Cerita di Balik Gambar Sultan Hasanuddin
Gambar Sultan Hasanuddin lahir dari rencana menjadikannya sampul majalah.
Pada 1951, Jawatan Penerangan Provinsi Sulawesi Selatan akan menerbitkan sebuah majalah. Nomor perdananya memuat laporan pemberontakan Kahar Muzakkar yang memimpin Brigade Hasanuddin. Para redaktur memutuskan untuk menghiasi sampul majalahnya dengan gambar Sultan Hasanuddin (1631-1670).
“Tapi di mana bisa ditemukan potret dari Sultan? Dokumen sejarah tak mewariskan gambarnya. Ada Sinrili (legenda atau cerita rakyat yang dituturkan dengan diiringi oleh alat musik yang dinamakan keso-keso atau rebab), tapi itu pun masih ditimbang-timbang kebenarannya,” tulis majalah Mimbar, No. 14 Tahun II, 20 April 1972.
Akhirnya, para redaktur memutuskan untuk membuat gambar Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVI. Tarekat Kimin, pelukis Jawatan Penerangan Provinsi Sulawesi Selatan, ditugaskan membuat sketsa di atas kertas dengan pensil. “Saya kerjakan dua jam,” kata Tarekat yang saat itu berusia 48 tahun.
Tarekat menjelaskan bahwa sketsa itu dibuat berdasarkan imajinasinya setelah mendengarkan keterangan segi-segi anatomi dan watak Sultan Hasanuddin dari cucunya. Dia juga mendapatkan inspirasi dari sketsa Arung Palaka, Raja Bone XIV, yang bertubuh besar dengan alis bersambung. Maka, jadilah lukisan Sultan Hasanuddin karya Tarekat Kimin yang kemudian disalin ke atas kanvas 1,5 x 1 meter oleh TT Tjoang, juga pegawai Jawatan Penerangan Provinsi Sulawesi Selatan. Copyright lukisan itu milik Jawatan Penerangan Provinsi Sulawesi Selatan.
“Sebenarnya topi Sultan bukan begitu, tetapi bulat. Cuma kalau bulat akan sama dengan beberapa daerah lain. Jadi, saya pakaikan passapu (destar) yang spesifik daerah ini,” kata Tarekat.
Menurut Tarekat selama kurang lebih setahun menunggu kalau-kalau ada reaksi. Ternyata tidak ada. Lalu copyright-nya dicabut dan lukisan tersebut dinyatakan sebagai lukisan resmi Pahlawan Nasional Sultan Hasanuddin.
Namun, reaksi akhirnya muncul juga. Di antaranya datang dari Drs. HD Mangemba, anggota Badan Penelitian Sejarah Sulawesi Selatan, dan Drs. Fachruddin Ambo Enre, sarjana sastra IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Makassar yang menjabat BPH (Badan Pemerintah Harian) di Kantor Gubernur Sulawesi Selatan.
Mereka memprotes mata Sultan Hasanuddin yang terlalu besar, penggambaran watak yang terlampau garang, dan pemakaian Sundang (keris) yang tidak tepat, dan lain-lain.
“Sundang itu cuma dipakai kalau ada upacara-upacara kerajaan, tidak dalam pakaian perang,” kata Mangemba. Tapi kemudian reaksi-reaksi tersebut tetap tidak mengubah lukisan itu. Sebab, tak ada bukti otentik yang bisa dipegang oleh Badan Penelitian Sejarah Sulawesi Selatan yang bertugas dalam usaha mengoreksi wajah Pahlawan Nasional itu.
Sultan Hasanuddin ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada November 1973 karena melawan VOC (Kongsi Dagang Hindia Belanda) yang menjulukinya Ayam Jantan dari Timur.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar