden pertama Indonesia. Bahkan di Kairo, ibukota Mesir, Ahmad Sukarno diabadikan sebagai nama salah satu jalan. Padahal nama asli Bung Karno hanya Sukarno.
Perkara nama Ahmad Sukarno bermuasal dari ulah aktivis mahasiswa Indonesia di Mesir. Di zaman revolusi mereka tergabung dalam Panitia Pembela Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tujuannya agak unik dan terkesan pragmatis. Nama yang bernuansa Islami itu memberi citra Indonesia sebagai negara yang dipimpin oleh orang Muslim.
Pada masanya, nama Ahmad Sukarno kian viral justru karena pentas drama. Bagaimana bisa? Dalam seminar internasional bertajuk “Ali Ahmad Bakatsir: Sastrawan dalam Jejak Sejarah Indonesia” yang digelar kemarin (24/9) di teater Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, terungkap siapa yang berperan dalam popularisasi nama Ahmad Sukarno di Timur Tengah.
Baca juga: Tujuan nama Ahmad pada Sukarno?
Adalah Ali Ahmad Bakatsir, sastrawan peranakan Indonesia-Arab yang menambahkan nama Ahmad Sukarno sebagai salah satu lakon dalam karyanya berjudul Audatul Firdaus (Kembalinya Surga). Selain berkhdimat dalam dunia literasi sebagai seorang sastrawan, Ali Bakatsir juga bergiat dalam wadah PPKI.
Menurut Nabiel A. Karim Hayaze, direktur Menara Center –lembaga riset yang mengkaji keturunan Arab di Indonesia– sebelum melahirkan Audatul Firdaus, Ali Bakatsir termasuk orang yang paling rajin menulis di koran-koran Mesir mengenai kabar dari Indonesia.
“Tentang Sjahrir, tentang Sukarno, tentang Mohammad Hatta, tentang Dr. Soetomo dalam bahasa Arab. Sehingga orang-orang Mesir menjadi terbiasa dengan pembicaraan tentang Indonesia,” ujar Nabiel.
Khidmat di Jalur Sastra
Ali Ahmad Bakatsir lahir di Surabaya 10 Desember 1910 (beberapa sumber lain menyebut 1900). Orang tuanya keturunan Arab dari pasangan Ahmad Bakatsir dan Nur Bobsaid. Pada 1920, Ali Bakatsir menimba ilmu di Hadramaut (Yaman) untuk belajar agama Islam dan bahasa Arab. Menurut Ali Hasan Albahar, pengajar di Fakultas Adab dan Humaniora UIN, dalam keluarga Bakatsir mengakar dua hal penting: tradisi literasi dan sisi nasionalis.
Di Yaman, Ali menetap di kota Seiyoun. Dia berguru pada seorang syekh besar bernama Al Qadhie Muhammad Bakatsir. Di masa ini, Ali mulai memperlihatkan kecakapannya di bidang sastra dengan menyusun bait-baitnya sendiri ataupun menggubah puisi. Selama di Seiyoun, Ali aktif dalam kegiatan sastra dan terlibat dalam penerbitan majalah At Tahdzhib.
Sebagai pusat kebudayaan Arab, pada 1934, Ali merantau ke Mesir. Kendati terbentang jarak yang jauh, Ali tetap terikat dengan tanah kelahirannya. Apalagi memasuki dekade 1940-an, Ali makin serius memantau gerakan perjuangan di Indonesia lewat diskusi dengan sahabat-sahabatnya dalam PPKI.
Pertengahan 1946, dalam acara peringatan setahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Kairo, karya Ali Bakatsir ini bergaung. Naskah drama Audatul Firdaus dipakai sebagai alat propaganda PPKI guna memperkuat perjuangan diplomasi Indonesia. Salah satu babak dari drama tersebut dipentaskan oleh pemuda-pemuda Jam’iah Syubban Muslimin di gedung teater PPKI.
Berjuang Lewat Drama
Ali Bakatsir menulis Audatatul Firdaus pada 29 Juli di Kairo, Mesir. Ia diterbitkan pertama kali oleh penerbit Maktabah Masr. Naskah drama ini terdiri dari empat babak. Dalam versi cetakan asli bahasa Arab terdiri dari 155 halaman. Ali mempersembahkan drama itu kepada saudara-saudaranya rakyat Indonesia.
“Untuk mendengarkan suara rantai yang terlepas yang selama ini membelenggu 75 juta bangsa Indonesia,” tulis Ali Bakatsir dalam pengantar naskah dramanya.
Kisahnya mengambil latar di dua tempat di Jakarta, yaitu rumah Haji Abdul Karim yang terletak Lapangan Gambir dan markas gerakan bawah tanah pimpinan Sutan Sjahrir di suatu kampung. Suasana zamannya menggambarkan keadaan negeri Indonesia semasa pendudukan Jepang di awal tahun 1942 hingga 17 Agustus 1945.
Ali menceritakan kehidupan dua keluarga pejuang yang masih bersaudara sepupu: Sulaiman dan Madjid. Sulaiman mendukung gerakan bawah tanah pimpinan Sjahrir yang menolak bekerja sama dengan Jepang. Di pihak lain, Madjid sekubu dengan Sukarno-Hatta yang memutuskan bekerja sama dengan Jepang.
Baca juga: Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab
Alur cerita drama ini menampilkan perdebatan Sulaiman dan Madjid yang berusaha mempertahankan langkah politik masing-masing. Akhir drama dipungkasi dengan terbongkarnya suatu rahasia. Baik Sjahrir maupun Sukarno-Hatta ternyata bermufakat untuk mengambil strategi berbeda menghadapi Jepang namun tetap satu dalam tujuan: Indonesia merdeka.
Dalam roman politik itu, Ali tak lupa menggubah lirik lagu Indonesia Raya ke dalam bahasa Arab. Menurut A.R Baswedan yang diwawancara pada 1974 dalam Proyek Sejarah Lisan ANRI, Ali Bakatsir menyiarkan lagu Indonesia Raya di antara mahasiswa Mesir yang diberi kata-kata bahasa Arab yang cukup banyak.
Keesokan hari setelah pentas, siaran radio di Mesir ikut memainkan drama tersebut. Lagu Indonesia Raya juga kumandang. Koran-koran Mesir kemudian memberitakan, bahwa ada satu negara bernama Indonesia yang pemimpinnya bernama (Ahmad) Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir. Opini publik tentang Indonesia terbentuk: sebuah negara Islam yang mau merdeka dan membutuhkan bantuan pengakuan dari negara lain.
“Karya Ali Bakatsir ini mempengaruhi pemimpin-pemimpin Arab saat itu,” ujar Nabiel. Menurut Nabiel, hingga saat ini Audatul Firdaus menjadi bacaan yang cukup diminati oleh sebagian kalangan di Mesir yang tertarik soal sejarah Indonesia. Audatul Firdaus sendiri telah dibukukan dalam Kembalinya Surga yang Hilang: Sebuah Epos Lahirnya Bangsa Indonesia yang diterjemahhkan ke bahasa Indonesia oleh Nabiel A. Karim Hayaze.
Baca juga: Dukungan Mesir kepada kemerdekaan Indonesia
Pada akhirnya Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia. Ali Bakatsir sendiri tetap menetap di Mesir hingga akhir hayatnya. Dia dikenal sebagai sastrawan besar yang menelurkan ratusan buku syair dan naskah drama.
Pada 10 November 1969, Ali Bakatsir wafat. Duta besar Indonesia untuk Mesir saat itu, Letjen TNI (purn.) A.J. Mokoginta ikut mengantarkan ke pemakaman dan mengenang jasa Ali sebagai sastrawan yang ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
Baca juga: Asad Shahab, jurnalis Arab pro-Republik
Tambahkan komentar
Belum ada komentar