Penelitian Menyeluruh Kekerasan Serdadu Belanda di Indonesia
Pemerintah Belanda mendukung pengungkapan kekerasan serdadu Belanda di Indonesia.
AKHIRNYA keputusan itu keluar juga. Jumat, 2 Desember 2016, dalam jumpa pers mingguan, Perdana Menteri Mark Rutte mengumumkan bahwa pemerintah Belanda akan membiayai penelitian menyeluruh dan mandiri terhadap kekerasan tentara Belanda selama perang kemerdekaan Indonesia, 1945-1949. Keputusan yang tidak terlalu mengejutkan, walaupun empat tahun lalu pemerintah masih menolak seruan mengadakan penelitian macam itu. Apa pasal? Kenapa sekarang Den Haag berubah pendirian?
Mark Rutte menegaskan penyebab kabinetnya mengambil keputusan ini adalah disertasi doktor sejarawan Remy Limpach yang September lalu terbit sebagai buku berjudul De brandende kampongs van generaal Spoor (Kampung-kampung Jenderal Spoor yang terbakar). Dalam penelitiannya Limpach berhasil menunjukkan bahwa kekerasan ekstrem yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia bersifat struktural, menyebar, dan tertancap dalam struktur militer waktu itu. Selama ini pemerintah Belanda berpendapat bahwa kekerasan itu hanya ekses belaka, ulah beberapa oknnum dan bukan beleid resmi Den Haag.
Pada 2012 seruan penelitian menyeluruh ini pertama kali dikeluarkan oleh tiga lembaga yang aktif dalam penelitian sejarah Belanda: KITLV (Institut Kajian Asia Tenggara dan Karibia), NIMH (Institut Sejarah Militer Belanda, tempat R my Limpach menginduk) dan NIOD (Institut Kajian Perang, Holocaust dan Genosida).
Ketiganya berseru supaya dilakukan penelitian menyeluruh gara-gara pengadilan Den Haag tahun sebelumnya memvonis pemerintah Belanda bersalah atas banjir darah di Rawagede (dan wajib membayar santunan ganti rugi). Waktu itu pemerintah masih berpendirian bahwa ketiga lembaga bebas melakukan penelitian atas anggaran yang mereka terima dari pemerintah. Peran pemerintah sebagai pemesan penelitian tidaklah perlu eksplisit. Tetapi penelitian Limpach ternyata telah membuat pemerintah Belanda mengubah pendiriannya.
Agustus tahun lalu, beberapa hari menjelang peringatan 70 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, pers sudah memberitakan hasil penemuan R my Limpach yang waktu itu menyerahkan disertasinya pada Universitas Bern, Swiss. Harian sore NRC Handelsblad pada edisi Jumat, 14 Agustus 2015, menurunkan berita utama dengan alinea pertama sebagai berikut:
“Tentara Belanda telah secara struktural dan dalam skala besar-besaran menerapkan kekerasan ekstrem terhadap orang Indonesia pada periode 1945-1950 setelah proklamasi kemerdekaan, 70 tahun silam Senin mendatang. Sesudah itu para pelakunya bebas berlenggang kangkung, karena pihak otoritas menutup-nutupi pelanggaran hukum itu.”
Berita itu bisa dikatakan baru icip-icip pendahuluan bagi isi penelitian Limpach yang baru terungkap September lalu. Sejak itu khalayak ramai Belanda seperti memanaskan diri untuk menyambut berita yang lebih menyeramkan lagi.
[pages]
Penanggungjawab Kekerasan
Akhir September itu, setelah setahun penantian, akhirnya disertasi Limpach terbit. Dalam bukunya Limpach lebih lanjut menelanjangi koalisi para pelaku kekerasan di dalam struktur militer dan sipil yang dalam semua jajaran bertanggung jawab melakukannya. Tiga wakil tertinggi kekuasaan di Hindia Belanda bersama-sama bertanggung jawab terhadap kekerasan ekstrem itu.
Mereka adalah Panglima Tentara Jenderal Simon Spoor, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Huib van Mook dan Jaksa Agung Henk Felderhof. R my Limpach menyebut ketiganya melakukan “judi militer, dengan taruhan nyawa puluhan ribu orang Indonesia dan Belanda”. Bagaimana jalannya judi militer oleh para pembesar tadi belum pernah diungkap sampai sekarang.
Kesimpulan ini berlawanan dengen pendirian pemerintah Den Haag. Nota Ekses tahun 1969, menyebut kekerasan itu cuma pelanggaran insidentil yang dilakukan oleh oknum-oknum militer tententu.
R my Limpach mendasarkan penelitiannya pada arsip jaksa penuntut umum, sekretariat negara (algemene secretarie), pengacara-pengacara Van Rij dan Stam serta amtenar, tetapi juga pada 885 pucuk surat para veteran yang ada dalam arsip acara televisi Achter het Nieuws (Di balik berita) milik organisasi penyiaran VARA. Acara ini menerima banyak surat sebagai reaksi terhadap wawancara dengan Joop Hueting. Pada tahun 1969, Hueting yang pernah dikirim ke Indonesia dalam acara itu pertama kali mengungkap telah berlangsungnya kekerasan ekstrem.
Dari penelitian itu terbukti bahwa Jenderal Spoor yang membawahi 200 ribu pasukan telah menerapkan tujuan militer yang tidak mungkin bisa tercapai. Begitu kekerasan militer itu terjadi, Spoor menerimanya saja, demikian kata Limpach. Tanggung jawab penguasaan sebuah wilayah “digeser ke atas atau ke bawah, seperti kentang panas”.
Selain itu, “troika kolonial” ini juga beranggotakan kekuasaan sipil tertinggi, Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, yang menurut R my Limpach, “dalam menjalankan kebijakan selalu melangkahi mayat”, dan Jaksa Agung Henk Felderhof. Tokoh terakhir ini ikut menentukan perlindungan yuridis militer terhadap pasukan Belanda.
Tanggung jawab akhir berada di Den Haag dan bukan Jakarta yang bagi Belanda waktu itu masih bernama Batavia. Limpach, “Pemerintah Den Haag bertugas mengawasi para pemimpin tertinggi di Batavia, dan mereka tidak hanya lalai lantaran jarak yang begitu jauh, tetapi juga jelas-jelas tidak mau bertindak”.
Adalah Menteri Luar Negeri Bert Koenders yang langsung bereaksi terhadap penemuan R my Limpach ini. Pemerintah berniat melakukan pertimbangan teliti, demikian Koenders yang September lalu sudah tidak menutup kemungkinan dilakukannya penelitian baru. Yang dimaksudnya dengan pertimbangan teliti itu adalah keterlibatan banyak kalangan, termasuk para veteran yang selalu dituding sebagai pelaku kekerasan. Ini tidak boleh merupakan halangan untuk meneliti lembaran-lembaran hitam dalam sejarah Belanda, demikian Menlu yang berasal dari partai buruh PvdA ini. Menyusul keputusan melakukan penelitian menyeluruh, Koenders berujar, “Penting bagi bangsa kita untuk berani melihat kaca sejarah, apalagi kalau kita akan berbicara dengan negara lain.”
[pages]
Kekerasan oleh Pihak Indonesia
Dalam pernyataannya pada Jumat, 2 Desember, Perdana Menteri Mark Rutte menyadari bahwa penelitian baru ini bisa “menyebabkan sakit hati di kalangan para veteran Hindia.”. Walau begitu tetap penting untuk memperhatikan “keadaan sulit yang membatasi operasi para veteran, kekerasan yang dilancarkan kalangan Indonesia, kemungkinan tidak dilakukannya kekerasan, serta tanggung jawab para pemimpin pemerintahan, politik maupun militer”.
Ini berarti bahwa penelitian yang dikehendaki pemerintah Belanda tidak akan hanya berpusat pada sisi militer, melainkan juga latar belakang politik serta kebijakan pemerintah pada umumnya.
Selain itu juga akan diteliti kekerasan yang dilancarkan kalangan Indonesia. Di sini Mark Rutte menyuarakan keinginan partainya, partai konservatif VVD. Dalam apa yang disebut “Periode Bersiap” ini, setelah Jepang bertekuk lutut, berlangsung kekerasan terhadap kalangan Belanda, kalangan Indo yang berdarah campuran serta kalangan Tionghoa atau kelompok lain yang oleh para pemuda revolusioner Indonesia dicurigai bekerjasama dengan Belanda.
Penelitian terhadap ulah pihak revolusioner Indonesia inilah yang merupakan syarat partai konservatif VVD, salah satu mitra pemerintah koalisi Belanda, sebelum mereka setuju dengan usul mengadakan penelitian menyeluruh. Selain itu, VVD juga hanya akan setuju jika kalangan veteran Belanda dilibatkan dalam penelitian.
Sekarang diperkirakan masih ada sekitar 18 ribu veteran Belanda yang masih hidup dan dulu pernah dikirim ke Indonesia. Hein Scheffer, ketua het Veteranen Platform, salah satu organisasi veteran Belanda, menyambut baik penelitian ini. Kepada harian Trouw, dia menyatakan ingin organisasi dan anggotanya diwawancarai tentang pengalaman mereka di Indonesia. “Selain itu para veteran juga dapat menyediakan dokumen atau foto-foto,” demikian Scheffer. Baginya yang penting penelitian ini harus berangkat dari sudut pandang dan norma-norma yang berlaku pada zaman itu.
Tidak semua veteran Belanda menyambut baik niat pemerintah ini. Kepada harian Trouw, Leen Noordzij, ketua Vomi (singkatan Belanda untuk persatuan veteran Hindia) menyatakan tidak menanti-nati penelitian macam ini. Tapi dia maklum bahwa penelitian seperti itu tak bisa dibendung lagi. Terhadap keputusan pemerintah dia cuma bisa berharap penelitian ini berlangsung obyektif, dalam arti pelanggaran yang dilakukan pihak Indonesia juga diteliti.
Konon kabarnya dalam upaya meneliti ulah pihak Indonesia ini, Mark Rutte sudah berbincang dengan Presiden Joko Widodo. Dalam kunjungan ke Jakarta pada November lalu, ada sentilan bahwa Jokowi tidak keberatan dengan penelitian semacam ini. Tapi itu tidak berarti bahwa Indonesia setuju membuka arsipnya bagi para peneliti yang akan berdatangan dari negeri kincir angin.
Walau begitu Gert Oostindie, direktur KITLV, merasa ini bukan hambatan. Kepada harian Trouw, dia menyatakan tahun-tahun belakangan sudah banyak arsip Indonesia yang dibuka. “Selain itu kami juga akan mewawancarai orang-orang yang mengalami sendiri perang kemerdekaan Indonesia,” demikian Oostindie. Ditambahkannya, di kalangan sejarawan Indonesia sendiri sudah terjadi pergeseran pendapat, mereka bersikap lebih obyektif dalam meneliti periode perang kemerdekaan.
Dalam bukunya, R my Limpach menegaskan bahwa sebagian besar dari 160 ribu prajurit Belanda yang selama perang kemerdekaan dikirim ke Indonesia tidak terlibat dalam kekerasan. Perang kemerdekaan itu telah menewaskan sekitar seratus ribu orang Indonesia dan hampir 5000 prajurit Belanda.
Penelitian menyeluruh yang dikehendaki pemerintah Belanda ini akan berlangsung selama empat sampai enam tahun, dan menelan biaya berjuta-juta euro.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar