top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Sepakbola di Tanah Buangan

Kaum buangan di Digul menggelar pertandingan sepakbola untuk menyambut atau melepas tahanan.

17 Feb 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Kesebelasan Sinar Perdamaian dan KSVD berfoto sebelum pertandingan. Perpisahan dengan Sayuti Melik (kanan bawah, berbaring). (Repro Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan Seri Perjuangan Ex Digul).

Sepakbola memang olahraga sejuta umat. Dengan sebuah bola dan tanah lapang, orang-orang sudah bisa bermain sepakbola. Tak terkecuali para tahanan politik di Tanah Merah Boven Digul, Papua. Sepakbola jadi andalan untuk memecah kesunyian kamp dan mengisi waktu luang.


Sepakbola di Tanah Merah bermula ketika kaum buangan membentuk organisasi kesenian dan olahraga bernama Kunst, Sport en Voetbal Vereeniging Digoel (KSVD). KSVD dipimpin oleh buangan asal Bandung, Wiranta yang kemudian digantikan oleh Sabariman.


KSDV seringkali mengadakan pertandingan. Selain sebagai olahraga, sepakbola juga sebagai hiburan. Tak butuh waktu lama, sepakbola menjadi olahraga favorit kaum buangan. Setelah KSVD, muncul kesebelasan-kesebelasan lain, seperti Sinar Perdamaian dan SH (Sport for Health).


“Olahraga sepak bola terhitung yang paling menarik penduduk Digul tua dan muda, laki-laki dan perempuan. Setelah terbuka beberapa kampung, maka kumpulan sepakbola bertambah jumlahnya,” tulis Sunaryo Mangunadikusumo dkk. dalam Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan Seri Perjuangan Ex Digul.


Pertandingan persahabatan juga diadakan untuk menyambut rombongan tahanan baru maupun ketika ada tahanan yang dipulangkan ke kampung halaman. Misalnya ketika rombongan Bung Hatta dan Sutan Sjahrir tiba pada 1935.


“Seminggu setelah kami tiba, sebagai pendatang baru kami menerima penghormatan dari teman-teman penghuni lama dengan mengadakan pertandingan persahabatan sepakbola. Kami dari PNI berjumlah tujuh orang, ditambah teman-teman dari Partindo dan PSII,” kenang Mohammad Bondan dalam Memoar Seorang Eks Digulis.


Kesebelasan rombongan 1935 ini berisi orang-orang pergerakan yang namanya cukup terkenal. Hatta menjadi bek kanan, Sutan Sjahrir menempati posisi gelandang kiri, sedangkan Bondan menjadi pengapit kiri. Gawang dijaga oleh Murwoto, bek kiri Burhanuddin, poros Maskun, gelandang kanan H. Nurdin, penyerang Muhidin Nasution, pengapit kanan Suka, kanan luar H. Jalaludin Thaib, dan kiri luar Datuk Singo Marajo.


“Kesebelasan yang tersusun hanya secara kebetulan saja ini terhitung kuat dan dapat mengalahkan beberapa kesebelasan di Tanah Merah. Kekalahan 1-0 hanya oleh SH yaitu kesebelasan yang terkuat waktu itu,” tulis Sunaryo dkk.


Kesebelasan SH berisi pemain-pemain yang tangguh. Beberapa dari mereka adalah anak-anak yang dibesarkan di Tanah Merah. Dua yang terkenal adalah Suparno dan Sendang yang kira-kira berumur 15-16 tahun.


Suparno dan Sendang seringkali lepas dari penjagaan. Hatta sebagai bek kanan yang tangguh pun seringkali dengan mudah diterobos dengan lari kencang. Hatta tertinggal jauh karena kehabisan napas, sementara bek kiri Burhanuddin juga tidak sempat menghalangi serangan cepat mereka.


“Satu kali tendangan keras dari Suparno menuju gawang dan Murwoto tidak dapat menyelamatkan gawangnya. Kemasukan gol itu pada babak kedua dan sampai permainan berakhir kesebelasan 1935 tidak dapat membalas,” tulis Sunaryo dkk.


Pertandingan lain yang cukup meriah diadakan ketika Sayuti Melik hendak dipulangkan ke Jawa. Pertandingan persahabatan kali itu mempertemukan kesebelasan Sinar Perdamaian dengan KSDV. Hampir seluruh penduduk kampung menonton sepakbola perpisahan Sayuti Melik itu.


Pertandingan sepakbola di Tanah Merah, menurut Bondan, ternyata juga memperlihatkan konflik di antara kaum buangan. Tepatnya, pertentangan antara werkwilliger dan naturalist.


Werkwilliger adalah istilah untuk tahanan yang memiliki kesempatan untuk dipulangkan karena loyal terhadap pemerintah. Sementara naturalist adalah mereka yang tidak mau bekerja untuk pemerintah.  Kelompok werkwilliger memiliki lapangan sepak bola sendiri di Kampung C. Sedangkan lapangan bola kelompok naturalist berada di Kampung B.


“Adanya dua lapangan sepak bola membuktikan bahwa dulunya pernah terjadi konflik mental politik antara kedua golongan itu. Tetapi, kami tidak membedakan dua golongan itu dalam pergaulan, tidak membenci kepada mereka yang menjadi werkwilliger meskipun kami mengambil sikap naturalist,” kata Bondan.


Menurut Bondan, konflik dan istilah-istilah itu sengaja dibuat oleh pemerintah kolonial. Politik adu domba digunakan untuk melemahkan semangat perjuangan orang-orang buangan.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page