Istana Putih
Istana bercat putih di timur Lapangan Banteng, Jakarta, berdiri untuk memenuhi kepentingan penguasa kolonial. Kini, di istana itu, kebijakan keuangan dijalankan.
GUBERNUR Jenderal HW Daendels (memerintah 1808-1811) ingin membangun pusat pemerintahan dan pertahanan yang baru dan lebih sehat. Mula-mula dia berencana memindahkannya dari Batavia ke Surabaya tapi batal. Dia akhirnya menetapkan di luar kota lama.
“Ia berkeputusan memindahkan permukiman kota beberapa mil ke daerah pedalaman, yakni ke sebuah kota pinggiran yang disebut Weltevreden,” tulis BHM Vlekke dalam Nusantara: A History of Indonesia.
Daendels menetapkan lokasi pembangunan Rumah Besar (Groote Huis) atau Istana Putih (Het Witte Huis) di timur Lapangan Parade (Paradeplaats, kini Lapangan Banteng) yang sejak masa Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten dijadikan pusat militer Hindia Belanda. “Tuan Besar Guntur”, demikian julukan Daendels, memerintahkan Kolonel JC Schultze untuk menjadi arsitek pembangunan.
Sang kolonel menerjemahkan kemauan Daendels ke dalam tiga bangunan besar dua lantai bergaya Empire Style yang sedang tren di Paris. Ketiga bangunan (induk, sayap kanan, dan sayap kiri) berdiri sejajar menghadap Lapangan Parade.
Di tengah proses pembangunan, Daendels dipanggil kembali oleh Napoleon pada 1811 dan dijadikan komandan benteng Modlin di Polandia. Pembangunan mandek. Pengganti Daendels, Jan Willem Janssens, hanya menutupi atap-atap yang belum selesai dengan rumbia.
Baru ketika LPJ du Bus de Gisignies menjabat Gubernur Jenderal pada 1826, pembangunan berjalan kembali. Du Bus meminta Ir Tromp menjadi arsiteknya. Dua tahun kemudian proyek tersebut rampung. Papan bertulis –MDCCCIX-Condidit Daendels, MDCCCXXVIII-Erexit Du Bus– dipasang di samping tangga untuk menandakan waktu pembangunan.
Bangunan induk dipakai sebagai istana atau tempat tinggal gubernur jenderal. Sementara bangunan sayap kiri dan kanan berfungsi sebagai kantor pemerintahan dan tempat menjamu tamu negara. Di kompleks ini terdapat istal yang menampung lebih dari 100 kuda berikut keretanya. Juga percetakan negara dan kantor pos.
Pada masa pemerintahan Du Bus Hooggeregtshof, Mahkamah Agung ikut berbagi tempat di utara kompleks Istana Putih, sebelum pindah ke sebuah gedung di utara Koningsplein (kini Lapangan Monas) pada 1848. “Dewan Hindia Belanda, yang beranggotakan para petinggi Belanda, juga bersidang di sini,” tulis Alwi Shahab dalam Robinhood dari Betawi.
Kompleks Istana Putih menjadi salah satu tempat paling menarik untuk bersantai dan berpesta pada abad ke-19. Di gedung sayap kiri berdiri kelab Concordia. Opera-opera macam Othello atau Verdi kerap dipentaskan.
Ketika Jepang datang, Istana Putih dijadikan kantor keuangan pemerintahan pendudukan. Fungsi itu berlanjut ketika Indonesia merdeka. Istana Putih menjadi kantor Kementerian Keuangan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar