Sukarno Dipengaruhi Freemason
Kemanusiaan dalam Pancasila mendapat resonansi dalam asas-asas Freemason.
PADA 21 Desember 1949, Pengurus Besar Provinsial Freemason Hindia Belanda mengirimkan telegram ucapan selamat kepada Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri RIS: “Berhubungan dengan pengangkatan Yang Mulia sebagai presiden pertama Republik Indonesia Serikat, Freemason dengan segala hormat mengucapkan selamat kepada Yang Mulia, dan menegaskan kepada Anda bahwa tujuan-tujuan RIS untuk melayani kemanusiaan, seluruhnya mendapat resonansi dalam asas-asas Freemason.”
Baca juga: Setelah RIS Habis
Hatta membalas telegram itu. Dia berterimakasih atas ucapan selamat dan atas “penegasan bahwa salah satu sila Pancasila di UUD kami tentang kemanusiaan, seluruhnya mendapat resonansinya dalam asas-asas Freemason,” tulis Th Stevens dalam Tarekat Mason Bebas di Hindia Belanda.
Menurut Herry Nurdi, ustadz dan penulis buku-buku konspirasi dalam bukunya Jejak Freemason dan Zionis di Indonesia, pengakuan dari Pengurus Besar Provinsial bahwa dasar-dasar rumusan Sukarno (Pancasila) sama dan mendapat resonansi dalam asas-asas Freemasonry adalah bukti kuat bahwa ada kaitan, meski tak secara langsung, antara pemikiran Sukarno dengan doktrin Yahudi, terutama lewat Zionisme dan Freemasonry.
Dalam Freemasonry di Indonesia, Paul W van der Veur menjelaskan bahwa Freemasonry modern merupakan perkumpulan asal Eropa pada awal abad ke-18, namun akarnya merujuk kepada serikat tukang batu abad pertengahan dan pada masa silam yang dipenuhi mitos. Perubahan menjadi Freemasonry modern terjadi saat keberadaan loji-loji tukang batu di Inggris dan Skotlandia diakui sebagai tuan-tuan “Mason baik” yang terpandang dalam masyarakat. Dengan menjadi seorang Mason berarti telah menjadi seorang bon ton (yang terpandang) di kalangan intelektual Eropa –karenanya seorang Mason mulai dari ilmuwan sampai negarawan.
Pada saat yang sama, berbagai terbitan anti-Mason bermunculan dan menyebarkan bahaya Freemasonry. Dimulai pada abad ke-18, banyak penulis dengan sudut pandang sentimen anti-semit mengaitkan Mason dengan Zionisme Yahudi, yang akhirnya menjadi mitos paling kuat di dunia, hingga kini.
“Kerahasiaan Freemasonry ini dianggap berasal dari kejahatan (kekuatan) dan iblis, serta penyebaran globalnya berujung pada konspirasi internasional,” tulis Van der Veur. Selama Perang Dunia I dan II, Freemason dilarang di beberapa negara yang berideologi fasis dan komunis. Selama 1940-an, SS Jerman membentuk badan khusus anti-Mason, yang menutup loji-loji dan membawa anggotanya ke kamp-kamp konsentrasi.
Freemason hadir di Hindia Belanda pada 1762 sejak didirikannya loji Mason pertama di Batavia, La Choisie. Pembangunan ini diprakarsai oleh JCM Radermacher. Ayahnya Suhu Agung pertama di Belanda pada 1730-an. Aktivitas Mason menyebar ke Semarang. Di markas militer dan administrasi untuk wilayah pantai Timur Laut Jawa ini didirikan loji La Constante et Fidele. Loji De Vriendschap dibangun di Surbaya pada 1809. Perkembangan pesat dimulai pada 1837 dengan didirikannya loji-loji di berbagai pusat komunitas Eropa di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.
Menurut Van der Veur, baru pada pertengahan abad ke-19, pengangkatan anggota Freemason Indonesia dan Tionghoa dilakukan. Pada 1844, Abdul Rachman, cicit Sultan Pontianak, menjadi anggota Freemason pertama. Dari suku Jawa, yang pertama menjadi anggota adalah Raden Panjie Onggowidjojo, ondercollecteur di Sidoarjo. Boen Keh, seorang pemilik pabrik gula di Surabaya menjadi anggota Mason pertama dari etnis Tionghoa. Anggota Mason periode awal lainnya adalah maestro lukis, Raden Saleh.
Sebuah daftar keanggotaan tertanda tahun 1940-1941 mengindikasikan keanggotaan Mason berasal dari kalangan doktor, insinyur, guru, pemilik toko, dan pemilik perkebunan, serta pegawai pemerintah yang menduduki posisi tinggi seperti gubernur Jawa Tengah, Yogyakarta, Borneo (Kalimantan); bupati Magelang, Bojonegoro, Medan, dan Palembang; serta walikota Bandung, Batavia, dan Semarang. “Ini menunjukkan bahwa keanggotaan Mason telah membantu mereka untuk menggapai kedudukan-kedudukan tersebut,” tulis Van der Veur.
Pada masa pendudukan Jepang semua loji ditutup, banyak anggota Mason Belanda dan Tionghoa ditawan, dan baru dibuka kembali setelah Indonesia merdeka. Mengikuti perkembangan politik dibutuhkan loji dengan bahasa pribumi. Pada Desember 1951 dibentuk Lingkaran Masonik Indonesia dengan nama Purwoduk Sino dan mengangkat S. Gondokoesoemo sebagai Suhu Ketua. Dia meninggal tiga bulan kemudian setelah pengangkatannya, dan digantikan oleh RAA Soemitro Kolopaking Poerbonegoro.
Pada pertengahan 1954, Suhu Ketua empat loji Purwa Daksina (Jakarta), Dharma (Bandung), Pamitrian (Surabaya), dan Bhakti (Semarang); memutuskan membentuk Loji Timur Agung Indonesia, bermarkas di Jakarta. Pada 1955, Soemitro Kolopaking diangkat menjadi Suhu Agung Loji Timur Agung pertama, dan pada 1959 digantikan oleh Raden Said Soekanto Tjokroadiatmojo, kepala Polisi Negara.
Ketika menjadi Presiden RIS, Sukarno menerima delegasi Mason pada 3 Maret 1950. Dia telah mendengar dan membaca mengenai ordo ini, meskipun kebanyakan bernada buruk. Pada diskusi informal selama satu jam itu, Sukarno mengajukan beberapa pertanyaan, salah satunya “mengapa orang Indonesia masih menyebut loji sebagai rumah setan?”
“Kemungkinan karena hawa misteri yang menyelimuti loji. Kemungkinan lain ialah kata setan merupakan perubahan dari Sin Jan, sang pelindung kami,” jawab delegasi Mason.
Pada 27 Februari 1961, tulis Van der Veur, “Sukarno benar-benar mengusir roh jahat yang berasal dari Rumah Setan dengan menandatangani UU Komando Militer Tinggi (lihat Keppres No. 264/1962, red) yang melarang organisasi Freemasonry ini. Pertimbangannya bahwa Freemasonry memiliki dasar dan sumber yang berasal dari luar Indonesia dan tidak selaras dengan kepribadian nasional."
Baca juga: Riwayat Baha'i di Indonesia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar