Jordi Cruyff di Bawah Bayang-Bayang Sang Ayah
Kesulitan membebaskan diri dari beban nama besar sang ayah. Usai gantung sepatu beralih ke belakang layar bersama klub-klub kecil di Siprus, Israel, dan China.
SATU lagi orang Belanda hadir untuk mendongkrak persepakbolaan Indonesia. Bukan sebagai asisten pelatih apalagi pemain tim nasional (timnas), melainkan untuk mengisi jabatan penasihat teknis PSSI. Dialah Jordi Cruyff. Kendati tak seharum nama ayahnya yang bintang legendaris Belanda, Johan Cruyff, Jordi setidaknya pernah jadi andalan timnas Belanda di Euro 1996.
Penunjukannya diumumkan PSSI pada Selasa (25/2/2025). Tugas Jordi tidak hanya menjadi konsultan pelatih kepala timnas Indonesia yang baru, Patrick Kluivert, namun juga perihal pembinaan sepakbola.
Menurut PSSI, Jordi mengemban tugas untuk memberi masukan dan arahan bersama direktur teknik yang posisinya sampai ini masih kosong. Nantinya, bersama direktur teknik, Jordi akan fokus pada metodologi pelatihan, pengembangan akar rumput, jenjang karier pemain elite, dan pengembangan sistem teknis keseluruhan pembinaan.
PSSI menganggap Jordi punya pengalaman yang mumpuni. Selain sebagai pemain, Jordi juga punya kiprah di tepi lapangan dan di balik layar sebagai pelatih maupun direktur olahraga di klub Israel, China, dan FC Barcelona.
“Saya tidak sabar untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan saya untuk memajukan level sepakbola Indonesia. Talenta sudah ada. Dengan struktur yang baik dan dukungan yang tepat, kita bisa mencapai mimpi yang hebat di panggung dunia,” kata Jordi Cruyff di laman resmi PSSI, 25 Februari 2025.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Patrick Kluivert
Beban Nama Besar Cruyff
Jordi Johan Cruyff lahir di Amsterdam pada 9 Februari 1974 sebagai anak bungsu sekaligus satu-satunya anak laki-laki pasangan Hendrik Johannes Cruyff dan Margaretha Coster. Tanggal kelahirannya unik, sebab terkait jadwal partai “El Clásico” antara Barcelona dan Real Madrid di paruh kedua La Liga musim 1973/1974.
“Mestinya saya lahir dengan operasi caesar di pekan pertandingan (17 Februari 1974, red) tetapi pelatih Barça, Rinus Michels bilang pada ayah saya bahwa ia harus tetap bermain demi mengejar gelar liga pertama dalam 14 tahun. Rinus kemudian memutuskan bahwa saya juga bisa lahir sebelum pertandingan itu dan tepat pada hari ulang tahunnya, 9 Februari 1974,” kenang Jordi kepada ESPN, 25 Maret 2016.
Pada saat yang sama, Jordi juga mengenang tentang bagaimana ayahnya adu ‘ngotot’ dengan otoritas Spanyol ketika hendak membawa putranya dari Amsterdam ke Barcelona –yang saat itu masih dikuasai rezim diktator Francisco Franco-- perkara nama “Jordi” yang diberikan ayahnya berasal dari tokoh yang disucikan masyarakat Aragon dan Katalan –Sant Jordi– termasuk nama terlarang saat itu.
“Jika tidak diperbolehkan, ayah saya akan membuat isu itu menjadi masalah. Akhirnya mereka (otoritas) menerima nama saya karena saya berkewarganegaraan Belanda,” lanjutnya.
Jordi nyaris tak pernah keluar dari “ketiak” ayahnya. Ketika ia meniti karier di akademi Ajax Amsterdam kurun 1981-1988, ayahnya adalah pelatih tim senior Ajax.
“Membawa nama besar ayahnya, Jordi sejak kecil memang tak pernah bisa lepas dari sepakbola. Ayahnya senantiasa berbagi antusiasme dan pengetahuannya dalam sepakbola kepada Jordi sejak kecil. Membawa putranya menonton pertandingan-pertandingan Ajax di Stadion De Meer hingga mendorong putranya masuk pusat pelatihan tim muda Ajax di usia tujuh tahun,” ungkap Jimmy Burns dalam Barça: A People’s Passion.
Pun Jordi ikut dibawa ayahnya ke tim akademi Barcelona pada 1988 seiring Johan Cruyff mulai menukangi tim senior Barcelona. Debut profesionalnya pun dilakoni Jordi berseragam Barcelona mengisi posisi gelandang serang di laga La Liga kontra Sporting Gijón pada 4 September 1994.
“Akan tetapi terdapat beberapa rumor yang memengaruhi posisi Cruyff (sebagai pelatih), termasuk rumor pilih kasih terhadap Jordi, putranya yang menjadi bagian dari skuad dan juga Jesús Angoy, kiper yang menikahi putri Johan, Chantal,” ungkap Andrew Godsell dalam Planet Football.
Jordi juga sadar akan isu nepotisme di skuad Barcelona. Seperti halnya maestro sepakbola Inggris Frank Lampard di awal-awal karier mengingat pamannya, Harry Redknapp dan ayahnya, Frank Lampard Sr., masih bergelut di sepakbola. Namun perlakuan ayahnya menepis isu tersebut. Jika melakukan kesalahan di lapangan, Jordi diomeli lebih keras oleh Johan Cruyff dibanding pemain lainnya.
“Saya tahu beberapa pemain akan jengkel jika saya masuk ke skuad (inti). Nasihat satu-satunya dari ayah hanyalah: ‘lihat, dengar, dan jangan bicara.’ Lalu suatu ketika di kamar ganti setelah latihan, saya mendengar dua pemain, (Hristo) Stoichkov dan (Txiki) Begiristain sedang bicara setengah berbisik. Pada akhirnya saya bilang pada mereka: ‘dengar, jika kalian punya masalah pergilah dan bicara langsung padanya (Johan Cruyff), jangan hubungkan dengan saya’,” sambung Jordi.
Meski begitu, tahun 1996 jadi musim mengesankan buat Jordi. Terlebih penampilannya turut dilirik pelatih timnas Belanda Guus Hiddink yang merayunya untuk tetap membela negeri asalnya untuk Piala Eropa 1996 ketimbang tawaran bergabung ke timnas Spanyol untuk skuad Olimpiade Atlanta 1996. Jordi menjalani debutnya berseragam “Oranye” di laga kontra Jerman pada 24 April 1996 sekaligus mencatatkan dirinya masuk ke daftar buku sejarah ayah dan anak yang tampil di Piala Eropa.
Baca juga: Frank Lampard Legenda Bermental Baja
Ketika Johan Cruyff hengkang dari Barcelona, Jordi pun ikut hijrah dengan catatan 41 penampilan dan 11 gol dan turut mempersembahkan Piala Super Spanyol 1994. Jika sang ayah memilih mundur dari sepakbola kompetitif pada 1996, Jordi menjajal peruntungannya sendiri ke sepakbola Inggris usai Manchester United menebusnya dengan mahar 1,4 juta poundsterling. Sayangnya ia pun gagal bersinar.
Selain gagal tampil gemilang, kariernya turut direcoki cedera lutut kambuhan. Bahkan Jordi sempat dipinjamkan ke Celta Vigo pada 1999 hingga akhirnya ditampung Deportivo Alavés pada 2000 secara permanen. Total ia hanya mencatatkan 34 penampilan dan membukukan 8 gol kurun 1996-2000 berseragam “Setan Merah”.
“Jordi sungguh pemain yang sangat tidak beruntung, terbebani nama besar (Cruyff) dalam sejarah sepakbola Eropa dan karier yang kandas karena cedera. Ia memang berusaha membebaskan diri dari bayang-bayang ayahnya selama di Old Trafford, bermain dengan gayanya sendiri tapi tetap saja beban nama keluarganya tak bisa dengan mudah dihilangkan,” tulis Ian Macleay dalam The Baby Face Assassin: The Biography of Manchester United’s Ole Gunnar Solksjaer.
Jordi sendiri akhirnya memilih gantung sepatu pada 2010. Ia pensiun setelah melanglang buana dari Alavés (2000-2003), RCD Espanyol (2003-2004), Metalurh Donetsk (2006-2008), dan terakhir di klub kecil Valletta FC (2009-2010) di Malta.
Namun, kemudian Jordi tetap tak bisa jauh dari sepakbola. Ia dipercaya klub Siprus AEK Larnaca sebagai direktur sepakbola pada 2010. Mengemban tugas dan tanggung jawab dalam departemen olahraga, Jordi juga belajar mengelola anggaran tim, perekrutan pemain dan para staf pelatih, cetak biru sepakbola, desain dan implementasi jadwal latihan, hingga supervisi dan evaluasi pasca-pertandingan.
Baca juga: Sebelas Ayah dan Anak di Piala Eropa (Bagian I)
Bersama AEK, Jordi turut berjasa membawa AEK sebagai klub Siprus pertama yang lolos ke pentas Europa League pada musim 2011-2012. Prestasi itu turut membuatnya kemudian dibajak klub Israel, Maccabi Tel Aviv pada April 2012.
“Karena nama (fam) saya, oleh karenanya saya orang yang seolah tidak boleh terus menerus melakukan kesalahan. Saya harus 100 persen siap untuk setiap langkah yang saya buat. Dan saya harus memanfaatkannya dengan hati-hati. Saya sendiri tak pernah membayangkan hal ini tapi hidup dan sepakbola selalu membuat Anda terkejut. Saya mengambil lisensi dan saya senang dengan taktik-taktik sepakbola. Dan saya memilih di belakang layar, tepatnya di klub (Maccabi) yang seperti trampolin buat para pelatih karena setiap pelatih sukses di sini, ia akan selalu pindah lagi ke liga-liga yang lebih besar,” ujar Jordi, dikutip The Guardian, 23 November 2015.
Makanya selama di Tel Aviv, Jordi sering direpotkan mencari dan menunjuk pelatih-pelatih baru. Pada musim 2024-2015 ia juga bertanggung jawab atas penyesuaian operasional klub terhadap persyaratan dari UEFA agar Maccabi mencari kandang lain di luar Israel seiring pecahnya Perang Gaza 2014. Jordi bahkan sempat rangkap jabatan, sebagai direktur olahraga dan pelatih interim Maccabi pada musim 2017-2018 yang menghasilkan trofi juara Israel Toto Cup.
Sebelum ditunjuk PSSI sebagai penasihat teknis, Jordi juga sempat mewarnai kiprahnya sebagai pelatih di klub China, Chongqing Dangdai Lifan (2018-2020), Shenzhen FC (2020), timnas Ekuador (2020), dan kembali ke Barcelona mengisi kursi penasihat olahraga pada 2021.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar