Kompi Gajah Bikin Inggris Tak Jadi Kalah
Persahabatan dan kerjasama manusia-gajah di Burma semasa Perang Dunia II berperan penting dalam kemenangan Inggris atas Jepang.
DIPANDU para pawang, gajah-gajah membantu evakuasi pengungsi asal Desa Awng Lawt di Danai, Negara Bagian Kachin, Myanmar, awal April lalu. “Para penduduk desa dengan hiasan kepala tradisional mengangkat anak-anak ke punggung beberapa mahluk raksasa itu untuk menyeberangi sungai,” tulis straittimes.com, 15 Mei 2018.
Pengungsian itu terjadi setelah Desa Awng Lawt tak aman akibat meningkatnya eskalasi konflik antara pasukan Kachin Independence Army (KIA) dan militer Myanmar. Penduduk mengungsi ke kamp-kamp Internally Displaced Person (IDP) yang berjarak lebih dari 100 kilometer.
Mereka mencapai tepi sebuah sungai di Danai dalam keadaan kehabisan makanan. Penduduk desa setempat langsung membantu dengan mengerahkan gajah-gajah untuk mengangkut orangtua, anak-anak, dan orang yang sakit.
Evakuasi menggunakan gajah pernah dilakukan semasa Perang Dunia II. Bersama Bandoola dan gajah-gajah lain di Kompi Gajah, Letkol James H. Williams alias “Elephant Bill” berhasil mengungsikan warga sipil dari Burma (kini Myanmar) ke India sekaligus berkontribusi bagi kemenangan Sekutu di Burma.
Kompi Gajah
Bill merupakan veteran Inggris di Perang Dunia I yang pada 1920 bekerja di Bombay-Burma Trading Corp. (BBTC). Di perusahaan kayu jati yang mempekerjakan 2000 gajah itu, Bill menjabat asisten kehutanan. Dia ditempatkan di Kamp Sungai Chindwin, Lembah Myittha dan bertanggungjawab atas 10 kamp berikut 70 gajah dan uzi (pemilik sekaligus pawang) gajah-gajah itu.
Bill bersahabat dengan uzi bernama Po Toke. “Inilah orang yang telah mengajarinya segala hal dan berbagi dengannya makhluk menakjubkan ini,” tulis Vicki Croke dalam Elephant Company: The Inspiring Story of an Unlikely Hero and the Animals. Dari Po Toke, Bill mendapatkan banyak pengetahuan tentang gajah, yang makin membuatnya cinta pada hewan itu. Dari Po Toke pula Bill bertemu gajah yang kelak menjadi belahan jiwanya, Bandoola. “Tanpa Po Toke, tidak akan ada Bandoola.”
Saat Jepang menginvasi Burma, Februari 1942, Bill ada di Kamp Maymyo. “Semuanya berjalan amat buruk, Bombay Burma Corporation memberi peringatan cepat bahwa ia mungkin, sebagai perusahaan swasta, harus mengatur evakuasi para pegawai Eropanya beserta keluarga mereka dari Dataran Tinggi Chindwin ke Manipur dan selanjutnya ke Assam,” ujar Bill dalam memoarnya, Elephant Bill. Dia ikut mengevakuasi perempuan dan anak-anak Eropa –termasuk anak-istrinya– menggunakan gajah ke Assam, April 1942.
Pengetahuan luas soal wilayah Burma –sehingga dijuluki peta hidup– dan kemampuan bahasa Burma Bill membuatnya diterima bergabung dengan Kantor Staff British Eastern Army (kemudian jadi Fourteenth Army/Tentara ke-14) sebagai Penasihat Gajah untuk Royal Indian Engineers (RIE), Oktober tahun itu juga. Gajah-gajah itu ditugaskan sebagai pendeteksi ranjau.
Kekecewaan Bill terhadap minim pemanfaatan potensi luar biasa gajah dan kejemuannya sebagai informan dari balik meja membuat Bill akhirnya menemui pimpinan agar diberi keleluasaan bekerja. Dia lalu dimasukkan ke dalam satuan elit Force 136. “Untuk bisa beroperasi di mana pun yang dia inginkan, Williams ditugaskan ke Special Operations Executive, cabang yang amat beda dari Secret Intelligence Service yang lebih kaku,” tulis Vicki.
Setelah diterjunkan ke belakang garis musuh, di Tamu, Bill membentuk pasukannya sendiri: Kompi Gajah. Harold Browne, teman lama Bill di Divisi Infantri ke-23 British Indian Army, menjadi orang pertama yang direkrut Bill. Untuk gajahnya, Bill baru punya Bandoola. Mereka mendirikan markas di Desa Moreh, pinggiran Tamu. Dari situ, keduanya mengkampanyekan agar para uzi lain bergabung dengan Kompi Gajah.
Tapi tekad Bill untuk terus menambah jumlah gajah amat besar. Dia beruntung, tak lama kemudian mendapat tambahan 40 gajah beserta uzi yang melarikan diri dari Jepang. “Mereka membentuk inti Kompi Gajah No.1,” tulis Vicki.
Belum cukup dengan jumlah yang ada, Bill lalu berkeliling lebih dari tiga bulan untuk membujuk para uzi yang dikenalnya agar bergabung dengan Kompi Gajah. Upaya itu berhasil baik, satu per satu uzi menyerahkan gajah mereka ke Kompi Gajah.
Meski dipandang sebelah mata oleh Tentara ke-14, kompi ini terus berkontribusi dengan membuat banyak jembatan yang mendukung kelancaran gerak pasukan. Kompi Gajah juga menjadi penyuplai persenjataan, logistik, maupun obat-obatan ke garis depan.
Upaya penyuplaian berjalan lancar karena penggunaan gajah. Hewan raksasa itu punya keleluasaan bergerak jauh melebihi truk atau jip. Gajah-gajah itu tak perlu lampu dan minim menghasilkan suara ketika melakukan pengangkutan malam sehingga tak dideteksi patroli Jepang.
Dalam waktu singkat, Kamp Gajah, nama markas Kompi Gajah, berubah jadi titik penting pasukan Inggris. Saban hari minimal seorang jenderal mampir ke sana untuk sekadar istirahat, mengadakan rapat, atau meminta bantuan. Pamor Kamp Gajah melambung. Media-media seperti The Newyorker, Times, atau Life langsung memberitakan kontribusi Kompi Gajah. Pada Januari 1943, Bill dipanggil Kolonel Orde Wingate dan dimintai bantuan gajah untuk rencana Kampanye Burma sang kolonel.
Popularitas Bill dengan Kompi Gajahnya dengan cepat sampai ke telinga pasukan Jepang. Jepang langsung membanderol kepala Bill dengan harga tinggi.
Suatu hari di bulan Maret 1944, Bill mendapat perintah membawa sebanyak mungkin gajahnya keluar dari Tamu ke India. Jepang hampir mencapai Tamu. Meski tak mudah, Bill mematuhinya karena tak ingin membiarkan gajah-gajahnya terbunuh. Setelah 15 hari persiapan, Bill memimpin 200 orang, 64 di antaranya perempuan dan anak-anak, dan 53 gajah mengungsi ke India. Perjalanan sejauh 120 mil itu mereka tempuh berjalan kaki melewati Pegunungan Razorback yang berhutan lebat dan bertrek sulit.
“Mereka harus melewati lima pegunungan untuk mencapai keselamatan. Pertempuran pecah di mana-mana di sepanjang jalur perjalanan mereka,” tulis Simon Worrall di news.nationalgeographic.com, “How Burmese Elephants Helped Defeat the Japanese in World War II”.
Pada hari ke-9, mereka beristirahat di daerah subur dengan sebuah anak sungai di Lembah “kematian” Kabaw. Setelah keesokannya mereka tak menemukan jalan keluar lantaran hanya tebing-tebing terjal yang ada, mereka kembali berkemah. Mundur tak mungkin karena pasti tertangkap Jepang.
Satu-satunya jalan keluar mereka: memanjat tebing setinggi 300 kaki yang ada di hadapan. Beruntung, “keajaiban” datang. Beberapa bagian tebing berbentuk undakan, dengan menyingkirkan tetumbuhan di sampingnya undakan itu akan menjadi rangkaian anak tangga. Sebagian batu yang keropos tinggal dipahat untuk jadi anak tangga.
Bill, yang yakin gajah-gajahnya tak akan mau memanjat, akhirnya menerima keputusan memanjat tebing. “Kami membagi tenaga ke dalam empat kelompok, masing-masing mengerjakan bagian berbeda,” tulis Bill. Begitu selesai beberapa hari kemudian, mereka langsung melakukan pemanjatan maut dengan Bill yang terdepan.
Bill baru tahu Bandoola sedang berjuang menaklukkan tebing saat dia istirahat di pertengahan tebing. Mengetahui hal itu, semangat Bill langsung meluap-luap. Pendakian buru-buru dia lanjutkan dan ketika sampai, dia menunggu kedatangan Bandoola.
Butuh tiga jam bagi Bandoola dan masing-masing gajah untuk mencapai puncak tebing. Ketika semua telah mencapai puncak, mereka melanjutkan perjalanan ke India dengan lebih aman.
Bill melanjutkan perjuangan dari India sebagai informan dan penasehat. Atas jasanya, pemerintah Inggris menganugerahinya Order British Empire pada Februari 1945. “Letkol Williams telah memberi sumbangsih amat berharga sejak April 1942. Semua kontribusinya luar biasa, dan pantas mendapat pengakuan khusus,” kata komandan Korps ke-15 British Indian Army Letjen William Slim dalam pengantarnya untuk penghargaan itu.
Baca juga:
Pura-pura demi Burma Merdeka
Burma dan Kemerdekaan Indonesia
Serdadu Jepang Dimangsa Buaya di Burma
Tentang Mawie, Lili dan Romansa Perang Burma
Tambahkan komentar
Belum ada komentar