- Ibrahim Isa
- 10 Okt 2011
- 4 menit membaca
Diperbarui: 15 jam yang lalu
SABTU, 8 Oktober 2011 pukul 01.30 waktu Amsterdam, Belanda, di tengah keheningan malam, kami mendengar telepon berdering. Ternyata dari Ninon, istri Umar Said, bicara dari seberang telpon. Kabar duka menerpa di malam hari. Seperti tersambar halilintar di tengah malam sunyi, saya terkejut. “Pak Isa,” terdengar suara Ninon bergetar, “Pak Umar sudah tak ada lagi.”
Ayik, demikian saya memanggilnya, wafat pada pukul 22.50 waktu Paris, Prancis setelah sebelumnya sempat dirawat di rumah sakit kota Paris sejak Rabu (5/10) yang lalu. Saya sangat berduka kehilangan seorang sahabat akrab. Perasaan yang sama persis muncul ketika kehilangan Joesoef Isak pemimpin penerbit Hasta Mitra, beberapa tahun yang lalu.
Ingin membaca lebih lanjut?
Langgani historia.id untuk terus membaca postingan eksklusif ini.












