Petisi 24 Oktober
Sebentuk kekecewaan dan perlawanan mahasiswa terhadap pemerintahan Orba.
TAK peduli kenaikannya ke kursi ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI) ikut dibantu tim Opsus pimpinan Ali Moertopo, yang merupakan think tank Orde Baru (Orba), Hariman Siregar ogah tinggal diam melihat banyak penyelewengan yang dilakukan pemerintah Orba. Bersama sekjen DMUI Judilherry Justam dan mahasiswa-aktivis lain dari UI maupun kampus-kampus lain, mereka terus aktif mengkritik pemerintahan Orba.
Kritik mahasiswa dipicu penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan pemerintah. Belum lagi kasus korupsi di Pertamina awal 1970-an tuntas diusut, penyelewengan demi penyelewengan lain bermunculan. “Gerakan mahasiswa 1973/73 memprotes pemerintah pada mulanya berasal dari penentangan terhadap korupsi, yaitu sungguh-sungguh banyak pejabat negara, terutama personil militer telah membangun kepentingan bisnis substansian mereka sendiri,” tulis Muchtar Effendi Harahap dan Andris Basril dalam Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia.
Selain korupsi, yang menjadi sorotan mahasiswa adalah keadilan ekonomi dan strategi pembangunan yang dijalankan pemerintah. “Pada pertengahan 1973, kritik mahasiswa banyak ditujukan pada masalah modal asing yang dianggap memperbesar jurang perbedaan dalam masyarakat, karena model pembangunan ekonomi yang dipilih adalah pertumbuhan ekonomi yang banyak dipotong dengan modal asing, yang dianggap sebagai ‘penjajahan model baru’,” tulis Ignatius Haryanto dalam Indonesia Raya Dibredel!
Isu-isu tersebut menjadi bahasan dalam diskusi rutin mahasiswa yang digelar Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI) pimpinan Sjahrir. Diskusi makin intens semenjak Hariman menjabat ketua umum DMUI pada pertengahan 1973. “Langkah pertama yang diambil Hariman setelah menduduki jabatan Ketua Umum DMUI adalah mengadakan kegiatan dalam bentuk diskusi-diskusi. Arahnya adalah fokus menyoroti masalah-masalah sosial-politik dan kemasyarakatan,” tulis Max Diaz Riberu, Syafinuddin al-Mandari, dan Nunik Iswardhani dalam biografi Judilherry Justam, Anak Tentara Melawan Orba.
Pada 13-16 Agustus 1973, DMUI dan GDUI menghelat diskusi untuk menyambut HUT kemerdekaan. Diskusi bertema “28 Tahun Kemerdekaan Indonesia” itu mengundang pembicara tokoh-tokoh populer seperti Soebadio Sastrosatomo, Sjafruddin Prawiranegara, Yuwono Sudarsono. Diskusi itu menghasilkan sejumlah kesimpulan, antara lain: perlunya praktek politik dan serangkaian tindakan untuk menyelesaikan masalah dan bukan sekadar diskusi-diskusi, dan adanya perbedaan gambaran mengenai struktur sosial-politik antara generasi muda dan tua.
Diskusi tersebut memicu semangat mahasiswa untuk makin merapatkan barisan dan aktif mengkritik pemerintah. Hariman gencar menggalang kerjasama dengan kalangan mahasiswa-kalangan mahasiswa lain di berbagai tempat. Pada Oktober, 11 mahasiswa ITB mendatangi pimpinan DPR. Setelah diterima ketua Komisi IX Djamal Ali, mereka mengajukan tuntutan.
Para mahasiswa kembali bergerak pada 24 Oktober. Hari itu, DMUI menghelat sebuah diskusi untuk memperingati Sumpah Pemuda dan mengundang tokoh lintas generasi. Selain Menlu Adam Malik, tokoh-tokoh yang hadir antara lain Sudiro (mantan walikota Jakarta), BM Diah (tokoh pers, pendiri Merdeka), Soebadio Sastrosatomo (intelektual PSI), Sjafruddin Prawiranegara (presiden Indonesia semasa pemerintahan darurat), Ali Sastroamidjojo (politisi PNI), TB Simatupang (mantan Kepala Staf Angkatan Perang), dan Dorodjatun Kuntoro-Djakti (dosen FE UI).
Usai diskusi, mereka berziarah ke TMP Kalibata. Di sana, mereka membacakan ungkapan ketidakpuasan dan tuntutan pada pemerintah yang diberi nama Petisi 24 Oktober 1973. Petisi itu berisi antara lain: meninjau kembali strategi pembangunan dan menyusun satu strategi yang di dalamnya terdapat keseimbangan di bidang-bidang sosial, politik, dan ekonomi yang antikemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan; segera bebaskan rakyat dari cekaman ketidakpastian dan pemerkosaan hukum, merajalelanya korupsi dan penyelewengan kekuasaan, kenaikan harga, dan pengangguran.
Petisi 24 Oktober tak hanya membuat Soeharto berang, tapi juga memantik gerakan protes lebih militan kepada pemerintah Orba yang berpuncak pada Peristiwa Malari. “Gerakan yang melahirkan Petisi 24 Oktober 1973 adalah permulaan daripada perlawanan yang juga berkembang terus, meskipun lewat pasang-surut,” tulis sejarawan Max Lane di lamannya, www.maxlaneonline.com.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar