Derita Serdadu Belanda di Indonesia
Ratusan ribu tentara Belanda dikerahkan untuk merebut kembali Indonesia. Berakhir dengan tangan hampa, malu dan trauma.
PEMERINTAH Belanda mengerahkan 220.000 serdadu ke bekas jajahannya yang telah merdeka pada 17 Agustus 1945: Indonesia. Lebih dari setengahnya pemuda berusia tak lebih dari 20 tahun. Mereka mengikuti wajib militer ke Indonesia membawa misi pemerintah Belanda: menyelamatkan negeri koloni dari tangan fasis Jepang dan kolaboratornya.
“Politik saat itu mengatakan harus perang. Namun hari ini, publik Belanda menyadari bahwa itu adalah keputusan yang salah,” ujar Gert Oostindie, sejarawan Universitas Leiden, Belanda, dalam diskusi bukunya, Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950, di Erasmus Huis, Jakarta Selatan (13/9)
Gert Oostindie meneliti ribuan lembar dokumen subyektif yang ditulis langsung veteran perang Belanda saat bertugas di Indonesia. “Dokumen-dokumen ego” itu berupa buku harian, surat, kesaksian, dan memoir. Dari sumber sezaman tersebut terkuak dua hal yang kontradiktif: sejumlah kejahatan perang (war crime) yang dilakukan serdadu Belanda sekaligus beragam pahit getir yang dialami mereka.
Menurut Gert, kebanyakan dari tentara itu sama sekali tak mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang Indonesia. Mereka cuma mengira-mengira saja, barangkali apa yang mereka lakukan dapat membantu kehidupan di sana (Indonesia). Setibanya di Indonesia, realitas berbicara lain. Rasa frustrasi melanda serdadu Belanda setibanya di Indonesia maupun sesudahnya.
“Pertama-tama, mereka (serdadu Belanda) diperintahkan pergi perang yang sebenarnya tak mereka inginkan. Kedua, setelah pulang, tak ada orang yang mau mendengar kisah mereka. Ketiga, sebagian kalangan menganggap mereka sebagai bajingan, pelaku kejahatan perang. Jarang dari mereka yang mengaku diri sebagai pahlawan,” ujar Gert.
“Mereka yang tadinya tak pernah melakukan kekerasan, tetapi begitu melihat rekannya diserang, akhirnya timbul rasa dendam yang berujung menjadi kejahatan perang. Perang selalu bisa mengubah seseorang,” lanjut Gert.
Gert juga mengungkapkan, keputusan berisiko mengirimkan serdadu Belanda ke Indonesia sudah dikritisi oleh pers sosialis dan komunis di negeri Belanda. Namun euforia sebagai pemenang Perang Dunia kedua tak dapat membendung hasrat untuk menguasai kembali negeri jajahan.
Menurut sejarawan Anhar Gonggong, para serdadu muda Belanda itu adalah korban dari “ilusi kolonialisme dan imperialisme pemerintah Belanda”. Pemerintah Belanda melakukan kebohongan terhadap pemuda-pemuda yang dimilisi ke Indonesia. Perang yang dipaksakan itu akhirnya tak dapat dimenangkan dan mendatangkan kekecewaan.
“Perang tak memberikan apa-apa kecuali kehancuran bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya,” ujar Anhar Gonggong.
Sementara itu, menurut sejarawan Universitas Gadjah Mada, Abdul Wahid, kisah suram serdadu Belanda di Indonesia dapat membuka pintu dialog antara sejarawan Belanda dan Indonesia untuk merekonstruksi historiografi mengenai periode 1945-1950 secara lebih objektif.
“Masa lalu yang kelam seperti ini justru perlu diangkat dan harus dibicarakan agar tak menjadi duri dalam daging,” ujarnya.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar