Pembuka Jalan Gerakan Perempuan
Sejarah gerakan perempuan Indonesia tak bisa lepas dari namanya.
USIANYA 87 tahun. Tapi kesehatannya terbilang masih baik. Dia masih suka minum kopi. Bicaranya masih lancar. Hanya kaki kirinya saja lumpuh. Dia pun hanya bisa berbaring di ranjang, di sebuah kamar berukuran 3 x 4 meter, di rumah anak seorang teman di Jalan Tegalan, Matraman, Kampung Melayu, Jakarta Pusat.
Awal Februari lalu, bersama beberapa teman, saya menjenguknya. Walau sakit, dengan bersemangat dia menjawab tentang gerakan perempuan saat itu. Bahkan dia sempat menantang begini, “Ayo mau tanya apa lagi?”
Umi Sarjono lahir di Semarang pada 24 Desember 1923. Dia mengenyam pendidikan di Semarang sampai kuliah di Akademi Sosial Politik, lalu melanjutkan sekolahnya di Jakarta pada 1950-an. Di masa Jepang, Umi membuka warung di depan markas tentara Peta, yang digunakan sebagai pos penghubung antara para aktivis di markas itu dengan kelompok gerakan komunis bawah tanah. Dia sendiri dan suaminya, Sukisman (seorang pemimpin PKI), menjadi anggotanya.
“Aku terjun ke politik karena ingin bergabung di organisasi. Dulu organisasi perempuan lain diskriminatif karena posisi sosial. Maka saya ingin dirikan organisasi perempuan sendiri. Saya ajak teman, SK Trimurti (menteri perburuhan saat itu). Kami dirikan Gerwis, lalu Gerwani,” ujarnya.
Pada 4 Juni 1950, Umi dan SK Trimurti menghimpun enam organisasi massa perempuan dalam wadah Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) di Semarang. Program utama Gerwis adalah menuntut UU Perkawinan, mengkampanyekan hak-hak perempuan, serta memperjuangkan hak-hak kaum buruh dan tani.
Gerwis kemudian berubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dalam kongres pertama di Jakarta, Desember 1951. Dalam kongres ini Umi memenangi pemilihan sebagai ketua umum tapi memilih mengundurkan diri dan menyerahkannya kepada Suwarti Bintang, anggota PKI, yang juga teman baiknya. Umi menjadi wakil ketua, bersama Trimurti. Baru pada kongres kedua tahun 1954, ketika terpilih lagi, dia mau menerimanya, yang menurut Saskia Eleonora Wieringa dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan, berarti sayap feminis berhasil menahan tekanan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tak ada perubahan signifikan atas perubahan ini. Gerwani kerap menyelenggarakan kursus pemberantasan buta huruf, membangun sekolah, serta menangani masalah perempuan buruh dan petani. Umi Sarjono percaya berorganisasi adalah alat perjuangan yang penting. Politik bukan hanya wilayah laki-laki.
“Perempuan harus aktif, manut satu partai atau satu organisasi. Kita harus sabar, perjuangan kita memang tidak gampang. Karena ini negeri agraris, gak bisa progresif, banyak yang terbelakang. Kita bukan negara industri; buruh lebih maju daripada petani. Buruh itu sejak lahirnya sudah dinamis, punya karakter tersendiri yang terus dan harus menghendaki perubahan,” ujarnya.
Salah satu sikap Gerwani adalah menentang poligami, isu yang sudah menjadi kontroversi sejak kongres perempuan pertama tahun 1928. “Kami menentang, dan kami putuskan tidak hanya menentang, tapi juga melaksanakannya dalam organisasi. Tidak boleh ada orang poligami. Kalau ada yang poligami kita nasehati, supaya nyingkir dulu. Jangan mimpin!”
Persoalannya jadi lain ketika Sukarno mengawini Hartini pada 1962. Gerwani bergeming saja. Gerwani, seperti ditunjukkan Saskia, berusaha menjaga hubungan harmonis antara Sukarno dan Partai Komunis Indonesia.
“Sebetulnya tidak begitu. Soalnya tidak sesederhana itu. Itu tanggung jawab pribadi. Perkara monogami dan poligami, itu saja yang harus diatur dengan UU,” ujarnya. Sikap ini, bagi Saskia, kontradiktif. Jika perkawinan menjadi urusan pribadi, maka UU negara tak diperlukan.
“Waktu itu kita belum punya UU Perkawinan. Jadi kita harus punya. Menurut Gerwani, UU Perkawinan prinsipnya harus monogami. Tidak boleh bermadu. Kalau di organisasi dilaksanakan. Kalau ada anggota yang dimadu tidak boleh jadi pemimpin,” ujarnya.
UU Perkawinan juga menjadi program yang diperjuangkan Umi Sarjono ketika menjadi anggota Parlemen. Dia menegaskan bahwa perjuangan bagi UU Perkawinan harus dipandang sebagai perjuangan melengkapi revolusi nasional.
Yang menarik, Umi juga menyebut Gerwani memiliki pandangan terbuka terhadap keberagaman seksualitas. Jika ada anggota Gerwani yang lesbian, “Kita hanya peringatkan saja, kalau bisa jangan. Kalau tidak bisa ya sudah, kita serahkan saja pada masyarakat. Boleh tetap jadi anggota, banyak yang jadi anggota. Dulu dianggap penyakit,” ujarnya. Sejak 1993, homoseksual, termasuk lesbian, sudah dicabut dari daftar gangguan penyakit jiwa.
“Dulu ketua saya juga punya ‘penyakit’ itu.” Siapa? ”Tris Metty.”
Tris Metty, menurut Saskia, adalah ketua pertama Gerwis, sebelumnya pernah jadi ketua Rukun Putri Indonesia, salah satu organisasi yang kemudian bergabung ke dalam Gerwis. Dalam konferensi bagi persiapan kongres pertama Gerwis di Yogyakarta, dia digeser karena dianggap ”terlalu avonturir”, dan digantikan oleh Trimurti. Tapi ada dugaan alasannya karena dia seorang lesbian, dan Tris Metty sangat berterus terang dengan lesbianisme dirinya.
Sekalipun keterbukaan Gerwani terhadap keberagaman seksualitas bisa dipedebatkan, pernyataan Umi mengkonfirmasi hasil temuan Saskia Wieringa yang menyebutkan ada tiga tokoh Gerwani berorientasi seksual lesbian.
Di masa kepemimpinan Umi Sarjono, anggota Gerwani meningkat dari 500 ribu menjadi 1,5 juta dan memiliki cabang hampir di semua daerah. Gerwani menjadi organisasi perempuan terbesar di Indonesia. Belum ada satu pun organisasi perempuan modern mampu menghimpun anggota sebanyak itu hingga kini. Bagaimana caranya bisa rekrut orang sebanyak itu?
“Kerjasama dengan serikat buruh dan Buruh Tani Indonesia (BTI). Jadi kita bagi pekerjaan. Kalau kita mau perluasan anggota, kita temui basis buruh dan petani. Lalu kita rapat bersama. BTI itu mendukung, jadi kita gampang,” ujarnya.
Menurutnya, dana bukanlah persoalan. Untuk biaya operasional, setiap anggota membayar iuran 5 sen. “Kalau ongkos-ongkos ditanggung sendiri.” Jika ada konferensi internasional, ada bantuan pemerintah, meski sedikit, atau mendapat biaya dari pengundang.
“Dulu Gerwani gabung dengan Gerakan Wanita Demokratis Sedunia (GWDS) atau World Women Democratic Federation. Tujuan kita adalah perdamaian dunia. Jadi kalau ada konflik regional jangan dibiarkan terus, harus cepat diselesaikan. Kita bersatu, sesama buruh, petani, pemuda, ada komite perdamaian di situ. Programnya untuk mempertahankan perdamaian dunia.”
Saat memimpin Gerwani, Umi menghadiri berbagai acara Gerakan Wanita Demokratis Sedunia (GWDS) di Helsinki, Berlin, Praha, Moskow, Al jazair, dan Peking (Beijing).
Sebagai gerakan progresif, Gerwani kerap dituding sebagai gerakan feminis dari Barat. “Tidak hanya Barat, tapi juga gerakan komunis, kekiri-kirian,” ujar Umi. Tapi, ”Ya kami jalan terus. Kami buka pintu yang lebar untuk kerjasama, kerjasama untuk panitia 8 Maret (Hari Perempuan Internasional), kerjasama untuk aksi menuntut UU Perkawinan. Tapi kami tidak bisa bahasa Arab [bahasa agama]. Sabar saja, saya kira ada prosesnya.”
Kepemimpinan Umi Sarjono nyaris berakhir ketika Gerwani makin condong ke PKI, secara ideologi maupun struktur. Dia hendak digantikan oleh Suharti dalam kongres kelima yang sedianya diadakan Desember 1965. Tapi Gerakan 30 September 1965 terjadi dan mengubah semuanya.
Gerwani, dengan kekuatan 1,5 juta perempuan kritis dan berani menuntut hak, tentu menakutkan penguasa otoriter seperti Suharto. Gerwani dilarang. Sejarah versi pemerintah bukan hanya menggambarkan Gerwani sebagai organisasi PKI tapi juga sekelompok perempuan yang melampaui kodratnya, perempuan keji yang menyiksa para jenderal, bahkan sundal. “Kami difitnah suka rebut suami orang,” ujar Umi. Fitnah dan stigma terhadap Gerwani sebagai perempuan tak bermoral masih terasa sampai sekarang.
Umi ditangkap saat pulang dari kantor. Seperti banyak anggota Gerwani lainnya, Umi dipenjara di penjara Bukit Duri selama 13 tahun tanpa diadili. Dia menerima siksaan fisik, seksual, dan psikis oleh tentara Orde Baru yang membuatnya bersikap tertutup sekeluarnya dari penjara.
Setelah kunjungan itu, belum sempat memenuhi janji untuk kembali menjenguknya, pada Jumat, 11 Maret 2011, pukul 08.13, ponsel saya berpendar. Sebuah pesan pendek masuk: “Kabar duka, Ibu Umi Sarjono, meninggal pagi ini. Kita atur melayat yuk? Kehilangan beliau. Kita punya hutang acara untuk Gerwani.”
Kita berhutang untuk meneruskan perjuangan Gerwani. Dan negara selayaknya merehabilitasi nama baiknya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar